online degree programs

Selasa, Oktober 21, 2008

Peran Besar Perempuan Berantas Korupsi


Pemberantasan korupsi selama ini dilakukan dan dipandang dari perspektif laki-laki saja. Dalam model konseptual pemberantasan korupsi di masyarakat tak terdapat klausul yang menyertakan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang mestinya juga punya peran yang sama –bahkan lebih- besar dengan kaum laki-laki dalam pemberantasan korupsi.

Mengangkat isu perempuan dalam pemberantasan korupsi patut untuk dicermati secara serius ketika melihat bahwa pemberantasan korupsi selama ini tak pernah terselesaikan secara mendasar. Korupsi di Indonesia sudah menjadi sebuah sistem budaya yang dianggap sah dan wajar-wajar saja, oleh karenanya penyelesaian secara mendasar atas korupsi mesti menyentuh ranah –meminjam istilahnya Bourdieu (1930-2002)- modal budaya. Dalam “modal budaya” korupsi menjadi habitus personal yang selalu diperkuat-memperkuat situasi-kondisi sosio-kultural masyarakat.

Pada pendekatan pemberantasan korupsi selama ini yang masih jauh dari menyentuh modal budaya termasuk konsep carrot and stick ala Kwik Kian Gie, akhirnya hanya dapat diharapkan efektifitasnya dalam jangka pendek. Yakni mendapatkan koruptor untuk diadili dan diminta mengembalikan duit, belum sampai menjadikan paradigma antikorupsi sebagai habitus yang akhirnya menjadi modal budaya positif masyarakat. Oleh karena itu sudah semestinya upaya pemberantasan korupsi secara preventif tak sekadar kampanye bagi-bagi buku panduan berantas korupsi, stiker, pamflet, dan sekian banyak seminar serta pelatihan antikorupsi, tetapi juga mengupayakan pembudayaan antikorupsi.

Satu konsep “pembudayaan” antikorupsi lewat pertunjukan budaya semacam wayang, teater, sinetron, film, pun serasa tak ada hasil, karena memang yang lebih dominan dan dirasakan adalah usur “seni”-nya, bukan substansi pesannya. Hal ini karena pada masyarakat sekarang -bahkan para penikmat budaya- dalam Abad Bisnis Pertunjukan –kata Neil Postman (1985)- cenderung menjadikan media sebagai pesan itu sendiri (medium is message) sebagaimana dikatakan Marshall McLuhan.

Dalam hal ini perlu diingat bahwa proses pembudayaan yang paling ampuh adalah pendidikan. Dalam konsep tri pusat pendidikan dinyatakan bahwa yang utama dan pertama adalah keluarga sebelum lingkungan masyarakat dan sekolahan, karena usia anak-anak adalah usia emas untuk membentuk karakter dan kepribadian. Di keluarga inilah perempuan menempati posisi strategis sebagai guru yang “sempurna”.

Ia sempurna karena tak sekadar memberikan pembelajaran hidup secara cuma-cuma dan ikhlas, tapi juga secara otomatis mempunyai ikatan emosional seorang Ibu pada anaknya, yang sudah pasti pendidikan yang diberikan dilandasi oleh rasa cinta yang tulus. Posisi perempuan inilah yang jarang disadari begitu strategis untuk menanamkan dan membudayakan antikorupsi sejak dini pada anak-anak mereka. Dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini tersebut, pada hakikatnya merupakan upaya pemberantasan korupsi secara mendasar sampai pada upaya membangun modal budaya dan habitus baru yang antikorupsi.

Memang hal ini takkan dapat dirasakan sekarang, tapi efeknya adalah dalam jangka panjang ketika anak-anak tersebut sudah besar dan mengambil peran sosial serta berada pada institusi sosial tertentu untuk secara bersama meruntuhkan sistem budaya korup. Walaupun begitu tak dapat dikatakan bahwa perempuan dalam kedudukan strategisnya di keluarga tersebut tak dapat memberi kontribusi pada penanganan korupsi saat ini. Justru karena perempuan berperan sebagai ibu rumahtangga yang berada pada wilayah domestik keluarga, maka ia menjadi dominan mengurusi rumahtangga lebih dari suami.
Peran penting tersebut dalam upaya mencegah korupsi tak sekadar dalam urusan keuangan keluarga tapi juga dengan posisinya sebagai pendamping, motivator, dan orang yang paling berperan di balik “kesuksesan” suami. Pameo bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki ada seorang perempuan banyak terbukti, karena riwayat sukses suami dalam pekerjaan kebanyakan karena ia tak terlalu terbebani memikirkan urusan domestik yang sudah dapat ditangani istrinya dengan baik. Sebaliknya –walaupun dalam perspektif jender- harus diakui bahwa pekerjaan suami juga dapat gagal bahkan tersandung korupsi karena istri gagal menangani urusan domestik rumahtangga.

Daoed Joesoef (2007) bahkan mengatakan, bahwa di balik keajaiban pertumbuhan ekonomi Jepang, ibu rumahtangga merupakan faktor penting yang tak dapat diabaikan. Peran kerumahtangan perempuan Jepang adalah sebagai kyoiku mama atau education mama, yakni peran perempuan dalam menanamkan nilai-nilai sosial, tradisi, budaya disiplin, dan etos kerja tinggi pada anak-anak.

Dengan konsepsi tersebut, maka perempuan dalam rumahtangga di Indonesia tak sekadar dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak-anaknya saja, lebih dari itu mereka dapat berperan mencegah suami berbuat korupsi dengan menunjukkan empati, kasih sayang, dan pengurusan rumahtangga yang baik, yang tak banyak menuntut pemenuhan materi.

Pengikutsertaan perempuan dalam mengatasi korupsi ini memang lebih bersifat substansial karena posisi strategisnya yang jarang diakui dalam bingkai budaya patriarki, oleh karenanya konsep ini merupakan pendekatan kultural melalui institusi sosial terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga berdasarkan pada hakikat pendidikan sebagai proses pembudayaan yang utama. Oleh karena itu, secara praksis diperlukan penjabaran prosedural untuk mengkampanyekan pendekatan ini.

Agenda yang perlu dilakukan adalah penyadaran ibu rumahtangga akan posisi strategis dan potensi terpendam mereka. Forum arisan, majlis ta’lim, PKK, dan lainnya merupakan institusi sosial yang bagus untuk memulai pendekatan kultural berperspektif jender dalam pemberantasan korupsi ini.

Edi Subkhan, penulis ajah...

4 komentar:

KOMUNITAS EMBUN PAGI mengatakan...

Korupsi bahaya laten, itu slogan tiga huruf keramat yang menghantui pejabat kali ini "KPK". Lembaga super body yang semula menegakan hukum menuju masyarakat bersih yang bermoral, malahan jadi kekuatan politik tersendiri. Ironinya, korupsi tidak lagi menjadi isu penanggulangan yang murni berlandaskan pada norma moral dan etika (Grundnorm). Jadi isu korupsi juga terintrodusir dalam praktek yang dijalankan oleh sejumlah oknum sebagai "komoditas" baru, bukan murni sebuah perjuangan dan pembebasan. Tapi tak apalah hanya ini yang bisa di lakukan manusia termasuk saya. he he he
Dengan demikian, tiada gunakan revitalisasi dalam kebijakan penanggulangan korupsi itu disempurnakan dan terus diperdebatkan. Tidak pada tempatnya lagi bertarung dalam wilayah berbincangan tentang kebijakan pemberantasan korupsi dari subtansi hukum (legal subtance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture), namun persoalan semata-mata hanya "perilaku" manusia saja.....

luluk

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://gaya-hidup.infogue.com/
http://gaya-hidup.infogue.com/peran_besar_perempuan_berantas_korupsi

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

Anonim mengatakan...

Sedikit-sedikit perempuan, perempuan kok sedikit.
apakah dunia milim perempuan. laki-laki dan perempuan itu mempunyai perena penting semua. karena saling melengkapi.

Anonim mengatakan...

Ya karena jarang yang melihat peran penting itu, jadi ya perlu diangkat, gitu maksudnya....gitu aja kok repot...