online degree programs

Jumat, Januari 25, 2008

emboh

Waktu,,,,,,

demi waktu yang merenggut umurku, huruf demi huruf, bait demi bait,

dan demi malam yang dingin berubah jubah,

diantara lampu-lampu neon yang merampas keheningan itu,

maka kemana lagi kan kau tambatkan sepi ini Duh istriku,

jika aku tidak lagi seperti yang dulu dimana cinta memuja kita,

yaitu saat air melumuri seluruh tubuh ini tanpa kepentingan, tanpa selimut yang menutup ketelanjangan hati kita, hingga hatiku dan hatimu tertidur bersama ilalang yang tumbuh dibawah gedung-gedung megah itu,sampai sore mesra menjemput umurmu,

Ahh,, bagaimana kau akan mengenangnya istriku…

Dan Kembali,

Aku ingin kembali dimana wadal ini pernah digambar luka sejarah desa,

Bersama ribuan kotoran yang tercecer dalam setiap jengkal tanah ,

hingga kehidupan berjalan apa adanya,

tidak ada sekat yang menutup persetubuhan hati ini,

selain ketulusan dan ketulusan dan ketulusan untuk hidup bersama,

untuk hidup sebagaimana awalnya kehidupan ini telah menghidupkan kita,

Aku ingin kembali hidup apa adanya, apa adanya, laiknya syair yang aku tulis dari cintaku pada siapa saja,,,,

Bagaimana kau akan mengenangnya Duh istriku,

Jika langit sudah terbungkus bau anyir darah,

Bumi tergeletak dikotak sampah,,

Agama, kapitalisme, sosialisme, modernisme, dan lain-lain penyakit itu telah

Mewujud sebagai kreasi penghancur keadilan, kemanusiaan, pun ketulusan itu??

Ah,,Bagaimana kau akan mengenangnya…

Jika raut muka ini layaknya sesaji, bau menyan yang menghadirkan mimpi-mimpi, sementara orang-orang terpaku dalam kebodohannya, hingga kejujuran tinggallah harapan kosong, kemanusiaan tertambat di ujung langit, kelaparran menjadi anekdot perwakilan rakyat dan ketuhanan sekedar basa-basi kebijaksanaan.

Lihatlah anak-anakmu istriku,,,

hutan menangis dalam galau kemanusiaan, naluri tinggal disepertiga malam yang terkutuk, air mata tercecer disudut-sudut kota, sementara diatas sana hujan kata menindih kepala, orang-orang terbangun menjadi mayit karena desa tidak lain hanyalah selilit, selilit, selilit, dan selilit........

bencana tidak ubahnya kebudayaan negeri para pendosa, yang dibingkai dalam kardus-kardus dongeng dan carut marut kepentingan........istriku,,,

dengan apa kau akan mengenang sejarah ini,

jika kertas dan tinta saja kau tidak akan mampu membeli??

Ohh....Duh Gusti, Sang Hyang Manon,,punjering bumi.......

aku sekedar bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, bertanya, bertanya dan bertanya......

Tirta rahayu bumi ing ati, bumi yang tertindas dalam makam kebiadaban dan kutukan yang terkutuk...

Maaf, Embun pagi muncul disekujur tubuhku maka perkenankan aku segera menuntaskan rokokku…..

Duh , Sarjana Muda

Cahaya yang terbit di ufuk timur,

Bermain dengan embun pukul enam, menggigil, ngantuk dan laen-laeen

Bersimpuh dibangku penyeragaman pikiran-pikiran

Tergopoh-gopoh dirimu, menjinjing segenggam senyum orang tuamu

Didalam apeknya tas yang tak pernah kau cuci,apalagi baru……

Pula Deretan keinginan yang terbit sebelum fajar menunjukkanmu pada dunia,

Pada kemanusiaan, pada keadilan,pada tanggung jawab, pada kebermaknaan dan pada pada-Nya

Cahaya yang terbit diufuk timur,

Masyuk Berceloteh dengan suara burung

Yang mengajarkanmu tentang keindahan cinta, sebentuk hidup itu,,

Tentang kearifan dari segala kearifan, tentang kesombongan para bijaksana,

bahkan tentang kematian kesadaran,

Tentang kebohongan, tentang keculasan, tentang kegilaan orang-orang waras

Tentang segala-galanya, sampai dirimu tak mengerti apa-apa

Sampai dirimu memahami bahwa siang yang panas itu berhak untuk menjadi dingin

Sampai dirimu menyadari kehadiranmu, existensimu, kepergianmu adalah fatamorgana

Ingatlah bahwa Kita tidak sedang hidup, melainkan hanya memainkan scenario drama

Kita hanya diperkenankan melakukan improvisasi dari peran-peran kita…………………

O, cahaya yang terbit dari ufuk timur

Lihatlah waktu harus menyelesaikan waktumu

Dan kau harus bergegas pergi, pergi, pergi dan pergi,,

Kemana aku sendiri tidak tahu

Sampai mana aku sendiri tidak tahu

Dengan siapa aku sendiri tidak tahu

Untuk siapa aku juga tidak tahu

Dengan apa aku juga apalagi tidak tahu

Yang aku tahu, aku harus menghadapi kegelapan dari segala kegelapan

Serangkaian Tipuan lampu-lampu malam,,,,,, itu saja

Cahaya yang terbit di ufuk timur,

Aku tidak mengerti apa-apa, tidak memahami apa-apa, tidak menyadari apa-apa

Aku hanya seonggok daging yang diberi batas gelar, dan sanjungan akademis

Tidak lebih dari itu, tidak lebih dari itu

Orang-orang didalam gedung itu hanya menyulapku menjadi sore,

Sedangkan aku sendiri tidak pernah mengerti tentang waktu,

Mereka hanya menyulapku, menyulapku, menyulapku dan menyulapku……..

Semoga Tuhan mengampuni semuanya

Semoga Tuhan menyadarkan semuanya

Semoga Tuhan memahamkan semuanya

Dan semoga ini memang benar-benar kehendak-Nya

Bahwa saya sekarang adalah sarjana muda……

"Hijrah" dan "Dian" dan Jakarta


Hari-hari ini (awal januari) kita sebagai muslim memeringati tahun baru Islam, yakni tahun baru hijriyah. Tahun baru itu tak dimulai dari fathul makkah sebagai simbol kemenangan, tapi dimulai dari hijrah nabi ke Yatsrib, sebagai simbol perubahan ke arah yang lebih baik, perpindahan "min al-dhulumat ila al-nuur", dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, semoga!


Dan entah saya ternyata baru sadar ketika tadi saya mengikuti sholat Jumat di masjid al-rahmah Rawajati barat, pancoran, Jakarta, yang menyinggung soal itu...ya Allah, saya hari ini telah "hijrah" walau mungkin baru sebatas dan sekadar dalam ruang dan waktu ke Jakarta.Sobat semuanya, Bapak Agus Wahyudin, Pak Ali Formen, Mas Hariez Psy FIP, Kang Yoghas FBS, Kang Azil yang sudah lulus sama2 saya kemarin, dan semuanya, saya "hijrah" -yang masih saya tempatkan di antara dua tanda petik untuk tetap mempertanyakan "hijrah" saya ke jakarta ini betul-betul Hijrah (dengan "H" besar) atau sekadar "hijrah" (itu pun dengan "h" kecil.


Tak tahulah saya, tapi hati nurani tetap berupaya meniatkan hidup saya bukanlah sekadar untuk saya, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama, kata al-hadits. Maka, apapun yang saya lakukan mesti untuk itu, dan tentu mengharap kerelaan Dzat yang menciptakan aku dan kehidupan ini....Bukannya apa-apa, apalagi biar dikatakan sok, atau apalah...tapi biar ketika ada beberapa teman di milis ini yang ingin diskusi via tatap muka, ya mesti tak kecewa karena sudah saya kasih tahu dulu saya di Jakarta gitu.


Saya di sini, sebenarnya sama-sama Mas Taufiqurrahman (mantan ketua BEM FBS) juga ke jakarta, tapi tempatnya berbeda, dia di Ciledug kayaknya. Klo mas taufiq begitu menggebu pengen ke jakarta setelah baca novel Andrea Hirata, Laskar pelangi, sang pemimpi, dan Edensor.... Dan setelah baca itu lalu SMS saya, "Mas swear, saya serius mau ke jakarta!!!" (tanda serunya sampai tiga loh...). Dan saya pun mengiyakan adik saya itu dengan penuh harapan kesuksesan tentunya...


Beberapa hari sebelum acara pelepasan dengan "perjamuan terakhir" di kost saya sma temen-temen aktivis dan mantn aktivis Unnes, saya sempetkan sama temen-temen mengenang Semarang, keliling Simpang lima, di kucingan, cari wedang ronde, dan saling mengejek....ada yang ngomong, "neng jakarta arep adol kacang po...."... ya itulah guyonan khas "kawan bergelut", Giyanto, mahasiswa Geografi semester tua, yang enjoy jadi Entrepreneurship sekarang.


Saya katakan, "Lha yang udah baca edensor aja kok pesimis, lha saya yang belum baca aja optomis,,,piye tho??". Pertemuan terakhir dengan Cak Nun di gambang syafa'at di baiturrahman, kebetulan di situ ketemu Pak Saratri FIK, Pak Edi PSy FIP, dan Pak Ilyas PLS FIP, serasa menjadi nasehat yang menyentuh kalbu ini...Cak semoga kita ketemu lagi di Kenduri Cinta, jakarta ya. Di "perjamuan terakhir" di kost saya, betul-betul berharap intelektualisme mahasiswa di tangan para aktivis Unnes dapat kian berkembang, dan saya yang bersama teman-teman lain mulai merintis di luar garis demarkasi intelektual yang "direstui" walau di tempat jauh ini tetap akan berupaya membantu semampu saya.


Ya, Unnes dengan seribu kenangan, pahit manis, baik buruk, semuanya sangat berharga buat perjalanan hidup saya pribadi. Dan akhirnya, "jalan sunyi" itu mesti saya tempuh juga akhirnya, ya jalan intelektual, berani "melepaskan" yang sebagian orang saya dianggap di Semarang sudah mapan dengan banyak Jaringan(???).


Tapi sebenarnya saya tidak melepaskan Semarang, Semarang tetap di hati kok he... Mencoba belajar dari orang-orang besar di negeri ini, semoga saya mendapatkan manfaat dan berkah ilmuanya, dan semoga keberadaan kehidupan saya dan diri saya bermanfaat untuk semuanya kelak...OK!


Saya sempat menimang-nimang Djogja atau jakarta, tuk pengembangan intelektual lebih lanjut saya...rasanya Semarang terlalu -maaf- "kering", dan klo dipaksakan di Semarang, dan saya ingin mendapatkan lebih maka saya mesti betul-betul kerja keras, keras sekali... Sedikit komunitas intelektual yang dapat memuaskan dahaga ini. Di Djogja memang penerbitanny lebih produktif daripada Jakarta, tapi Jakarta lebih dinamis pergolakan pemikirannya, itu nasehat Pak Isma'il Fachri, M.Ag ketika saya ke rumah beliau kemarin....ya...dan saya percaya betul taqdir Allah menuntun saya ke jakarta.


Karena pada pagi setelah sembahyang Idul Qurban, saya dapat SMS dari salah satu tokoh yang beberapa kali sering saya kutip pernyataan beliau dalam artikel saya, bahwa beliau membutuhkan asisten pribadi...ya, jalan kehidupan itu memang tak dapat di sangka.Saya percaya di sini (Jakarta) Allah telah memersiapkan skenario kehidupan yang luar biasa bagi saya, dan semoga segenap hati, pikiran,dan tingkah saya tetap berada pada jalan yang diridloi oleh Allah semata. Saya datang di Jakarta disambut hujan, dingin sekali, tapat jam 04.00 malam di Senen, sendirian, tanpa teman....kesan pertama (walau pernah beberapa kali ke jakarta sebelumnya) adalah "Kota yang hilang....dan iya..iya..iya...".


Don't worry, saya tetap akan jadi pengikut setia milis Unnes, blog embun pagi, dan semuanya, apa sih yang tidak buat Unnes? Kapanpun membutuhkan bantuan saya (bukannya sok bisa dan sok dibutuhkan ne...) insya Allah kalau saya mampu, saya akan bantu. Unnes adalah alamamater saya kan...Tuk Pak Ali, agenda yang dulu pernah jenengan omongkan soal penerbitan dan lainnya tidak berarti terputus tanpa saya di Semarang kan?


Saya tetap bisa ulang-alik Jakarta-Semarang (dn Djogja klo perlu)....saya masih memimpikan itu Pak. Dan sepertinya saya pun takkan menetap di jakarta, banjir pak, polusinya itu loh..... Oh, iya kemarin saya sempat buat kisi-kisi jurnal ilmiah populer (selain jurnal Edukasi FIP Unnes), saya diminti tolong Pak Amin tuk konsep jurnal pendidikan ilmiah populer, bukan yang ilmiah akademik orientsi akreditasi itu loh.. yang saya buat kisi-kisinya akan profit, dan "profesional" kayaknya. Semoga ya, Bapak ditunggu di keredaksiannya....


Edi Subkhan, penulis di Jakarta.

Senin, Januari 21, 2008

KEKUATAN DETERMINASI: SOLUSI PENGANGGURAN

Oleh : Giyanto


“Ini hutanku, telah lama aku berburu di sini, dan aku tidak akan takut…

(Apocalypto)

Ketika manusia masih berburu dan meramu, apa yang dibutuhkan manusia sudah tersedia. Manusia tinggal mengambil kebutuhan makanan (daging dan buah), pakaian (walaupun dari kulit pohon) dan kesemuanya tersedia di hutan. Dengan kata lain, alam membiarkan manusia mengambil secara cuma-cuma apa yang ada di alam. Itu yang saya sebut sebagai siklus tahap pertama. Ketika sistem sudah tersedia bagi manusia, dan manusia tinggal bergantung pada sistem yang ada di sekitarnya.

Permasalahan muncul, ketika suatu sistem sudah tidak dapat menampung manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia semakin kompleks, masyarakat semakin teorganisasi, kebutuhan yang lain muncul dan manusia membutuhkan kepastian. Siklus tahap kedua dimulai. Tahap dimana manusia mulai mengenal bercocok tanam, dikarenakan persediaan alam semakin menipis, manusia tidak dapat lagi menunggu dengan sendirinya sampai alam menghasilkan kebutuhan yang diperlukan. Sehingga dikenalah cara bercocok tanam. Manusia mulai mengorganisir semua kebutuhannya, pembagian kerja dilakukan. Masyarakat muncul membentuk kebudayaan, dan kebudayaan membentuk peradaban. Terbentuklah masyarakat pertanian.

Perkembangan berlanjut, kebutuhan akan konsumsi massa mendesak manusia untuk mengolah hasil pertanian secara massal. Secara revolusioner, munculah masyarakat industri. Manusia memerlukan sistem pengolahan barang produksi dan pemasaran yang canggih. Akan tetapi, dalam perkembangan ini, masih dalam kategori siklus tahap kedua. Dengan jumlah perbadingan, “sedikit” menggerakkan yang banyak, yang “banyak” mengejar nafsunya. Yang sedikit tersebut, yaitu kaum kapitalis, manusia yang memiliki ciri khas sendiri. Rakus!

Sosialisme dan komunisme mencoba menjawab permasalahan kapitalisme, namun tidak mampu bertahan lama. Prinsip kemanusiaan bergerak dengan sendirinya. Tahap ketiga mulai berproses. Sistem yang dibuat kapitalisme tidak mampu menjaga keseimbangan. Kapitalisme sendiri resah. Kemudian apa yang menjadi prediksi Alvin Tofler dua puluh tahun yang lalu telah terbukti, masyarakat industri runtuh, dalam istilah Tofler, masa Gelombang Ketiga yaitu masyarakat komunikasi dan informasi yang lebih kreatif.

Menurut pengamatan penulis, apa yang terjadi saat ini mirip dengan kondisi ketika manusia beralih dari berburu dan meramu menuju masyarakat pertanian. Kemampuan sistem yang dibentuk manusia sendiri mengalami keterbatasan. Akibatnya, pengangguran dan ketimpangan sosial yang cukup tinggi. Knowledge to create the new system tidak dimiliki seluruh masyarakat. Sehingga menyebabkan ketergantungan. Negara, sebagai harapan terakhir, seperti kata Fukuyama, tidak dapat menjaminnya.

Saya kira yang menjadi permasalahan ialah bagaimana menyadarkan hal ini pada kita semua. Bahwa sistem sosial yang ada sudah tidak memadai. (Bukan berarti saya mengusulkan dibentuk Lembaga Pemerintahan Baru untuk menampung pengangguran agar dapat menjadi PNS). Itu menurut saya solusi yang tidak masuk akal. Sebaliknya, kita seharusnya memanfaatkan kecerdasan manusia dalam hal penciptaan dan penentuan pilihannya sendiri. Suatu sifat dari manusia yang membedakannya dengan binatang. Is to create!

Apa itu kemampuan menderteminasi? Ialah dimana seseorang memiliki tingkat kesadaran dan kemampuan tertentu dalam menelaah, merancang dan menciptakan pilihannya sendiri baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan sosial ataupun bagi generasi sesudahnya. Kesadaran ini muncul karena manusia bersandar pada prinsip-prinsip kebebasan. Pikiran yang tidak terjajah oleh faktor-faktor eksternal, pelemahan mental, pengaturan yang kaku dan sebagainya. Kemampuan determinasi diperlukan manusia untuk mengarahkan nasibnya sendiri. Mengubah nasibnya sendiri daripada menunggu nasibnya dirubah oleh Tuhan.

Namun demikian, baik dalam perspektif sejarah, budaya dan nilai-nilai sosial yang ada di sekitar kita, sering malah membunuh apa yang saya sebut kekuatan determinasi. Bagaimana tidak, lebih dari 3 abad kita terjajah, kita hidup dalam budaya paternalistic serta ditambah salah pengertian terhadap nilai-nilai agama dan pendidikan. Serta pemahaman tersebut ditransfer dari generasi ke generasi melalui institusi-institusi formal yang ada. Baik agama maupun lembaga pendidikan.

Giyanto. Pengamat Sosial, Tinggal di Semarang
Artikel bersambung pada posting berikutnya

Selasa, Januari 15, 2008

POST POWER SYNDROME DI LEMBAGA KEMAHASISWAAN

Oleh : Abdul Haris Fitrianto *




Banyak keuntungan dan kemudahan ketika seseorang mempunyai Power (kekuasaan) di lembaga kemahasiswaan karena posisi strategis ini menunjukkan eksistensi, menjanjikan status sosial, gengsi, pengaruh, kolega, fasilitas. Tidak mengherankan banyak calon dari perseorangan dan komunitas berebut untuk meraih posisi strategis ini saat pemilihan Ketua Lembaga Kemahasiswaan. Hal ini merupakan perilaku yang lumrah manakala seseorang atau komunitas terikat dalam sebuah sistem lembaga dimana will to Power menjadi motivasi yang dominan.

Selama mempunyai posisi strategis dalam lembaga kemahasiswaan mungkin memang menyenangkan, selain dapat meningkatkan status sosial, menancapkan pengaruhnya, dapat juga memberikan nilai kebanggaan pada diri sendiri karena dapat berprestasi atau menuangkan kreativitas.

Status sosial ini berpengaruh terhadap sikap dalam menghadapi berakhirnya periode jabataan (masa pensiun). Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tinggi sebagai hasil dari prestasi dan kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari civitas akademia atau organisasi), maka ia cenderung lebih memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan hubungan sosial yang baik). Namun jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasinya (misalnya lebih karena politis) maka orang atau pergerakan ini justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi masa pensiun, karena begitu pensiun, maka kebanggaannya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel padanya selama ia masih menjabat.
Kecemasan akan kehilangan atribut dan fasilitas ini menimbulkan gangguan psikis. Bila subjek memiliki jabatan, kekuasaan dan pengaruh yang cukup besar di masa kerjanya, begitu memasuki pensiun semua itu tidak dimilikinya, sehingga timbullah berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu. Hal ini berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak menjadi sangat sensitif dan merasa eksistensi yang dibangun selama ini akan punah hanya karena masa kejayaannya telah berlalu.

Periode ini disebut sebagai Post Power Syndrome. Umumnya, post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, Jabatannya, status sosialnya, kecantikannya, ketampananya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Pada mulanya Post Power Syndrome adalah issue pada mereka yang akan atau sudah pensuin karena telah melewati masa – masa produktif (lansia), tetapi dewasa ini mengalami perluasan kajian. Dalam lingkup lembaga kemahasiswaan dapat diartikan Post Power Syndrome adalah keadaan dimana subjek merasa masih mempunyai atribut kekuasaan, hak, wewenang seperti pada saat menjabat. Perilaku yang ditampilkan subjek antara lain berusaha sebisa mungkin untuk dapat mempertahankan sisa – sisa pengaruhnya selama mungkin.

Dalam kajian Kesehatan Mental, Yang mengalami Post Power Syndrome Biasanya, justru mereka yang pada dasarnya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan rasa kurang percaya diri terutama berkaitan dengan kompetensi diri. Selain itu, masalah harga diri memang sering menjadi akar depresi setelah lengser, karena orang-orang dengan harga diri yang rendah semasa produktifnya cenderung akan jadi overachiever semata-mata untuk membuktikan dirinya sehingga mereka habis -habisan dalam bekerja sehingga mengabaikan sosialisasi dengan sesamanya pula. Pada saat pensiun, merasa kehilangan harga diri, kehilangan pengaruh, dan eksistensi.

Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan umum raya KM UNNES baru saja berakhir, baik di Tingkat Universitas, Fakultas dan Jurusan. Para calon terpilih di setiap lembaga tentu saja mulai menyiapkan kerja nyata untuk satu periode mendatang. Artinya, masa kerja lembaga kemahasiswaan periode 2007 ini sebentar lagi selesai. Nah, bertolak dari semua ini, patut kita cermati, mungkinkah ada yang mengalami Post Power Syndrome ? Semoga saja tidak.


*) Mahasiswa Psikologi UNNES angkatan 2003

Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa


Oleh Edi Subkhan*

Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat.

Antonio Gramsci (1891-1937).

Mahasiswa baru memasuki dunia kampus dengan motivasi dan orientasi awal yang berbeda, ada yang menganggap kuliah sekadar prestise, ajang cari jodoh, mengasah intelektual, dan –sebagian besar- sekadar sebagai tempat mendapatkan ijazah agar mudah dapat kerja. Salah satu orientasi mahasiswa adalah intelektualisme yang biasanya baru disadari dan terbentuk ketika mahasiswa bersangkutan berinteraksi dengan segenap literatur ilmiah yang diramu dengan nalar kritis dan dibenturkan pada realitas sosial masyarakat.

Namun sayang orientasi yang relatif strategis dalam menjalankan posisi sebagai pioner perubahan di masyarakat ini mulai redup, tergadaikan, dan ditinggalkan. Aktivis mahasiswa banyak yang sekadar jago manajemen organisasi tapi minim kapasitas intelektual, dan sebaliknya banyak “intelektual” yang menahbiskan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis.

Bukankah mestinya mahasiswa sebagai aktivis dalam arti luas dapat membumi dan memancarkan sisi intelektualitasnya untuk semua, tak hanya berguna untuk komunitasnya saja. Aktivis yang bergerak pada ranah ini sebenarnya lebih mendekati apa yang disebut Antonio Gramsci (1891-1937) sebagai intelektual organik yang mampu mempertautkan teori dan praksis sebagaimana dituju oleh Mazhab Frakfurt agar lebih berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial.

George A. Theodorson & Achilles G. Theodorson (1979) mengatakan bahwa kaum intelektual adalah anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif. Dengan demikian terdapat karakteristik kaum intelektual, yaitu pada penggunaan intelek dan akal pikiran, bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tapi lebih berorientasi pada pengembangan ide-ide (Azyumardi Azra, 2003).

Hal itu memperkuat tesis bahwa kaum intelektual pada dasarnya bersifat progresif revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran bukan revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan intelektual sebagai berperilaku, bersikap, dan berkarakter kritis. Dan sebagai kritikus, kaum intelektual menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas dan bijak.

Sejatinya insan intelektual dengan beberapa kualifikasi seperti di atas bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama perguruan tinggi. Bahkan banyak kaum intelektual lahir dari luar benteng menara gading kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual.

Sebaliknya banyak jebolan perguruan tinggi yang lebih tepat digolongkan sebagai intelegensia daripada intelektual. Intelegensia menurut Gouldner (1979) adalah mereka yang minat intelektualnya secara fundamental bersifat teknis. Hal ini karena sebagai produk perguruan tinggi mereka telah menerima pendidikan yang membuat mereka mampu memegang pekerjaan sesuai dengan bidang dan profesi ilmunya (Bottomore, 1964).

Donald Wilhelm (1979) menambahkan, bahwa banyak tamatan perguruan tinggi mengalami kemandegan atau kehilangan kapasitas intelektualnya ketika mereka masuk ke dalam birokrasi dan rutinitas akademis di perguruan tinggi atau di manapun mereka bekerja. Perguruan tinggi yang diharapkan dapat berperan sebagai avant garde, inovator dan pembaharu masyarakat kemudian terjebak dalam mekanisme birokrasi dan spesialisasi atau profesinya di mana mereka terus menerus mengolah dan menghasilkan informasi serta pikiran dalam bidang mereka masing-masing yang relatif sempit.

Hal itu tentu bertentangan dengan kenyataan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat sekarang tak dapat dipecahkan dengan pendekatan sempit semacam itu; pemecahan masalah sekarang membutuhkan pendekatan menyeluruh, interdisipliner dan berwawasan luas.

Berkaitan dengan atmosfer intelektual akademik di kampus kita sekarang, di mana kualitas mahasiswanya tergolong biasa-biasa saja, baik-baik saja, padahal –sebagaimana kata Tanadi Santoso (motivator marketing terkemuka)- biasa dan baik saja sekarang tak cukup. Yang dibutuhkan sekarang adalah sangat baik, atau buuuaik sekali! (mengikuti kebiasaan orang Jawa ketika mengatakan sesuatu dengan nada ‘sangat’, biasanya ditambah dengan vokal “u”, misal dari kata baik menjadi buuaik, dari enak menjadi uuuenak). Maka momen orientasi mahasiswa baru sekarang layak kita dengungkan kembali, bahwa mahasiswa mesti kembali pada khittah-nya di jalur intelektual dengan meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa.

Pertanyaan menggelitik yang layak diajukan adalah, apakah kita termasuk intelektual atau sekadar intelegensia? Kita mahasiswa biasa atau luar biasa? Atau dalam perenungan yang lebih dalam lagi, “Selama hidup kita di kampus ini, kita akan menghargai waktu yang diberikan oleh Tuhan tersebut dengan karya apa?” Kita ingin menjadi mahasiswa yang seperti apa? Dan semuanya kembali pada diri kita sendiri untuk menjawab itu semua. Wallahu a’lam bishsawab.

* Edi Subkhan; Koordinator Komunitas Pendidikan untuk Masa Depan, di Jakarta.