online degree programs

Jumat, Oktober 24, 2008

Setelah Modernitas dan Posmodernitas



Sebuah karya besar yang patut kita apresiasi dan menjadi bahan rujukan dalam cultural studies adalah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), terutama terbitan paling akhir oleh Jalasutra. Dalam pengantarnya, penerbit Jalasutra menyatakan bahwa, “...banyak pemikir kontemporer yang diulas cukup panjang dan ‘cair’ pemikirannya oleh Yasraf, ternyata nyaris ‘tak tersentuh’ dan ‘tak diulas detail’ oleh penulis kebudayaan lainnya” (2004: 34).

Dunia yang Dilipat berangkat dari realitas baru, yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan percepatan dunia. Betapa tidak, merunut pada logika Yasraf, berjilid-jilid buku yang dulu memenuhi satu lemari, sekarang dimampatkan dalam sebuah flash disk seukuran jari kelingking kita; mengirim surat dari Demak ke Denmark tak perlu menunggu berhari-hari, dalam hitungan detik lewat e-mail, surat kita sudah sampai; kita pun tak perlu berdesak-desakan mengantre tiket film di bioskop, karena film-film bermutu telah dimampatkan dalam bentuk home theatre (VCD, televisi). Dengan kata lain batas-batas kebudayaan itu kini seakan runtuh, dan kita sekarang hidup dalam dunia yang telah kehilangan batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulakrum, antara seni dan kitch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminin dan maskulin. Batas-batas tersebut telah didekonstruksi, dan meninggalkan sebuah dunia dengan segala hal yang berada di dalamnya tumpang tindih, campur aduk, bahkan seakan-akan kemampuan untuk membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004: 37).

Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (teka-teki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas, dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke masa lalu.

Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme, eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard, sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negara-negara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negara-negara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga, industrialisasi budaya, dan sebagainya.

Di titik inilah Yasraf bergerak melewati posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah; lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli, tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan, penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup.

Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim.

Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan media dan informasi seperti televisi dan internet yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer (bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx). Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan hiperealitas media dan informasi.

Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah, realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi. Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain, kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan. Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraan-citraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh alarm system modern dan pintu otomatis, ternyata tidak aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas, mengemas, dan merepdoduksi bencana alam, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan, kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan, ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara simultan membawa dan menghadirkannya di atas panggung tontonan rumah.

Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain, modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang bergantung pada produksi secara terus menerus yang dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan arah tujuan, dan semata menggantungkan serta menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana. Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga.

Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan.

Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah. Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi, teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan. Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan irasional, pada agama. []

* Edi Subkhan, penulis.

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://gaya-hidup.infogue.com/
http://gaya-hidup.infogue.com/setelah_modernitas_dan_posmodernitas

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!