online degree programs

Selasa, Oktober 07, 2008

Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi

Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi, psikologi, dan logi-logi yang lain, pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari disiplin, metode, obyektivitas, intersubyektivitas, dan ilmiah. Hal ini sedikit paralel, seperti ketika (saya lebih suka) menyebut sosiokapitalkomunisliberal-dan lain(-lain)isme.

Berbagai perihal di atas, yang selalu digosipkan dalam bangku sekolah, merupakan standarisasi kepandaian seseorang. Dengan mengetahui, dan mengerti definisi dari masing-masing kata tersebut, maka diandaikan pondasi masa depan telah terbangun. Dan secara tidak langsung, juga terdengar, bahwa hal-hal tersebutlah yang menjadi pondasi dari kehidupan manusia.

Setidaknya, akan ada banyak jempol teracungkan jika dengan lancar bisa menuturkan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial, dengan sedikit bumbu Weber, Durkheim, Comte ; atau mendongeng struktur psike manusia dalam perspektif Maslow, Lewin, Watson, ataupun Darmanto Jatman. Barangkali, akan dianggap sangat kreatif jika mampu melakukan sebuah penelitian dengan disiplin dan metode ilmiah dengan berlembar-lembar daftar pustaka, meski hanya akan memperbanyak tempat debu di rak-rak perpustakaan tanpa pernah terbuka kembali, bahkan oleh si peneliti.

Tetapi, ada beberapa kerancuan terkait dengan perihal tersebut. Logos, jika itu dimaknai sebagai ilmu, maka harus bersesuaian dengan apa yang dihadapi oleh si pelajar logos. Seringkali barisan rapi manusia, diperdengarkan dongeng tentang cara menanggulangi erosi di pegunungan, sementara lingkungan yang dihadapinya adalah pantai yang lebih berdekatan dengan abrasi. Logos dihadirkan sebagai sesuatu yang sangat jauh, sebagai perbincangan yang bersifat elite.

Selanjutnya, jika logos dimaknai sebagai sebuah kebenaran, justru yang terjadi adalah semakin memperlebar jarak antar kebenaran, sekaligus mempersempit jarak antara kebenaran dan kebohongan. Ketika baru membiasakan diri untuk membaca koran (dan tentu saja belum belajar merefleksikannya), kita (dipaksa) meninggalkannya demi melihat dan mendengar video klip dalam tayangan televisi. Alih-alih menghadirkan logos adalah sesuatu yang bermakna luas, banyak dan spesifik, tetapi justru tak saling terkoneksi dan kontradiktif satu sama lain. Sehingga secara tidak langsung, telah terjadi pemaksaan untuk mengagungkan sekeping dan menafikan kepingan yang lain.

Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi, psikologi, dan logi-logi yang lain, seharusnya membawa alur nalar kepada realitas. Tentang bagaimana melihat realitas dari kacamata “kata sebelum logi” (--logi), juga tentang sisi “kata sebelum logi” dari realitas. Tetapi, pengandaian ini juga tak bisa diandaikan dengan mengambil jarak tertentu dengan realitas, sehingga bisa dengan leluasa mengamati realitas dan melihat detil-detilnya. Realitas, tak bisa diandaikan seperti televisi, yang bisa di lihat dari jarak minimal 3 meter, sesuai dengan anjuran kesehatan mata. Pun cara tersebut juga hanya akan memperlihatkan gambaran yang tersaji di layer televisi, tanpa bisa mengetahui kabel, dioda, lampu led, speaker, resistor, yang terangkai di dalamnya. Dan sampai di situ, juga tidak akan diketahui bagaimana koneksi yang terjalin mesra, antara televise dengan satellite, sampai dengan artis-artis yang terlihat di layarnya.

Bahkan, untuk keluar dari ruang untuk melihat ruang, atau keluar dari rentang waktu untuk melihat jalannya waktu, juga sebuah kemustahilan. Sedangkan keduanya, waktu dan ruang adalah anasir dari realitas.

Satu-satunya yang bisa dipahami dari realitas adalah sesuatu yang bersentuhan langsung, baik melalui pikir, rasa, maupun indra. Maka, logos, paling tidak harus bersesuaian dengan hal tersebut. Baik logos dimaknai ilmu maupun kebenaran, ataupun logos yang di-sebagai-kan ilmu maupun kebenaran. Dan logos itu sendiri, selalu didahului oleh pembacaan, yang merupakan keseluruhan dari sensasi, persepsi, dan interpretasi. Atau, haruskah terjadi penambahan “logologis” dalam daftar mata pelajaran? Semoga saja tidak.

Ahmad Fahmi Mubarok.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

"Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi" bagi saya = ilmu hehehe....