online degree programs

Selasa, Oktober 07, 2008

Psikologi, Teknologi, dan Dan Lain-lain

Pada pukul 00:00, tengah malam, manusia menemukan bahasa sebagai alat komunikasi. Beberapa jam selanjutnya, tidak terlacak kejadian berarti, sampai kira-kira pukul 08:00 pagi, moyang manusia diketahui telah melukis di dinding-dinding gua. Setelah itu pun keadaan kembali lengang. 12 jam setelah itu, pada pukul 08:00 malam, orang Sumeria menemukan tulisan, dan Hieroglyph muncul 40 menit kemudian. Sementara itu, abjad hadir pada pukul 09:28, dan tulisan filsuf Yunani kuno diketahui pada beberapa menit selepas pukul 10:00 malam. Sampai pada jam ini, bisa dilihat bahwa 22 jam (dari 24 jam) berlalu, dengan biasa saja.

Selanjutnya, menjelang tengah malam Gutenberg menemukan mesin cetak. Dan momentum ini menjadi titik awal meningginya percepatan perkembangan teknologi. Telegraf, telepon, fonograf, ditemukan hamper pada menit yang sama. Tak lebih dari 2 menit berjalan, berturut-turut muncul inovasi berupa radio, film suara, computer, xerografi, televisi berwarna. Dan pada menit-menit akhir sebelum tengah malam, ditemukan siaran FM stereofonik, satelit, gabungan telekomunikasi dengan computer (WEB), hanphone, laptop, robot yang mampu menangis, dan sebagainya. Inilah, tengah malam itu.

Barangkali demikian, yang ingin diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat. Runtutan yang dimulai pada zaman Homo Cromagnon sampai pada tahun-tahun sekarang ini, yang kurang lebih berjarak 36000 tahun.

Lepas dari tepat atau tidaknya skala yang digunakan pada ringkasan tersebut, setidaknya ada 3 fenomena yang bisa ditangkap darinya. Yang pertama, berkaitan dengan percepatan (akselerasi). Kembali melihat ringkasan, selama 22 jam awal berlalu dengan biasa saja. Justru hanya dalam kurun 2 jam (akhir) itulah, “semuanya” ditemukan hingga seperti sekarang ini. Betapa terjadi kesenjangan kemajuan manusia (atau teknologi?) yang terjadi dalam kurun tersebut. Manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif.

Yang kedua, adalah perubahan yang terjadi dengan akselerasi tinggi tersebut ternyata berkecenderungan untuk melipat realita. Jaringan WEB, handphone, laptop, MTV, dunia dalam berita, miniatur Negara (TMII), hanyalah beberapa dari sekian banyak penampakan dari kecenderungan tersebut. Adalah “ringkas dan mudah” yang menjadi zikir harian-atau mungkin bisa disebut “ideologi” jika dikaitkan dengan konsepsi Althusser.

Fenomena selanjutnya, adalah keberlanjutan dari fenomena pertama. Jika sebelumnya dikatakan bahwa manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif, maka fenomena yang ketiga ini adalah kikisnya sifat kritis. Kritis yang hilang bukanlah kritis dalam arti “sekedar sinis”, melainkan kritis yang bersifat reflektif. Karena percepatan yang seperti ini telah tidak mengijinkan manusia untuk sekedar berpaling dari teknologi. Telah terjadi perubahan dalam sebuah percepatan, dan percepatan itu pun (yang berarti perubahan kecepatan) mengalami perubahan. Dan perpaduan antara dua hal tersebut lah (hilangnya sifat kritis dan larut dalam teknologi), yang menjadi unsur evolusi masyarakat pendiam dan tak peka.

Seperti yang telah terkatakan sebelumnya, yang menjadi orientasi di sini adalah percepatan itu sendiri, bukan lagi kreativitas atau melipat. Yang terjadi bukan lagi pembalap yang ingin memacu motornya secepat mungkin untuk menaiki podium, melainkan meng-nol-kan gaya gesek antara ban dan aspal, meng-nol-kan pengaruh gaya gravitasi, mendesain bentuk se-aerodinamis mungkin untuk meng-nol-kan tekanan udara. Keadaan yang mencerminkan sebuah kegilaan akan kecepatan dan percepatan maksimal; ekstase akan percepatan, sekaligus kegandrungan akan ke-nol-an; nihilitas. Perpaduan “sempurna” antara optimisitas, pesimisitas, nihilitas, fetishitas, sakralitas, profanitas, eksistensi, dan banalitas.

Teknopsikologi-psikoteknologi

Mungkin berawal dari sebuah pengandaian adanya garis korelasi antara fenomena-fenomena tersebut dengan psikologi, yang dilihat melalui kacamata analisis Alvin Toffler.

Toffler menyatakan bahwa setiap jenis teknologi menghasilkan lingkungan teknologi-teknosfer-yang khas. Teknologi menjadi penyedia akses bagi mengalir dan bertukarnya informasi, yang mewarnai budaya informasi (infosfer). Infosfer yang terbentuk, pada akhirnya juga akan membentuk, atau setidaknya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial (sosiosfer). Dan karena “keterlanjuran” kodrat manusia sebagai makhluk sosial, maka perubahan sosiosfer juga berpengaruh masing-masing individu secara personal dalam ranah psikologis. Dan inilah, yang disebut lapisan psikosfer. Sambil lalu, analisis Toffler terlihat mantap dan seolah-olah mendeskripsikan fenomena global yang dihadapi oleh manusia sekarang ini.

Tetapi, benarkah semua manusia?

Apa yang dianalisis oleh Toffler, tentu saja berasal dari berbagai informasi diadapatkan dan dia ketahui, adalah apa yang bersentuhan dengannya, baik melalui pikir, rasa, maupun indra. Tetapi, tesis tentang Global village bukanlah “tesis paska fenomena”. Tesis tersebut adalah sebuah prognosis (prediksi) dari seorang (paranormal) Mcluhan, dan tentu saja berdasarkan indikasi dan diagnosis yang dia temukan. Global Village, bukanlah sesuatu yang telah terjadi, dalam arti tidak semua rentang geografis yang berkelok-terjal bisa teratasi oleh jejaring teknologi.

Toffler mungkin lupa, masih ada kata “kesenjangan” di antara jutaan kata dalam kamus. Kata tersebut tetap menjadi lubang hitam dalam perbincangan kali ini. Akselerasi, justru bersesuaian dengan peribahasa Jawa kebat klewat gancang pincang. Berjalan begitu cepat, tetapi juga banyak yang terserak-tercecer olehnya. Agaknya Toffler terlalu meyakini keberlakuan konsep Mcluhan, dan menariknya terlalu jauh ke dalam ranah psikologi. Dia yang sama sekali tidak menyentuh tentang dirinya, mencoba meraba apa yang dia lihat, tetapi mengatakan telah memegang dirinya.

Meskipun dunia telah dilipat dalam televisi, tetapi lipatan itu tetap merupakan keadaan yang “seolah-olah”. Semua manusia tak pernah hidup dalam satu desa, yang global sekalipun. Kecepatan dan percepatan memang bisa “mereduksi” waktu, tetapi tak bisa mereduksi ruang (bahkan “mereduksi” pun tidak), sedangkan manusia hidup dalam dimensi ruang sekaligus waktu. Manusia, tetap berkeringat dan sesekali menghela nafas meski menaiki pesawat super untuk mengelilingi dunia. Dan laris-manisnya psikologi saat ini, justru memperlihatkan secara gamblang bergesernya refleksi, yang telah tergantikan oleh ucapan ”mari bersenang-senang”

Ahmad Fahmi Mubarok

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan memang sudah semakin tak terkejar oleh siapapun tak terkecuali, meskipun seorang folsof hebat besar sekalipun yang hanya menari-nari di atas fatwa universal dan pemikiran jauh ke awan. Namun luput dari perhatinnya, disetiap sudut sains telah ditemukan banyak kejadian dan peristiwa terjadi, penemuan demi penemuan, penelitian, diskursus hingga konflik. Seakan tak sanggup berbagai ilmu pengetahuan di jadikan menjadi satu seperti ambisi rene Descartes. Namun tidak menutup kemungkinan ambisi beliau dibuka kembali, bagaimana sanggup semua ilmu pengetahuan di kuasai oleh satu orang sekaligus? perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa banyak perubahan. Apalagi hal ini di dukung oleh desiran arus globalisasi dan kapitalis yang menjadikan semua seakan seperti roda yang berputar dgn kecepatan penuh dan kekejaman layaknya rimba.
Im\lmu pengetahuan dan teknologi telah membuat manusia satudengan manusia lain menjadi satu. Karena orang bepergian dan berkomunikasi hanya memerlukan sekian menit tanpa memandang jarak atau waktu. dunia telah menjadi satu..

Thaks
luluk