online degree programs

Senin, Oktober 27, 2008

HEGEMONI BRITISH ENGLISH DAN AMERICAN ENGLISH DI INDONESIA (II)

oleh: Muhammad Taufiqurrohman

HEGEMONI BRITISH ENGLISH DAN AMERICAN ENGLISH
Demikianlah sekilas tentang teori hegemoni Gramsci, mulai dari inspirasi, konteks yang melatabelakangi kelahirannya, perkembangan yang menyertainya dan juga konsep dialek yang meneguhkan bahwa pembentukan sebuah entitas dialek baru sangatlah wajar bahkan sesuatu yang mestinya tak dapat dihindarkan.

Dalam konteks perkembangannya sekarang yang sudah memasuki ranah budaya (yang sering disebut sebagai "imperialisme budaya"), konsep hegemoni seringkali digunakan sebagai pisau analisis. Ranah kebudayaan yang sangat luas justru semakin memperlihatkan urgensi konsep hegemoni Gramsci, terlebih jika dikaitkan dengan globalisasi. Salah satu aspek budaya yang sangat terkait dengan globalisasi seperti yang diuraikan di pengantar di atas adalah bahasa. Dalam konteks globalisasi inilah, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional mau tidak mau tidak bisa melepaskan dirinya dari relasi kuasa dan hegemoni yang berada di dalamnya.

Namun, tulisan ini tidak ingin mempersoalkan terlalu jauh tentang hegemoni bahasa Inggris di dunia internasional (dan khusunya di Indonesia) karena relavansinya sudah tidak dianggap begitu penting lagi. Hal ini dikarenakan konsekuensi logis penerimaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah menemukan perkembangan yang tak terduga sebelumnya. Mengikuti teori subaltern, lahirnya bahasa Inggris versi India, versi Malaysia, versi Singapura dan versi-versi yang lainnya telah meruntuhkan hegemoni bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika di dunia. Artinya, sebagai bahasa milik dunia semua versi bahasa Inggris di seluruh dunia dianggap sama, sederajat dan sah untuk digunakan sebagai alat komunikasi. Terlebih jika kita memang benar bahwa terdapat korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dengan produksi bacaan dan pengetahuan suatu masyarakat, juga tingkat daya saing dalam pergaulan internasional.

Bertolak dari pandangan tersebut, tulisan ini ingin memfokuskan pada hegemoni British English dan American English di Indonesia. Bagaimanakah pisau analisis hegemoni membedah kerja kekuasaan British English dan American English di Indonesia?
Sebagaimana kita ketahui bahasa mempunyai berbagai macam struktur; grammar, lexical, fonologi, morfologi, dialek, aksen, intonasi, dsb. Kajian dalam tulisan ini tidak akan membahas bidang grammar dan lexical dalam British English dan American English. Kajian akan difokuskan pada fonologi, khususnya dalam dialek yang meliputi aksen dan intonasi. Hal ini dikarenakan dalam wilayah grammar dan lexical tidak terdapat banyak perbedaan dalam berbagai macam varian bahasa Inggris di dunia. Lain halnya dalam ranah fonologi, bentuk bahasa Inggris versi India, Malaysia dan Singapura bisa menjadi contoh betapa perbedaan dalam ranah fonologi bahasa Inggris---ketika berhadapan dengan kekayaan kekhasan lokalitas masing-masing masyarakat atau etnis--- bisa menjadi demikian beragam. Jadi, fokus kajian tulisan ini adalah membedah hegemoni British English dan American English dalam wilayah fonologinya di Indonesia.

Menurut teori hegemoni Gramsi, kekuasaan adalah sesuatu yang dapat memproduksi kepatuhan atau pengaruh dalam wujud konsensus (consent) bersama. Oleh karenanya, sifat kekuasaan bukanlah semata-mata sesuatu yang harus dimiliki di tangan tetapi sifatnya dapat diketahui dari bentuk-bentuk kepatuhan atau kesepakatan pihak-pihak yang terkena efek kekuasaan tersebut. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sesuatu yang netral yang dapat diperebutkan oleh pihak-pihak yang menginginkannya.

Dalam konteks pembicaraan kita, sesuatu yang diperebutkan tersebut bernama cara atau versi bahasa Inggris. Sedangkan pihak-pihak yang memperebutkan adalah British English, American English dan (semestinya) Indonesian English (bahasa Inggris versi Indonesia). Bahkan mungkin juga peserta yang turut berkompetisi adalah bahasa Inggris versi Jawa, versi Padangm versi Batak, bersi Sunda atau bahkan mungkin versi Irian. Hal ini dikarenakan oleh aksentuasi berbahasa dalam ranah fonologi yang sangat beragam di masyarakat kita. Keragaman aksentuasi inilah yang berpengaruh dalam pembentukan versi berbahasa Inggris di masing-masing wilayah.

Mengikuti perspektif hegemoni Gramsci, British English dan American English mestinya adalah peserta biasa yang harus berkompetisi untuk memeperebutkan kekuasaan yang bernama versi bahasa Iggris tersebut. Jadi, British English dan American English mestinya tidak secara otomatis menjadi pemenang atau pemegang kekuasaan tersebut. Satu-satunya yang bisa menyebabkan perolehan kekuasaan tanpa kompetisi adalah tidak adanya lawan yang mestinya adalah bentuk baru bahasa Inggris versi Indonesia. Pentingnya konsep hegemoni adalah membongkar keadaan tanpa persaingan yang menjadikan British English dan American English dengan mudah menghegemoni cara berbahasa Inggris di Indonesia. Penggunaan versi berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang memang begitu adanya (taken for granted) melainkan sesuatu yang terkonstruksi oleh struktur-struktur hegemoni tersebut.

Kekuasaan dalam perspektif hegemoni selalu mempunyai dua unsur, yaitu dominan (penguasa) dan subordinat/subaltern (pihak yang dikuasai). Kekuasaan dalam wujud cara berbahasa Inggris di Indonesia dengan demikian dipegang oleh British English dan American English sebagai dominan dan Indonesian English (kita andaikan dia ada) sebagai subordionat. Mungkin bisa dimasukkan dalam versi Indonesia adalah cara berbahasa Inggris dengan dialek jawa yang masih sangat kental. Kita bisa melihatnya pada bahasa Inggris beberapa tokoh nasional kita, seperti Gus Dur dan Amin Rais. Cara berbahasa Inggris kedua tokoh ini oleh pemegang “standard English” di Indonesia dianggap sebagai tidak layak (subordinate). Meskipun tanpa adanya subordinat pun posisi British English dan American English sebagai dominan tetap sah bahkan justru semakin legitimate.

Kesadaran akan konstruksi tersebutlah yang menjadi obsesi terbesar teori hegemoni. Bahwa penggunaan bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika bukanlah sesuatu yang memang seharusnya diterima tetapi masih bisa dipertanyakan bahkan bisa dilawan dengan bahasa Inggris versi baru, yakni versi Indonesia.

Dalam pengertian ini, fonologi British English dan American English telah memegang kekuasaan karena dia dipatuhi dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkena efeknya. Dalam pembahasan kita, pihak yang terkena efek kekuasaan hegemoni British English dan American English tersebut adalah masyarakat pengguna bahasa Inggris di Indonesia.

Bagaimanakah mekanisme hegemoni British English dan American English bekerja di Indonesia? Hegemoni British English dan American English dipertahankan setidaknya melalui beberapa institusi. Pertama dan yang palingutama adalah sekolah dan perguruan tinggi. Acuan yang dipakai oleh kurikulum bahasa Inggris adalah British English dan American English. Hal ini bisa kita lihat dari pakar-pakar pembuat kurikulum yang hampir semuanya adalah lulusan Amerika atau Inggris. Juga, secara otomatis melalui kewajiban memakai kamus versi British English dan American English yang masih sangat resmi semacam Oxford Dictionary. Kedua, kelas menengah dan atas masyarakat Indonesia. Yang termasuk kelas ini adalah mereka yang seringkali berkunjung ke luar negeri. Terakhir adalah melalui media, khususnya media elektronik. Hal ini bisa kita lihat dari British English atau American English yang wajib digunakan oleh para pembawa berita atau presenter musik seperti VJ di beberapa media elektronik Indonesia. Beberapa institusi inilah, yang disadari atau tidak, telah mengukuhkan hegemoni British English dan American English.

Pemertahanan hegemoni “standard English” semacam ini juga terjadi di beberapa negara Amerika Latin yang menggunakan bahasa Inggris. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fought (2006:74), bahkan dia menyangsikan konsep “standard” tersebut:

“Standard English”. I put the word “standard” in quotes because the concept itself is so difficult to define; entire books are available on this topic (e.g., Bex and Watts 1999). However, it is definitely the case that, for example, middle-class Latinos in the communities that have been studied often use a variety that contains few or no vernacular grammatical structures. Also, there is pressure to use a standard variety in the school setting, and at least some children will use a different variety there than they do at home.

Demikianlah fakta akan hegemoni British English dan American English di Indonesia sudah kita ungkap beserta bagaimanakah hegemoni tersebut dipertahankan. Di sisi lain, kita tahu bahwa kemampuan berbahasa Inggris juga berhubungan dengan tingkat produksi bacaan dan pengetahuan sebuah masyarakat. Oleh karena itu, mestinya hegemoni British English dan American English di Indonesia harus segera diimbangi (untuk tidak menyebutnya ditumbangkan) dengan penemuan bahasa Inggris versi Indonesia. Apakah mungkin terbentuk bahasa Inggris versi Indonesia tersebut? Jawabannya ada di tangan intelektual Indonesia.

Penulis sadar akan keterbatasan tulisan ini. Banyak sekali bahan yang belum digali, terutama yang paling penting adalah (1) sejarah perkembangan hegemoni British English dan American English di Indonesia, (2) detail penjelasan mengenai bentuk-bentuk dialek di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai second language, khususnya negara yang tidak pernah dijajah Inggris tetapi menemukan versi bahasa Inggris baru sebagai second language, dan (3) teori dan data tentang korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan bahan untuk sebuah tema yang sangat besar dan luas ini. Penulis berharap dapat mengembangkan penelitian ini secara lebih ketat di lain kesempatan.


REFERENCES
During, Simon (2005), Cultural Studies: A Critical Introduction, Routledge, New York
Fought, Carmen (2006), Language and Etnicity: Keys Topics in Sociolingustics, Cambridge University Press, Cambridge.
Simon, Roger (1991), Gramsci’s Political Thought: An introduction, Lawrence and Wishart, London.
Strinati, Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London.

9 komentar:

Anonim mengatakan...

mas topik...
bukan perkara menghegomono atau dihegomono menurut saya yang penting...
bagi saya yang lebih penting adalah bagaimana kemudian kita bisa menempatkan bahasa indonesia sebagai bahasa yang menjadi tuan rumah di indonesia...
turis-turis yang datang ke negara kita lah yang seharusnya belajar bahasa indonesia, bukan sebaliknya ,,,kita sebagai tuan rumah yang mati-matian belajar bahasa inggris (entah itu yang britis atau yang bukan britis)untuk melayani mereka...
mohon maaf kalo komentarnya tidak sesuai dengan tulisannya,,,karena saya memang hanya membaca judulnay doangk

ujang

Anonim mengatakan...

terimakasih mas ujang atas masukannya.

anda benar sekali bahwa bahasa Indonesia harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.saya tidak tahu apakah saya sudah tidak nasionalis lagi dikarenakan tulisan ini.

tapi, begini; kira-kira yang saya maksud adalah konsekuensi bahasa Inggris sebagai bahasa dunia (internasional) berarti juga bahasa Inggris juga adalah bahasa kita.saya tidak sedang menyandingkan antara bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia dalam level yang sejajar. saya hanya sedang mencoba berbuat sesuatu yang mungkin berguna atas sesuatu yang sepertinya sudah tidak bisa kita elakkan lagi yang bernama kebutuhan berbahasa Inggris tersebut.

kasus Indonesia, menurut saya, menunjukkan contoh hegemoni yang sempurna atas bahasa Inggris oleh British English dan American English. padahal, semestinya tidak harus begitu.pemakaian British English dan American English dalam ranah fonologi secara fanatik, saya curiga, berkorelasi positif dengan produksi bacaan, pengetahuan dan informasi sebuah masyarakat sebagai konsekuensi logis bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. saya andaikan internasional disini tidak hanya Inggris dan Amerika melainkan juga Myanmar, Filipina, Arab Saudi, Afrika, Cina, dan seluruh negara di dunia.(jika ada teman-teman yang bisa membantu saya menunjukkan teori dan data tentang korelasi ini saya sangat senang sekali)

jadi, asumsi dasar saya adalah penguasaan bahasa Inggris bukan sebagai alat untuk melayani "mereka" melainkan untuk melayanai diri kita sendiri yang sepertinya mau tidak mau harus berbicara (berkomunikasi) dengan dunia internasional di era globalisasi ini. dan komunikasi, kita tahu, selalu mensyaratkan informasi dan informasi mensyaratkan bahasa.

dalam tulisan saya yang sangat terbatas ini, saya justru ingin mengIndonesiakan bahasa Inggris. cita-cita saya, kira-kira adalah terciptanya bahasa Inggris versi Indonesia, versi Jawa, versi jawa Tegal, versi Jawa Solo, versi Batak, versi Bali atau mungkin versi Irian.dengan demikian, saya berharap masyarakat semakin pintar dan semakin well-informed.dan oleh karenanya, tidak mudah linglung, gagu dan mudah dibodohi di tengah cepatnya arus informasi dunia serba internet ini.

soal bahasa Indonesia, saya ingin sekali menulisnya tersendiri. bagaimanakah posisi bahasa Indonesia di tengah globalisasi? bisakah dia untuk tidak menolak perubahan? bagaimanakah politik bahasa bekerja mempertahankan apa yang kita sebut sebagai "bahasa Indonesia" ini? dan masih banyak lagi...

begitu kira-kira yang ingin saya sampaikan. saya berterimakasih atas masukannya. jika ada rekomendasi bacaan terkait dengan tema ini saya sangat senang sekali. terima kasih...

salam,
taufiq

Anonim mengatakan...

sebenarnya hal inilah yang menjadi kegelisahan saya selama ini. mengapa hrus dengan british atau american english???mengapa tidak indonesian english??tapi sayangnya kadang jika kita berbicara bahasa inggris dengan aksen jawa, misalnya masih banyak yang menertawakannya.itulah pengalaman saya sebenarnya, saat belajar bahasa inggris. ataupun mungkin pengalaman teman-teman saya yang lain, sehingga mereka merasa tidak percaya diri untuk berbicara, padahal mungkin mereka mampu.barangkali banyak pula kejadian serupa di tempat lain..semoga tulisan anda dapat menjadi awalan adanya Indonesian english (mimpi kali yee....), but everything is possible.

Anonim mengatakan...

Mungkin jika Mencuplik Russel. bahwa bahasa mencermikan orangnya.
ketika kita orang indonesia ,aka kita pake bahasa indonesia. ketika kita orang jawa kita bahasanya lemah lembutt.
jika kita lestarikan dimulai dari diri sendiri mungkin bahasa kita bisa membalikan keadaan dengan menghegemini bahasa inggris.
eh... itu cuma alsannku karena aku ga bisa b. inggris. tapi sekarang baru latihan bahasa inggris. hai mas taufik dikontrakan setiap habis magrib ada program diskusi pake b. inggris lo...
karena ternyata jika bisa enak juga jika menguasai semua....

Anonim mengatakan...

Halo Mister... Disis Agus..
Ho ar yu ? Gud gud only, tho ?
Talking talking, you know David Beckham, Mister ?

atau, bagaimana Tukul berkata : Young Swear untuk mengatakan Sumpah Pemuda. Mungki, dari dialog2 spti itu nanti Indonesian English akan terwujud. Begitu ? Saya pikir tidak, Mas Taufik.
Yogas.

KOMUNITAS EMBUN PAGI mengatakan...

Lagi-lagi bahasa tak netral dan bebas nilai, aduh capek deh...ya piq, tak pikir kita sudah sama-sama tahu bahwa bahasa sebagai instrument perwujudan kehendak penguasa, maka dengan kritis entah linguistik kritis, atau semiotika kritis mampu mewaspadai imperialisme penguasa asing melalui bahasa. Bahasa inggris yang telah menjelma lama sebagai bahasa internasional. Sudahlah kita iklaskan sementara ini kita di jajah dan ditindas bangsa sendiri melalui bahasa indonesia.
Bahasa, baik secara isi maupun gramatikal telah menyembunyikan ihtikad jahat elite penguasaha untuk memanipulasi kondisi sosio-kultural, sosio-ekonomi, dan sosio-politik, melanggengkan kekuasaannya.

Luluk

Anonim mengatakan...

beberapa hari lalu, saya menonton film, yang dibintangi oleh matt damon. "brother grimms", kalau tidak salah [ingat dan tulis].

dalam salah satu adegan, civaldi, seorang serdadu berdarah perancis, berteriak "genekhraale", untuk menyebut "general", yang matt damon sendiri mengatakannya "jen(e)ral".

saya kira, tidak apa, kalau lidah ini terbiasa menebutnya "jendral", juga "keni" untuk menyebut "knee" (mungkin juga pembenaran),hehe...

Anonim mengatakan...

memang bukan sesuatu yang mudah. sebab, ini soal konstruksi.kita sudah terkontruksi oleh pelajaran bahasa Inggris yang British atau American.

titik persoalan saya adalah pada ranah fonologi, salah satunya yang terpenting adalah dialek, bukan pada grammar.

dekontruksi atas konstruksi tersebut bisa dilakukan tidak hanya dalam ranah wacana (perspekti) tetapi juga dalam ranah practice (pragmatis).

pertama, para pembuat kebijakan/pemerintah (pakar-pakar pembuat kurikulum bahasa Inggri di Indonesia) harus menandingi (memberi sanggahan) atas konstruksi wacana baru terebut (pentingnya Indonesian English)dan alasan mengapa konstruksi lama (pentingnya British/American English) harus tetap dipertahankan. tentu, kita menginginkan dalam dialog tersebut maing-masing agency meminimalkan ketidakjujuran intelektual. dalam hal ini, kita tahu pengetahuan dalam dirinya sendiri sudah menanggung kekuasaan.

kedua, apakah pertarungan wacana melalui dialog terebut tercapai atau tidak, para sarjana Inggris dan siapapun saja yang berkepentingan tetap harus turun ke lapangan untuk membuat contoh-contoh kongkret. misalnya, mendirikan kelas-kelas binaan percontohan pemakaian bahasa Inggris dengan penekanan pada dialek masing-masing daerah.

saya tidak tahu ide ini mungkin atau tidak. tapi, saya membayangkan asyik juga kalau semua presenter Metro TV itu berbahasa Inggris seperti Tukul... he he...

salam

Anonim mengatakan...

seperti DIALEK Tukul, bukan pada Grammarnya...

Salam,
taufiq