online degree programs

Sabtu, Oktober 25, 2008

Melintas Batas, Menghapus Sekat


Tulisan saya ini gak tau entah kenapa masuk dalam buku "All You Need is Love: Cak Nur di Mata Anak-anak Muda" yang diluncurkan pada malan Nurcholish Madjid Memorial Lecture (23/10) kemarin (saya datang sama gus Taufik dan temen2nya dari UI, kemudian kita nginep di kontrakan temen saya yang pernah kena schizophrenia, hah...malam yang aneh...), essai pendek ini satu di antara 30 essai lain yang memang semuanya "mesti" (karena ini dikompetisikan) menceritakan pengalaman pribadi bersentuhan dengan Cak Nur (walaupun tidak langsung), ya...kata Stephen King, bahwa penulis adalah manusia dan editor adalah dewa, maka jadilah tulisan di bawah ini dalam versi bukunya dipadatmampatkan dan beberapa bagiannya dibuang, ya gak apa-apalah, silakan membaca versi asli -manusia- yang belum diedit para "malaikat2" itu, .....

Saya mungkin termasuk orang yang telat membaca Cak Nur. Kali pertama saya membaca Cak Nur ketika semester-semester awal perkuliahan di Semarang. Suara Merdeka, sebuah koran lokal Jawa Tengah kala itu terdapat kolom khusus ulasan Cak Nur tiap hari Sabtu. Sebuah telaah yang begitu komprehensif atas persoalan kontemporer khas perspektif seorang Guru Bangsa, bagi saya yang masih awam waktu itu, begitu mencerahkan!

Terpikat dengan alur logika tutur Cak Nur dalam menjelaskan, mengurai, menganalisis, dan memberikan alternatif solusi yang begitu sistematis, runtut, dan memahamkan, maka saya mulai mencari dan membaca karya-karya Cak Nur lainnya, mulai dari Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), Islam Kemodernan, dan Keindonesiaan (1988), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994), dan lainnya. Selain itu juga buku-buku dan karya yang membahas mengenai pemikiran dan sepak terjang Cak Nur.

Waktu itu saya kemudian dianggap aneh, karena saya berlatar Nahdlatul Ulama (NU) dan saat itu menjadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat al-Ghazali, Semarang. Sebagaimana lazimnya PMII yang masih memiliki ikatan dengan NU secara kultural, maka dalam kajian pemikiran kontemporer rata-rata akan lebih dekat ke Gus Dur yang dianggap sebagai intelektual yang “sealiran” dengan Cak Nur dalam pemahaman keislaman kontemporer, lagi pula Cak Nur berasal dari Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) yang dulu berafiliasi ke Masyumi. Mestinya saya membaca Gus Dur, bukan Cak Nur, kata teman-teman. Namun jujur bahkan sampai sekarang saya tidak memiliki satu koleksi pun bukunya Gus Dur, selama ini saya hanya membaca dari perpustakaan atau pinjam teman-teman lainnya. Memang dari kajian kritis di PMII-lah saya berkenalan dengan tokoh dan pemikiran Islam kritis, liberal, progresif dan lainnya, tapi melalui Cak Nur-lah saya menemukan –semacam- kedamaian intelektual dan tuntunan jalan hidup.

Membaca lebih banyak pemikiran Cak Nur menjadikan saya kian sreg (cocok) dengan beliau. Tak sekadar alur pemaparan tulisan yang sistematis, mengalir, dan memahamkan awam, tapi kuatnya referensi yang digunakan Cak Nur menjadikan kualitas intelektualnya di mata saya kian nyata. Terlebih dengan argumentasi, ketajaman analisis, keluasan wacana, yang tak lepas dari konteks sosio-historis; ketepatan mencari titik temu dalam mengawinkan tata nilai kemanusiaan universal dengan nilai-nilai ketuhanan dan menjadikannya sebagai dasar argumentasi yang sahih dalam membahas pelbagai ranah kehidupan; keberanian membahas hal-hal yang dianggap tabu dalam konteks kajian Islam klasik, saya rasa tidak ada yang tertinggal oleh Cak Nur. Dan beliau sangat skriptural sekaligus liberal bagi saya, karena banyak referensinya langsung bersumber pada al-Quran, hadits, dan khasanah Islam klasik lain, namun dengan interpretasi kritis-progresif. Begitu luas cakupan kajian Cak Nur yang kemudian dapat dibagi dalam tiga besar, keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.
Saya menjadi lebih dekat secara personal dengan Cak Nur ketika mendapati bahwa beliau adalah intelektual lintas batas, melampaui sekat-sekat sentimen agama, ras, budaya, dan politik. Dengan karier intelektual yang sangat brilian bersanding dengan suksesnya karier di HMI sebagai ketua umum dua kali (walau beliau menyatakan bahwa itu adalah kecelakaan sejarah) serta banyak organisasi yang beliau ikuti, namun ternyata beliau tidak terlalu terobsesi untuk terjun dalam politik praktis, telah menjadikan apa yang beliau tegaskan dalam pemikirannya juga adalah apa yang beliau lakukan, konsisten dan istiqamah di jalan sunyi dunia intelektual. Di sisi lain saya secara personal memang tidak terlampau berminat dengan politik, tapi lebih berat pada intelektualisme dan pendekatan kultural lainnya.

Dalam keasyikan membaca Cak Nur, saya mulai menulis isu-isu yang juga dibawa oleh Cak Nur, mulai pluralisme, sekularisme, kebebasan beragama, demokrasi dan Islam, dan lainnya di media kampus maupun umum, termasuk di dunia maya. Maklum waktu itu saya mulai semester awal sudah masuk dan belajar jurnalistik di pers mahasiswa Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes), sehingga saya relatif punya akses untuk menulis lebih besar di media kampus dibanding mahasiswa lain. Dalam banyak tulisan saya yang berkaitan dengan ihwal keagamaan dan kajian humaniora lainnya, banyak mengutip dan mengambil pemikiran Cak Nur dan beberapa tokoh pembaharuan Islam lainnya yang memang sudah saya baca mulai pertama masuk di PMII.

Hingga pada suatu ketika saya terang-terangan dicap antek Cak Nur dan Jaringan Islam Liberal (JIL) ketika saya mengulas perjuangan tokoh Islam Liberal Farid Esack pada majalah mahasiswa kampus saya, padahal waktu itu ke Utan Kayu, ke Paramadina atau bertemu Cak Nur langsung saja belum pernah sama sekali. Sebelum itu sepertinya saya sudah ditengarai sebagai eksponen gerakan Islam liberal oleh para aktivis Islam Kanan ketika berani membedah buku Islam Liberal dalam diskusi di pers mahasiswa serta menulis di buletin PMII. Apalagi ketika itu saya juga membuat Komunitas Kajian Agama dan Filsafat (Kom-KAF) di kampus bersama sahabat-sahabat di PMII dan aktivis mahasiswa kritis lainnya, dan pemikiran Cak Nur adalah salah satu bahan diskusi kami.
Pada awal kuliah ketika masuk seleksi tutorial Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai program resmi kampus dalam mem-back up perkuliahan PAI, saya menggugat tutorial yang hanya dikuasai oleh satu harakah Islamiyah saja, yakni al-Ikhwan al-Muslimin termasuk KAMMI. Walaupun saya berhasil menjadi tutor, tapi agaknya mulai saat itulah saya di-black list oleh para ikhwan aktivis Tarbiyah tersebut dalam hal gerakan dan pemikiran keislaman. Lebih dari itu ketika menjadi ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Penelitian (UKMP) Unnes, rupanya sudah tersebar pemahaman pada hampir semua aktivis Islam kampus bahwa saya Kiri, hingga ada yang melarang adik kostnya ikut UKMP karena khawatir ikut-ikutan Kiri.

Karena Cak Nur pula paradigma pemikiran saya mengenai peran dan sikap sebagai seorang intelektual berubah. Dari Cak Nur pula saya berani lintas batas pergaulan di luar organisasi dan komunitas yang berkultur NU. Terutama pada akhir masa studi, dalam penelitian skripsi saya membuka diri dan berupaya menjalin hubungan dengan teman-teman di HMI Dipo dan MPO, Gema Pembebasan, termasuk KAMMI. Dari situ saya menjadi lebih terbuka untuk ingin tahu lebih banyak akan semuanya, termasuk Islam Kanan yang selama ini seakan-akan memusuhi saya. Motivasi saya setidaknya adalah mencari kebenaran, bukan pembenaran. Pada akhir studi pula bersama tema-teman mahasiswa yang ingin mengembangkan intelektualisme membentuk Komunitas Embun Pagi yang multikultural, lintasbahasan, dan mewadahi semua kegelisahan intelektual. Diskusi dilakukan seminggu sekali, mulai pukul 09.00 malam sampai subuh, dengan satu tema utama yang akan mengalir pada banyak bahasan. Salah satu yang menarik adalah ketika mengundang teman-teman dari Gema Pembebasan, rupanya mereka tertarik dengan komunitas kami karena memang multiperspektif, yang bagi mereka bahkan tidak ada dalam kajian-kajian mereka selama ini. Walaupun dalam diskusi tidak dapat lepas dari tradisi defensif mereka, namun mulai dari situ saya secara personal dan teman-teman di komunitas belajar lintasperspketif, berani terbuka, tanpa tendensi, untuk belajar dan mencari kebenaran yang bisa terdapat pada apa dan siapa saja.

Cak Nur dengan keluasan dan kedalaman intelektualitasnya, ketinggian kearifan dan kebijakannya menjadi panduan bagi saya untuk membangun sebuah komunitas yang egaliter, plural, intelek, dan religius di Semarang bersama teman-teman lain. Lintas batas pergaulan saya di luar PMII, di luar NU, bahkan kadang ke Kiri, kadang ke Kanan yang inspirasinya datang dari seorang Guru Bangsa, Nurcholish Madjid, menjadikan saya terbuka terhadap apa dan siapa saja, bahkan saya tidak terlalu risau dikatakan berkhianat pada PMII, karena bagi saya adanya saya dan hidup saya bukan hanya untuk PMII, tapi untuk semua. Ada nilai-nilai universal yang saya pelajari dari Cak Nur, yang lebih tinggi dan luas yang mesti dipegang dan perjuangkan ketimbang semangat primordialisme yang sentimen dan sektarian. Intelektualisme Cak Nur-lah yang menginspirasi saya untuk tetap terus teguh di jalur kultural-intelektual ketika sahabat-sahabat di PMII lebih memilih jalan struktural yang lebih dekat pada politik praktis. Dan saya cukup berbangga, sedikit benih yang saya semai telah bergayung sambut dari adanya semangat baru intelektual muda kampus, terutama di Komunitas Embun Pagi.

Ketika saya datang ke Jakarta awal 2008 salah satu niat saya adalah lebih dalam membaca, memahami, dan melakukan jalan kehidupan Cak Nur dalam jalan intelektual. Dengan kesadaran inspirasional dari Cak Nur, saya menjadi lebih merasa bebas, tak terkekang dan terbuka untuk belajar di STF Driyarkara, Paramadina, Utan Kayu, Freedom Institute, UIN, UI, tentang filsafat, keagamaan, politik, dan ranah sosio-humaniora lainnya, tanpa terbelenggu sekat-sekat rezim intelektual yang ada di antara mereka. Ketika membaca Cak Nur bagi saya adalah membaca kesederhanaan, intelektualitas, kebesaran jiwa, yang melampaui sekat-sekat itu, maka sudah selayaknya dalam belajar dan mencari kebenaran kita tidak terkungkung dalam paradigma yang terkotak-kotak dengan dalih kebenaran semu. Saatnya kita belajar dari semuanya, untuk semua, melampaui sekat-sekat keangkuhan intelektual itu.

Edi Subkhan, penulis....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mohon maaf, saya telah mengambil gambar buku Cak Nur untuk dimuat di blog saya, bermenschool.wordpress.com. terima kasih.