online degree programs

Minggu, April 27, 2008

Garis Batas

Apakah ada pembatas...
antara cinta dan benci
antara manusia dan simpanse
antara hujan dan matahari
antara pagi dan siang
antara kebebasan dan tanggungjawab
antara kebodohan dan pengetahuan
antara pahlawan dan penghianat
antara kesuksesan dan kegagalan
antara candu dan kenikmatan
antara samudra dan benua
antara nafsu dan kebutuhan
antara...dan...

atau bisa jadi itu bukan pembatas...
tapi sebuah garis
atau bukan garis
tapi penghubung
atau garis penghubung....
ah....mengapa mereka
selalu menganggpa itu garis batas...
ato mungkin bisa jadi
itu sebuah....
penghubung

Giy

Rabu, April 23, 2008

Menelisik Pelanggaran Pascapenetapan Calon


Penegakan hukum (law enforcement) perlu ditegakkan disetiap lini kehidupan. Tak terkecuali penegakan hukum di dalam pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Tengah. Bentuk pelanggaran terhadap aturan main (rule of game) mulai menampakkan perhelatannya dengan aksi dan argumentasi tertentu. Salah satu perdebatannya terletak pada pencurian star kampanye oleh kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Jateng. Sebelum masa kampanye dimulai para calon sudah sibuk dengan aktivitas politik memasang sebanyak mungkin atribut sosialisasinya. Layak kiranya aktivitas ini disebut sebagai tindakan kampanye (campaign). Namun karena wacana di bangun sedemikian rupa dengan argumentasi hukum oleh kandidat beserta tim –bahwa tindakan tersebut bukanlah kampanye-, maka bentuk pelanggaran ini pun bias.

Argumentasi hukum dibuat tidak untuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi tindak pelanggaran yang kemungkinan dan akan terjadi. Pelanggaran yang ditengarai dengan sosialisasi kandidat sebelum masa kampanye memang membuat banyak kalangan gerah. Pasalnya, dengan statement tanpa adanya kata-kata “ajakan” mereka berasumsi tindakan sosialisasi tersebut bukan merupakan pelanggaran pilgub dan sah-sah saja. Sehingga struktur kata dalam atribut sosialisasi pun dibuat sedemikian rupa sehingga untuk dapat diinterpretasikan tidak mengandung unsur ajakan sebagaimana yang tidak boleh dilakukan.

Dengan struktur pesan “mohon do’a restu”, “yang ditunggu”, “menuju jawa tengah sejahtera”, “bali ndeso mbangun ndeso”, “jateng bersatu untuk semua” menjadi awal penyampaian komunikasi antarcalon dengan pemilih melalui media perantara baliho, pamflet, dan lain sebagainya. Hakekatnya kata-kata ini terurai bukan tanpa makna, namun syarat akan pesan yang bertujuan menjalin komunikasi verbal dengan khalayak pemilih. Di akui atau tidak, kata-kata tersebut diatas merupakan sebuah pesan, Venus (2004: 70) mengkonstatasikan bahwa inti kampanye adalah pesan. Pesan inilah yang akan dipersepsikan, ditanggapi, diterima, dan ditolak oleh khalayak. Bahkan tujuan kampanye hanya dapat dicapai bila khalayak memahami pesan-pesan yang ditujukan pada mereka. Dengan kata lain, Pfau dan Perrot (1993) mengungkapkan bahwa dalam mengkonstruksikan pesan hendaknya harus hati-hati agar tidak menjadi boomerang effect yang dapat menggagalkan pencapaian tujuan. Singkat kata, aktivitas sosialisasi yang di jalankan oleh Pasangan Calon Gubernur Jawa Tengah saat ini yang dirasa hanya sekadar mempublikasikan diri sebenarnya sudah merupakan aktivitas kampanye. Aktivitas kampanye yang ditandai dengan pemuatan “pesan-pesan” yang ingin di sampaikan kekhalayak masyarakat luas dengan maksud publisitas.

Aktivitas politik ini hendaknya dilarang dengan tegas dan ditindak lanjuti dengan pencopotan atribut sosialisasi pasangan calon. Perbuatan atau aktivitas ini bisa di gunakan kententuan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2007 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008. Dengan dugaan pelanggaran kententuan keputusan KPU tersebut, aktivitas tersebut dapat ditekan bahkan akan dapat di hilangkan. Sehingga sosialisasi etis dan layim bisa dilakukan sepantasnya, di mana sosialisasi hanya menyebutkan nama, gambar foto pasangan calon, ataupun nomor urut setelah penetapan calon dan pengundian nomor urut selesai.


Penyalahgunaan Jabatan

Jaminan terselenggaranya pemilihan yang adil di mulai dari permainan etis yang di laksanakan oleh kandidat. Kandidat dituntut mengikuti aturan main, berada dalam suatu kedudukan yang sama, terutama kedudukan yang sama-sama tidak dalam keadaan menjabat pegawai atau pejabat publik. Dengan penetapan calon gubernur dan wakil gubernur yang nanti akan di lakukan undian nomor urut pada tanggal 29 April mendatang, calon gubernur di wajibkan untuk melepaskan atau mengundurkan diri dari jabatan yang melekat padanya.

Penyalahgunaan jabatan cukup rentan terjadi yang ditengarai oleh calon yang berasal dari PNS atau penjabat kepala daerah Bupati/ Walikota Kabupaten/ Kota. Penyalahgunaan jabatan bisa ditanggulangi setidak-tidaknya dengan tiga langkah yang bisa ditempuh. Pertama, mencermati surat pengunduran diri kandidat calon. Surat pengunduran diri harus ada dan dikeluarkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang. Dengan surat ini, maka penjabat Bupati atau Walikota yang mencalonkan diri menjadi calon Gubernur dapat dipastikan secara administratif sudah tidak lagi menjabat dalam jabatan struktural maupun fungsional dalam pemerintahan.

Kedua, monitoring dilakukan oleh panwas, pemantau atau masyarakat terhadap kandidat agar tidak memanfaatkan fasilitas dinas. Pemakaian rumah dinas, modil dinas, terutama anggaran pemerintahan yang tidak diperkenankan digunakan untuk kepentingan calon dan tim suksesnya. Profesional pemantau, kuatnya kapasitas pengetahuan politik warga, dan ketegasan panwas cukup diperlukan untuk dengan berani dan proporsinal mencegah, mengungkap dan menindaklanjuti bentuk penyalagunaan fasilitas pemerintahan.

Ketiga, netralitas PNS. Dengan posisi sebelumnya kepala daerah atau PNS, besar atau kecil tentu memiliki peran dan pengaruh di lingkungan sekitarnya, khususnya lingkup kerja pemerintahan. Sehingga rawan sekali bagi PNS untuk turut serta mendukung secara langsung apalagi sampai menyediakan, membantu, dan bergabung dalam kepentingan pemenangan atau program calon dan tim suksesnya.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (Dewa-Orga)

Kehilangan

Kehilangan bermakna dalam.
Kehilangan adalah saat dimana kita merasa sakit kerena hilangnya seseorang, harta benda, hewan kesayangan, dan seterusnya.
Kehilangan memberi kita dua pilihan; tetap tegar atau memilih untuk jatuh dan menyerah.
Kehilangan membuat kita hancur.
Kehilangan untuk nafas nafas
Kehilangan untuk harapan dan cita-cita
Kehilangan untuk kerinduan
Kehilangan untuk rasa rasa
Dan kehilangan untuk sebagian atau seluruh nyawa…
Tetap tegar untuk berdiri tegap dan kembali berjalan,
ataukah memilih untuk jatuh dan menghilang।

Icha Prayitno , Email: mendengar_karena_kau@याहू.co.id

Minggu, April 13, 2008

Ali Gelideg

ada kata yang tak di mengerti, banyak kata yang perlu direnungi,
demi tercapainya sebuah makna dibalik ini-itu semua

adakah kita sadar dan menyadari kesadaran kita terhadap kata yang terucap
mungkinkah kita paham dan memahami pemahaman kita terhadap kata yang terucap
kalau kejadian di dunia ini penuh dengan makna dan telah dikatakan sebelumnya,
sudahkah kita merenung??

seperti aku dan kamu
banyak berkata-kata tentang kehidupan tanpa menyadari kemana kata itu kita jabarkan/nyatakan dalam hidup

o begitu munafiknya kehidupan ini
banyak kata tentang kebaikan, tapi sidikit sekali perbuatan yang baik
banyak kata tentang perjuangan, tapi sempit sekali artinya
banyak kata tentang pengorbanan, tapi semuanya menunggu
banyak kata tentang kata-kata, tapi hanya sekedar kata-kata!

aku rindu orang-orang suci dulu yang kata-katanya menyatakan kehidupan saat ini hingga mampu menangani masalah hidup yang di hadapi.
tidak seperti orang-orang "embun pagi" yang kata-katanya entah bagaimana pembuktiannya dalam menangani masalah kehidupan ini.
apalagi aku, yang hanya berkata-kata dan lalu merenungi kata-kata itu.

aku takut akan kenyataan ini,..
kenyataan akan hilangnya cara pembuktian kata-kata dalam hidup
kata-kata tanpa bukti, lalu apa?

aku memang gelideg, namun setidaknya tetap mencari celah lewat perenungan..
membaca buku untuk berkata, membaca alam untuk berbagai cara
jika Al Qur'an adalah kitab yang ilmiah tentang berbagai pengetahuan dan kejadian alam,
semoga "embun pagi" menjadi embun kehidupan. amin...

salam...

Ali Gelideg

Kamis, April 10, 2008

pas lagi ngopi

he he... masih ada yang bisa tertawa pesta pora,
ketemu kawan lama sombongnya semakin jadi,
bicara tentang sikap hidup jaman sekarang seolah dia paling jago nyari celah untuk tertawa,
sedang kawan di sampingku tetap saja lesu dengan wajah berkerut seakan bebannya begitu besar.
ada cerita lain tentang negara ini,..
minyak langka katanya diganti gas, tapi gas sulit didapat
ibuku mengeluh bingung mau masak pake apa
sedang kayu bakar sudah di-ilegal loging-kan, he he he...
sambil asyik minum kopi, nikmati kejenuhan yang sebenarnya kurang asyik.
ya.. sekedar jalani hidup saja saya bilang begitu !!
hoiii.. bagaimana kabarmu??
apakah kau seorang sahabat atau yang membutuhkan sahabat ??
sedang permusuhan begitu kental warnai kehidupan ini
akh.. paling sekedar berbagi cerita dan ide-ide yang sebenarnya diwarnai kemunafikan saja.
ya.. biarlah orang berekpresi semaunya,
alam juga sudah mengekpresikan gerakannya dalam berbagai gaya;
goyangan gempa,
tarian tsunami,
nyanyian puting beliung,
belaian lembut lumpur sidoarjo dan banyak lagi,..
sebenarnya hal itu menantang manusia untuk melakukan perubahan!
aduh sayang,.. manusianya masih saja "dewek-dewek" dalam;
mencari kayu,
mencari minyak,
mencari gas,
mencari emas,
mencari nasi,
mencari ikan,
mencari nama,
mencari kewibawaan,
mencari cari masalah,
sedangkan mencari jalan menuju Tuhan malah bareng-bareng, he...
kopi udah dingin, tapi kawan belum juga datang..

berita itu bukanlah keluh kesah, bukan pula ejekan terhadap diri sendiri
saya katakan apa yang seharusnya saya katakan!!
tidak seperti teori-teori ilmiah yang menjenuhkan untuk di diskusikan atau ceramah-ceramah agama yang justru semakin memancing perpecahan umat manusia.
saya merindukan sebuah perjuangan atas nama kebersamaan dan peradaban di bumi ini.
saya kira bukanlah sebuah impian semata jika kitab suci yang ada adalah ajaran tentang kebersamaan yang mengarah pada yang SATU.

Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Ilmiah*

Mahasiswa sebagai status sosial menjadi moncer di Indonesia dengan gelar non-formal yang dilekatkan kepadanya. Jika Umar Khayam berbicara mengenai pemetaan “kasta” masyarakat jawa menjadi priyayi dan non-priyayi, maka mahasiswa bukan hanya dalam satu konstruks budaya saja, tetapi lebih meluas dan lintas-budaya. Menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang ketika memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa, agent of change yang intelek. Sebagian rasan-rasan bahkan menyiratkan mahasiswa sebagai status sosial tertinggi, dan wisuda merupakan terjun bebas dari puncak tertinggi menjadi seorang pengangguran “beban negara”.

Sehubungan dengan stereotype yang melekat itu, belakangan justru terlontar kritik yang cukup menggelitik (dari Edi Subkhan dalam “meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa” di blog “komunitas embun pagi”), mengatakan bahwa banyak mahasiswa menahbiskan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis. Sebagian lain jago manajemen organisasi tetapi minim kapasitas intelektual, demikian halnya dengan sekelumit cerita tentang mahasiswa yang kuliah terkesan hanya sekedar prestise ataupun ajang mencari jodoh. Berbagai “dekonstruksi” terhadap status sosial mahasiswa ini tentu saja menjadi hal yang problematis dan cukup menggelitik kita sebagai mahasiswa. Konsep ideal yang sering dikedepankan dalam permasalahan ini adalah menjadi “intelektual organik” seperti kata Antonia Gramsci, mampu memadukan teori dan praksis agar berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial. Jika dianalisis lebih lanjut, tawaran tersebut seperti jalan tengah yang terkesan mencari aman. Tetapi bagaimanapun juga, bukankah jalan terbaik adalah ditengah-tengah?

LKTM ; Ajang Pembumian Intelektual

Lomba Karya Tulis Mahasiswa yang secara rutin dilaksanakan setiap tahun, menjadi suatu ajang yang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk lebih berperan dalam masyarakat. Dengan berbagai pengetahuan yang telah didapatkan, mereka berusaha mensintesakannya sebagai praksis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial. Selain sebagai bentuk kompetisi antar mahasiswa, secara tidak langsung juga berpretensi menjawab berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya. Seiring dengan itu, partisipasi mahasiswa dalam LKTM pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, seperti yang terjadi di lingkup FIP UNNES, tahun 2007 lalu peserta LKTM tercatat 24 judul, sedangkan kali ini (2008) meningkat tajam menjadi 41 judul. Fakta ini meski bukan satu-satunya indikator dalam menentukan kepedulian mahasiswa terhadap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, kiranya dapat digunakan sebagai “monitor” bahwa ternyata mahasiswa semakin antusias untuk mencari lebih, dalam identitas ke-mahasiswa-annya.

Ide kreatif sebagai alternatif solusi pemecahan masalah dilahirkan, baik dalam bidang sosial kemasyarakatan maupun dalam bidang pendidikan. Berbagai ide kreatif seperti pendidikan seks anak melalui drama, pementasan wayang kulit dalam bentuk animasi sebagai sarana pembelajaran moral sekaligus pelestarian budaya-budaya adiluhung, pembelajaran berbasis internet dengan menggunakan layanan blogger, penggunaan media komik dalam mata pelajaran sejarah di sekolah dasar, dan banyak ide-ide lain yang terkadang sama sekali belum terpikirkan. Suatu bentuk kreatifitas dengan kapasitas intelektual yang patut diberi penghargaan.

LKTM dan Belenggu Strategi Iklan

Dalam telaah psikologi kognitif, segala hal yang berbeda, meliputi bentuk, warna, ataupun suara, pasti akan lebih menarik perhatian. Kecenderungan manusia untuk memberikan perhatian lebih kepada hal yang berbeda ini kemudian dimanfaatkan sebagai strategi iklan. Hal ini dapat dengan mudah dilihat deretan iklan dalam suatu surat kabar. Warna tulisan yang lazim digunakan dalam iklan tersebut adalah hitam, namun ada beberapa warna lain dalam sedikit deretan iklan yang akan langsung menarik perhatian pembaca (hal-hal semacam ini justru bisa dikatakan sebagai pembumian teori yang sesungguhnya). Berkaitan dengan LKTM yang kali ini menjadi lakon, strategi ini banyak digunakan dalam presentasi ide-ide kreatif tersebut. Perkembangan teknologi memudahkan presentasi dengan penayangan slide show untuk mempermudah penyampaian gagasan. Selain kreatifitas gagasan, kreatifitas pembuatan tayangan ini pun beragam.

Bentuk jawaban melalui LKTM terhadap kritik di atas ternyata juga kembali menjadi suatu hal yang dilematis. Tayangan slide show semestinya hanya sebagai sarana penyampaian ide ternyata berbelok arah menjadi semacam “pamer” animasi dan gambar background dengan warna dan keunikan bentuk, yang justru lebih menyita perhatian dibanding apa yang seharusnya disampaikan. Presentasi ilmiah menjadi semacam kemasan iklan yang mengabaikan isi (bersifat substantif) tanpa memperhatikan prinsip konsumen yang dikatakan oleh Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar “lifestyle” karangan David Chaney, bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun itu penting.

Benturan lain dalam hal ini adalah kesan elitis yang akan semakin berkembang jika “prinsip iklan” tersebut masih saja digunakan. Selain LKTM, ajang lain sebagai bentuk pembumian intelektual mahasiswa adalah KKN. Bisa dibayangkan ketika seorang mahasiswa dengan jas almamater, potongan celana hippies, rambut hasil rebonding, aksesoris MP4 player lengkap dengan headset, dan tak lupa telepon selular fitur 3G dalam genggaman, yang datang ke sebuah dusun untuk KKN. Hallo effect eksklusif akan semakin menguat pada mahasiswa yang dilekatkan oleh warga setempat.

Melihat dari uraian di atas, kita sebagai mahasiswa ternyata masih harus banyak belajar dari berbagai hal yang sering dianggap common sense (klise) dalam dunia ilmiah. Seperti pelangi yang terlihat indah dengan perpaduan warnanya, juga dari sebuah koor musik yang memadukan suara bass, alto, tenor, dan sopran. Perpaduan yang selaras tanpa menonjolkan salah satu unsur yang mendominasi. Hidup mahasiswa!

Ahmad Fahmi Mubarok

Mahasiswa Psikologi FIP UNNES.

*dimuat di Express edisi 10 April 2008

Selasa, April 08, 2008

Peta Politik Pilgub Jateng 2008

Salah satu hal terpenting dalam pelaksanaan pemilihan secara langsung ialah diskursus dan perhatian lebih pada electoral process –struktur, peserta, penyelenggara, dan mekanisme pemilihan. Dalam proses pemilihan langsung ketiga elemen ini saling mendapatkan manfaat sebesar-besarnya jalan memilih fungsi sebagai alat, yaitu : pertama, membangun legitimasi dari rakyat atau memperjuangkan kepentingan publik. Kedua, menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan yang kuat atau merealisasikan partisipasi sebagai waujud hak politik rakyat. Ketiga, memobilisasikan aktivitas politik rakyat atau mewujudkan pendidikan politik rakyat. Keempat, memobilisasi aktivitas politik rakyat atau mewujudkan pendidikan politik rakyat. Dan cara masing-masing struktur itu mengambil dalam berinteraksi satu sama lain berdasarkan kompetisi atau dominasi, secara terbuka atau dan menggunakan intimidasi atau argumentasi. Pilihan-pilihan tujuan, polarisasi struktur dan cara interaksi tersebut menunjukkan kecenderungan demokratis tidaknya pemilu.

Bersamaan dengan itu pula diperlukan bacaan yang komprehensif terkait dengan factor internal dan eksternal dalam proses pelaksanaan pemilihan langsung yang jujur dan adil. Bacaan esternal dapat dimulai dengan melihat sejaub mana perkembangan dan trend politik menemukan bentuknya, kecenderungan-kecenderungan pemilih dan pergeseran opini publik. Membaca peta politik ini memang tak cukup mendalami dengan study kepustakaan, politik bukan lagi suatu sistem yang tidak terukur (unquantifiable) dan tidak dapat diprediksi (unpredictable), dengan demikian riset kuantifikasi politik menjadi salah satu instrument yang vital dalam menentukan gambaran peta politik dengan akurasi tertentu.

Kendatipun demikian, peta politik wajar adanya bisa di lihat dari kaca mata kualitatif untuk mendapatkan persepsi awal tentang kekuatan-kelemahan, fakta-fakta yang muncul dalam pelaksanaan pemilihan langsung. Untuk membaca peta politik dalam pilgub jawa tengah, bacaan bisa dimulai dengan tingkat partisipasi dalam pemilihan langsung sebelumnya, terutama pemilihan legislatif sebelumnya.

Partisipasi Politik Pilgub

Berbicara tentang partisipasi, Gaventa dan Valderama (1999), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga sebagaimana dikutip oleh Suherman (2003: 1-5). Tiga partisipasi tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

Pertama, partisipasi politik: representasi dalam demokrasi. Dalam kerangka demokrasi, partisipasi dipandang sebagai inti dari demokrasi. Karena itu pada awalnya konsep partisipasi dikaitkan dengan proses-proses politik yang demokratis. Ada dua pendekatan terhadap demokrasi: pendekatan normatif dan pendekatan empirik. Pendekatan normatif, menekankan pada ide dasar dari demokrasi yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat dan oleh karenanya pemerintahan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sedangkan pendekatan empirik menekankan pada perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik. Representasi partisipasi politik pada umumnya menghasilkan sebuah legitimasi, berupa pemimpin atau lembaga perwakilan.

Kedua, Partisipasi sosial: keterlibatan beneficiary dalam proyek pembangunan. Disamping tradisi partisipasi politik, terutama sejak tahun 1970-an, telah berkembang konsep partisipasi yang berorientasi pada perencanaan dan implementasi pembangunan. Dalam konteks pembangunan Stiefel dan wolfe mengartikan ‘partisipasi’ sebagai “upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dalam fungsi pengawasan”. Dalam pengertian ini partisipasi ditempatkan di luar negara atau lembaga-lembaga formal pemerintahan. Karena sifatnya yang berada di luar lembaga negara atau lembaga formal pemerintahan, konsep ini dapat kita sebut sebagai partisipasi sosial. Partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai ‘beneficiary’ pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan evaluasi program. Ada beberapa asumsi yang diterima secara umum untuk mendorong partisipasi sosial: rakyatlah yang paling tahu kebutuhannya, karena itu rakyat mempunyai hak untuk mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pembangunan di lokalnya. partisipasi sosial dapat menjamin kepentingan dan suara kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan dalam pembangunan hukum, ekonomi, sosial, budaya; partisipasi sosial dalam pengawasan terhadap proses pembangunan dapat mengurangi terjadinya berbagai penyimpangan, penurunan kualitas, dan kuantitas program pembangunan.

Ketiga, Partisipasi Warga: Pengambilan Keputusan Langsung dalam Kebijakan Publik Diskusi yang lebih luas mengenai partisipasi telah menempatkan “partisipasi warga” baik sebagai konsep maupun praktek yang niscaya. Berbeda dengan partisipasi politik yang lebih menekankan ‘representasi’ dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi ‘diluar’ lembaga kepemerintahan, partisipasi warga menekankan pada ‘partisipasi langsung’ warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan Valderama, menegaskan bahwa partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “….dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”.

Partisipasi sosial tidak banyak teruraikan dalam data-data angka, sebagaimana partisipasi warga yang dapat diidentifikasikan bahwa lebih dari 50 % warga / khalayak pemilih jawa tengah memilih menymbangkan suaranya di TPS ketimbang abstaian, atau golput. Tercatat dari jumlah pemilih pada tahun 1999 sebanyak 20.679.828 pemilih dan bertambah pada tahun 2004 sekitar 22.791.184 pemilih, sekitar 17. 231.911 pemilih untuk DPR-RI, 17.189.225 pemilih untuk DPRD Provinsi, dan 17.149.148 pemilih untuk pemilih DPRD Kabupaten/ Kota pada pemilihan langsung tahun 1999. Kemudian suara sah sekitar 17.654.550 untuk DPR RI, 17.644.333 untuk DPRD Provinsi, dan 17.548.522 untuk DPRD Kabupaten/ Kota pada pemilihan langsung pada tahun 2004. Kita tak akan membahas partisipasi warga yang relative lebih tinggi untuk menyalurkan hak suaranya terhadap wakil rakyat yang lebih tinggi, karena di tingkat DPRD Kota/ Kabupaten, suara pemilih lebih sedikit ketimbang suara untuk Provinsi atau di tingkat nasional. Namun, perlu kita lihat sebagai sebuah realitas bahwa disamping tingkat partisipasi yang relatif tinggi, disktribusi penyaluran suara kebanyakkan untuk pengisian jabatan publik di lembaga negara tingkat pusat.

Peta Politik

Peta politik ini dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pertama, komposisi DPRD di pandang dari perolehan suara. Tamzil-Rozaq yang diusung oleh PPP dan PAN diproyeksikan dapat memperoleh 20 % suara, Bambang Sadono-Muhammmad Adnan dar Partai Golkar diperkirakan akan mendapat 17 % suara, Agus Suyitno-Abdul Kholiq Arif dari Partai Kebangkitan Bangsa diperkirakan akan mendapat 15 % suara, Sukawi Sutarip-Sudharto Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtaera diperirakan akan mendapatkan 17 % suara dan Bibit Waluyo-Rustriningsih PDI-P diperkirakan akan mendapatkan 31 % suara sebagaimana potret 17.644.333 untuk DPRD Provinsi pada pemilihan legislatif kemarin. Memang, perolehan suara partai tidak ekuivalen terhadap pilihan warga pada calon yang diusungnya, ungkap sebagian besar lembaga dan tokoh riset di Indonesia atau luar negeri akan tetapi, sah saja ini menjadi parameter awal bagi pengamat untuk menelaah kekuatan tiap-tiap calon dalam pilgub.

Klaim seperti ini seharusnya menjadi mesin pemompa partai untuk menjadikan kader sebagai mesin politik yang efektif untuk memenangkan suara pada pemilihan gubernur jateng yang secara bersamaan dapat bermanfaat secara praktis guna menguatkan basik komunikasi, ketangkasan, dan loyalitas kader terhadap partai sehingga dapat berguna bagi pemenangan dan pengingkatan suara partai pada pemilu yag akan datang.

Kedua, klaim kepemilikan emosional massa arus bawah berdasarkan cluster segmentasi pemilih berdasarkan tempat geografis. Misalnya saja Sukawi yang bisa saja mengklaim bahwa Kota Semarang yang memiliki jumlah pemilih 1.031.392 dan Kabupaten Pati yang wakil Bupatinya dijabat oleh anaknya, dipercaya akan mampu menggiring sebgaian besar massa dari 867.184 pemilih di daerah tersebut. Kemudian, kandidat-kandidat yang memiliki basis di daerahnya dikarenakan masih dan pernah menjabat sebagai pejabat publik yang strategis. Misalnya kepala daerah daerah tertentu yang tentunya masih membawa citra positif dan popularitas yang masih memadai seperti halnya Abdul Kholiq Arif Kabupaten Wonosobo bisa saja mengklaim sebagian besar sejumlah pemilih 528.993 dan Rustriningsih yang mengharap banyak untuk kecenderungan pemilih 810.850 warga Kabupaten Kebumen yang menjatuhkan hati padanya kembali pada Pilgub jateng mendatang. Terakhir, Tamzil mantan Bupati Kudus yang yakin mendapatkan suara penuh di 527.610 pemilih Kabupaten Kudus, dan 641.284 pemilih Kabupaten Semarang sebab posisi struturalnya di pemda Kabupaten Semarang sebelum manjabat Bupati Kudus. Meski tingkat akurasi cukup rendah klaim ini, namun dalam kerangka logis dan etis, klaim ini wajar saja tergelontor ke khalayak dan jadi kajian para pengamat.

Ketiga, dalam konteks biground kandidat. Agus Suyitno dan Bibit Waluyo mau-tidak mau mengharapkan dukungan dari kalangan militer karena kapasitasnya yang dulu pernah menjabat menjadi pangdam Jateng. Meskipun tak ada dukungan yang bersifat langsung –karena militer tak memiliki hak suara dalam pemilihan langsung- dukungan ini diimplementasikan dalam bentuk penggiringan massa sekitar militer yang potensi untuk diarahkan pada kandidat tertentu. Pada umumnya militer memiliki posisi dan bargain sosial di masyarakat relatif tinggi, maka cukup relevan bagi kandidat untuk meraih dukungan dari kalangan militer di samping faktor keamanan yang terjaga. Kemudian, Sukawi, Abdul Kholiq Arif, Rustriningsih, dan Tamzil yang secara bersamaan merupakan orang yang memiliki jabatan sebagai kepala daerah di daerah masing-masing, tentu memiliki pengaruh cukup kuat dalam mempengaruhi dan citra positif dalam benak aparat pemerintahan (PNS) masih melekat secara akut. Sedangkan Sudharto berasal dari kalangan profesi guru, sekaligus masih menjabat menjadi ketua umum PGRI Jateng, dengan demikian, klaim mengelinding akan dukungan dari kalangan guru di lingkup Jateng cukup santer. Sementara Bambang yang masih mengandalkan mesin partai yang ditambah dengan posisi Adnan sebagai Ketua PWNU mencerminkan dukungan dari kalangan Nahdliyin cukup diandalkan. Rozaq dari kalangan politikus, dari berasal dari ormas Muhammadiyah mengharapkan banyak dukungan dari masyarakat Muhammadiyah. Tak seperti Muhammadiyah yang kemungkinan besar bulat mendukung Rozaq, Nahdliyin diperkirakan secara politis, bukan struktural, banyak yang terdiaspora mendukung beberapa kandidat, mengingat tak hanya satu kadernya yang maju dalam bursa pencalonan gubernur dan wakil. Abdul Kholiq Arif cukup dikenal di kalangan Nahdliyin Wonosobo, Adnan yang pernah menjabat sebagai ketua PWNU, dan Sudharto yang pernah berada dalam struktur Ma’arif belum lagi klaim afiliasi partai oleh PPP dan PKB yang merasa ada hubungan kedekatan dengan masyarakat kalangan Nahdliyin. Memang Nahdliyin ditetapkan pada Khittohnya, untuk tetap netral, independen, dan kultural, namun untuk dukung-mendukung dikembalikan pada hak politik warga secara individual, bukan keputusan lembaga/ organisatoris.

Berbagai analisa dapat digunakan untuk menganalisa peta politik secara kualitatif, mulai dari seberapa besar dukungan partai/ gabungan partai pendukung berikut pengelolaan simpatisan partainya, dukungan massa mengambang/ arus bawah, dukungan birokrasi pemerintahan dan TNI/ POLRI, dukungan kelompok-kelompok kepentingan di luar partai politik seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP), organisasi-organisasi profesi dan bisnis, serta dukungan kelompok penekan (pressure group) seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM, mahasiswa, oranisasi buruh/ tani/ nelayan dan pers lokal.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA ORGA)

Kamis, April 03, 2008

Perseorangan dalam Pilkada Siap Bertarung


Realisasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-V/2007 tentang Putusan Calon Independen dalam Pilkada tertanggal 5 maret 2007 yang diperbaiki kembali pada tanggal 13 maret 2007 oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akhirnya menemukan harapan yang cerah. Pasalnya, pengaruh dari putusan ini memberikan landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis bagi revisi UU No. 32 Thun 2004 yang telah di gedok DPR pada tanggal 1 April lalu yang mengakomodir calon perorangan dalam pilkada.
Meskipun dalam pelaksanaan kententuan ini masih memerlukan energi besar karena harus merevisi PP No. 6 Tahun 2005 dan kerja keras KPU untuk membuat petunjuk pelaksanaan dan atau petunjuk teknis, namun persetujuan DPR sah memberikan babak baru bagi pemajuan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Harapan itu bukan sekadar bahwa demokrasi baru ini memberikan ruang yang cukup untuk mempromosikan kebebasan sipil (civil liberties), hak-hak politik (political rights) dan hak asasi manusia (humanity rights) individu tanpa partai politik, tapi juga akan membawa perkembangan peningkatan kesejahteraan politik masyarakat melalui komunikasi yang terjalin baik antara pemilih dengan para calon pemimpin perorangannya. Syarat dukungan bagi calon independen yang berkisar 3-6,5 persen mengharuskan adanya komunikasi langsung antara kandidat dengan khalayak pemilih. Aktivitas persuasif pun dilakukan kandidat untuk memperoleh dukungan, bagaimana masyarakat bersimpatik untuk memberikan dukungannya. Di sinilah terjalin komunikasi yang menguji kualitas calon perorangan tersebut dalam berkomunikasi dengan rakyat pemilih. Dapat dipastikan calon yang berkompeten ialah mereka yang memiliki popularitas dan citra baik serta mampu mengakomodir harapan, kebutuhan, dan aspirasi rakyat secara langsung.
Dengan terbitnya regulasi calon perorangan tidak hanya menandakan ihktikat baik pemangku kebijakan yang melihat bahwa keadilan (fairness) individual penting nilainya. Akan tetapi lebih daripada itu, terselenggaranya tatanan kehidupan hukum yang baik melalui lembaga pemangku kebijakan yang sadar memiliki legitimasi dan kompetensi yang di jalankan dengan baik. Putusan Mahkamah Agung atas ajuan judicial review menetapkan calon incumbent wajib hukumnya untuk mengundurkan diri dari jabatannya, juga di akomodir dan disahkan oleh pemangku kebijakan dalam revisi UU tersebut. Kita masih tetap berharap bahwa legitimasi dan kompetensi ini membentuk kondisi penyelenggaraan kehidupan hukum yang otonom.
Pada tahap itu, urusan utama hukum adalah mempertegas otoritas peraturan dan keputusan dan bukan untuk memastikan bahwa institusi-institusinya memiliki kemauan dan kompetensi untuk melaksanakan mandatnya. Kendatipun dirasa terlambat, karena keputusan calon independen dan kewajiban mengundurkan diri dari jabatan bagi in cumbent sudah di tetapkan tahun lalu, namun baru sekarang keputusan ini di tindak lanjuti konkret oleh pemangku kebijakan. Ke depan, pemangku kebijakan harus lebih progresif dalam menentukan aksi reformasi di bidang hukum ini.
Problem implementasi
Pelaksanaan kententuan baru ini tentunya tak bisa berjalan semulus yang kita bayangkan. Kendala-kendala subtansial sampai pada teknis operasional mewarnai pelaksanaan kententuan ini. Bisa di bayangkan saja untuk mencalonkan diri seorang harus memenuhi persyaratan yang di mulai dari tingginya popularitas sebagai modal awal sampai pada pengumpulan KTP pendukung bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Belum lagi penerimaan masyarakat terhadap calon perorangan belum tentu ekuvalen atau sejalan dengan penerimaan mereka terhadap persyaratan teknisnya. Membutuhkan partisipasi dan pendidikan politik masyarakat yang cukup untuk bersama-sama mewarnai proses politik pilkada yang di ramaikan oleh kehadiran calon perorangan.
Disamping partisipasi dan pendidikan politik masyarakat, suatu hal yang cukup sentral, terdapat beberapa problem implementasi bagi pelaksanaan calon perorangan. Pertama,pengeluaran energi yang relatif besar baik biaya atau waktu. Di satu sisi biaya dan waktu habis dari kandidat untuk mencalonkan diri untuk mengumpulkan dukungan dan memenuhi persyaratan lainnya. Di saat yang bersamaan ini, KPU memerlukan enegri dalam porsi besar untuk memeriksa perlengkapan calon perseorangan. Tentunya pemeriksaan berkas dan persyaratan calon dari partai jauh lebih mudah ketimbang memeriksa berkas dan persyaratan calon dari perorangan.
Kedua, di mungkinkan adanya konflik politik antargolongan non partai. Kemungkinan besar kelompok atau komunitas sosial memiliki peran untuk mengajukan perorangan. Kelompok atau komunitas social ini dulunya tidak terlibat secara langsung dalam aktivitas politik praktis, karena harus lewat jalur partai untuk berpolitik praktis, namun dengan adanya calon perorangan kelompok atau komunitas social ini bisa langsung mengajukan calon perorangan. Benturan kepentingan antarkelompok atau komunitas sosial tak bisa terhindarkan lagi.
Ketiga, kredibilitas dan kualitas calon perorangan tak ada yang bertanggung jawab secara institusional dalam konteks etis. Kredibilitas dan kualitas calon dari partai, cukup logis di tujukan pada partai pengusung. Kita saja menyalahkan partai apabila mengajukan kader yang kurang kompetitif. Namun bagi calon perorangan, tanggung jawab hanya pada individu tersebut.
Keempat, kemitraan dengan DPRD bagi calon peorangan yang memenangi pilkada masih dipertanyakan. Tak bisa di bayangkan manakala calon perorangan menang akan berhadapan dengan DPRD –wakil dari partai. Problem awal muncul masa pelantikan yang di laksanakan pada rapat paripurna DPRD. Belum lagi perumusan APBD dan pelaksanaan program-program pemerintah yang sulit sekali untuk berjalan secara sinergis nantinya.

Awaludin Marwan
Alumni NGO Management Certificate Program's X
PACIVIS UI Depok Jakarta

Rabu, April 02, 2008

Menyikapi Budaya Memperlakukan Perubahan

Jika setiap manusia mempunyai kepribadian, maka masyarakat mempunyai kebudayaan. Manusia sebagai bagian dari masyarakat dikenai tuntutan untuk berinteraksi dengan manusia lain, yang sedikit-banyak akan mempengaruhi pembentukan kepribadiannya. Melihat dari kaca mata nativistik, kepribadian manusia pada dasarnya diturunkan secara alamiah dari generasi sebelumya (baca: orang tua). Sedangkan menurut teori empirisme, manusia terlahir bagaikan kertas putih yang siap untuk dibubuhi bermacam-macam coretan oleh lingkungannya. Namun tentu tidak melulu nativis-empiris yang dikotomik, ada beberapa hal yang memang bawaan, dan beberapa lain merupakan pengaruh lingkungan. Dimana garis batas antara bawaan atau pengalaman, sampai saat ini masih diperdebatkan dan diteliti oleh para pakar “manusia’.
Sedikit mengesampingkan perdebatan di atas, dan kembali pada kalimat pertama paragraph sebelumnya. Seperti halnya kepribadian, pembentukan budaya dalam masyarakat pun demikian. Adanya interaksi dalam masyarakat (antar komponen masyarakat), interaksi antar masyarakat, pada akhirnya diistilahkan dengan-budaya-termasuk tradisi-tradisi yang bersifat ritualistik. Interaksi masyarakat (baik intern maupun antar) merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus, sehingga menimbulkan dinamika konstruk budaya pada masyarakat terkait.hal semacam ini terjadi pada semua kelompok manusia (masyarakat), dengan perbedaan pada kadarnya saja.

Keniscayaan Perubahan

Dalam keterikatannya dengan ruang dan waktu, semua hal pasti berubah, tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri (Hans Kung). Tak terkecuali budaya. Mengambil contoh dari sejarah, bagaimana masyarakat Eropa pada era Renaissance yang bermula ketika para pemikir sekuler sadar akan kedalaman nilai, peran intelektual, dan estetika peradaban Yunani, yang selama era sebelumnya-abad kegelapan-dipandang sebelah mata. Hal sama juga dilakukan oleh kalangan agamawan, hengkang dari doktrin-doktrin gereja, yang dalam kurun waktu lama dianggap mengalami distorsi. Kisah panjang eropa (dan dunia) itu berakhir dengan “kemenangan” untuk kaum sekuler (plus atheis) atas kaum religius.
Kasus diatas kiranya layak untuk dijadikan bahan renungan, pertimbangan-pertimbangan ketika akan menawarkan suatu perubahan. Mengusahakan kemajuan tak berarti harus mengorbankan tradisi. Yang dimaksudkan di sini, bukan menyerah seratus persen kepada tradisi. Toh, tradisi juga bagian dari hasil kreasi manusia yang harus berhadapan dengan “takdir” perubahan. Mengutip kalimat dari Soe Hok gie, “jangan tanyakan tetnang kapan! Perubahan hanya soal waktu. Cepat atau lambat, perubahan pasti terjadi.”

Fight or Flight

Disamping makan dan berkembang biak, naluri lain yang dimiliki binatang adalah bertempur atau berlari. Tak hanya binatang, manusia pun dalam keadaan tertentu akan melakukan regresi sampai pada naluri dasar itu. Jika disesuaikan dengan konteks di atas, fight or flight bisa saja dibenarkan. Tetapi jika diterapkan pada proses pembentukan dan akulturasi budaya, semestinyakah fight or flight itu diterapkan sebagai dasar tindakan? Permasalahan yang sebenarnya bukanlah berubah atau tidak, mengingat perubahan sudah pasti terjadi. Apabila suatu budaya menutup diri terhadap pengaruh luar, justru kualitas budaya terkait sama sekali tidak teruji, ibarat dalam ruang hampa. Bisa dikatakan budaya tersebut beku. Pun hanya pasrah dan terseret dalam gelombang perubahan, sama saja dengan kematian.
Yang perlu dilakukan di sini adalah mencari kembali makna dari tradisi-tradisi yang diwariskan, tak sekedar ora ilok tanpa ada alasan yang bisa diterima secara logis dan etis. Melalui penyusuran sejarah, sehingga dapat diketahui makna suatu ritual dan selanjutnya mempertanyakan apakah dirubah sama sekali, perlu disesuaikan dengan konteks kekinian atau tetap dipertahankan. Jadi pilihan yang ditawarkan bukan hanya orang yang bersanggul, berkonde, berkemben, berkeris, merayakan ulang tahun di McDonalds dengan iringan merdu musik Luciano Pavarroti atau petikan gitar John Petrucci. Opsi lain, bercelana hippies, model rambut emo, yang dengan khikmad mengikuti prosesi keraton kasultanan Surakarta.

Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi FIP UNNES.

Selasa, April 01, 2008

Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam PIlgub



Kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties) sangat penting dipenuhi dalam pilgub Jateng. Hak sipil dan politik salah satu dari turunan rezim Hak Asasi Manusia (HAM) perlu ditegakkan dan dipenuhi dalam arena dan pentas demokrasi seperti halnya dalam pilgub Jateng kali ini. Di samping kepastian akan keuntungan yang hendak di dapat oleh penghormatan individu-individu, pemenuhan hak sipil dan politik ini berjalan seirama dengan meningkatnya kualitas demokrasi.

Peluang pemenuhan hak sipil dan politik ini dapat di temukan pada upaya peningkatan pendidikan politik masyarakat. Untuk menuju kapasitas masyarakat yang sadar dan cerdas dalam menanggapi politik diperlukan determinasi dan kemauan tinggi penyelenggara untuk melaksanakan pilgub yang tidak hanya bersih, tapi juga mendidik warga secara politis.

Kendatipun pemenuhan hak sipil dan politik layaknya menjadi tanggung jawab bersama, namun peran strategis penyelenggara yang memungkinkan untuk bertindak lebih luas dan lebih memiliki kompetensi, sudah sepatutnya menjunjung tinggi dan menempatkan hak sipil dan politik warga. Hak sipil dan politik kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political - ICCPR) UU No. 12 Tahun 2005 ini patutlah menjadi referensi penyelenggara, bahkan mengharmonisasikannya dalam setiap produk hukum yang diterbitkan.

Negara dalam hal ini diwakili oleh penyelenggara untuk melakukan sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima ( to mempromosikan ( to promote), menghormati ( to respect), melindungi ( to protect), dan memenuhi ( to fulfil) – memfasilitasi ( to facilitate) dan menyediakan ( to provide) – penikmatan hak-hak sipil dan politik. Jadi sejauh mana KPU Jateng menyelenggarakan tindakan-tindakan sebagaimana diuraikan di atas.


Ancaman Pemenuhan

Selazimnya pemenuhan akan hak-hak sipil dan politi ini tak seperti semudah membalikkan telapak tangan Kepentingan politik praktis lebih dominan. Karena dalam implementasi pemenuhan hak-hak ini akan berhadapan dengan berbagai faktor penghambat. Pertama, rendahnya kemauan politik (political will) penyelenggara dalam menyelenggarakan pemenuhan hak sipil dan politik. Kondisi pertama ini kemungkinan terjadi akan bisa ditangulangi dengan kuatnya kontrol masyarakat dan lembaga non pemerintah dalam melakukan check and balances. Dengan demikian, penyelenggara tak hanya terdorong untuk menyediakan pemenuhan hak-hak sipil dan politik, akan tetapi, kontrol yang kuat tersebut bisa mendorong lebih jauh pada penyelenggara yang independen, non partisipan dan profesional.

Kedua, dominasi dan kuatnya tekanan di arena kepentingan politik praktis. Dinamika politik memang diciptakan untuk mendidik dan membuat proses menjadi lebih mematangkan elit dan warga dalam berdemokrasi. Namun dinamika yang tidak terkontrol dan keblabasan akan menumbuhkan suasana chaos dan kondisi yang tidak menguntungkan tidak hanya saja bagi pemenuhan hakhak sipil dan politik saja, akan tetapi pemilihan yang ademokratis. Dinamika politik yang tidak terkontrol ini bisa di sebabkan dominasi dan kuatnya tekanan politik dari perilku elit yang tak etis. Sehingga perhatian terbuang untuk mengamankan proses pemilihan hingga selesai dan aman, dan tak mengindahkan pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga.

Ketiga, situasi finansial yang rendah. Kekuatan financial menyumbang signifikan terhadap penyelenggaraan yang bersedia menyediakan pemenuhan hak-hak sipil dan politik. Dalam pilgub Jateng, kondisi financial hampir terasa cukup timpang. Hal ini dapat dlihat dari hampir separo bahkan lebih anggaran penyelenggaraan ini dipergunakan untuk pembiayaan (honorarium) aparat penyelenggara. Sedikit sekali porsi bagi pembiayaan pendidikan politik bagi warga. Pemenuhan hak-hak sipil dan politik dalam pilgub Jateng dirasa kurang maksimal.


Awaludin Marwan

Pegiat Organisasi Non Pemerintah

Cerita Tentang Itu

Pagi agak mendung ketika aku beranjak dari depan computer untuk pergi mandi, sebentar saja. Dengan pakaian seadanya, berjalan kaki yang akhir-akhir ini sudah jarang aku lakukan akhirnya sampai di kampus. Beberapa saat bertegur sapa dengan beberapa kenalan, basa-basi identitas kesukuanku yang masih saja etnosentris, lalu kuarahkan kaki menuju warnet yang ternyata penuh sesak seperti biasanya. Rencana membuka site “komunitas embun pagi” belum menjadi rejeki, tak apalah, tak harus dipikirkan seperti membaca “lifestyle”nya David Chaney pikirku. Tak seberapa lama setelah kembali berbincang dengan seorang teman, mataku menangkap jarum jam yang menyatu pada angka 11, kok bisa pas sekali? Bergegas jalanku menuju gedung sebelah, ada kuliah Psikologi Belajar seperti tertulis di jadwal. Jadwal yang katanya menutup ruang kebebasan, ah ada-ada saja. Sebentar lagi kuliah, dan presentasi, wiridanku saat itu.

Wiridan itu putus, memang tak pandai saja konsentrasiku. Kerumunan teman-teman yang seperti ngerumpi, membicarakan semuanya tanpa bekas, tanpa tujuan tetapi menyenangkan. Mungkin itu yang banyak dilupakan orang sekarang, semuanya harus praktis dan bertujuan, ini pasti gara-gara materialismenya Marx itu.. Oh, tidak. Ternyata mereka sedang saling berempati. Seseorang ditengah kerumunan matanya berkaca-kaca, bahkan basah tak beda dengan rutinitas Kaligawe yang membuat rantai sepeda motorku jadi kendur selain karena jarang servis di bengkel. Sayup-sayup terdengar “tadi dia dapet telpon, ayahnya meninggal”. Aku puaskan diriku dengan informasi itu, dan berjalan lagi. Maaf teman, bukan maksudku tidak berempati, tapi empatiku agaknya hanya semakin menambah kesedihanmu yang datang tiba-tiba.

Sambil berjalan, kuraba diriku. Aneh, aku biasa saja, pun dalam kuliah. Hanya saja terus terpikirkan. Bagaimana jika itu tiba-tiba teralamatkan kepadaku? Bagaimana jika aku yang itu? Adakah yang mau menangis demi aku dan kesedihan itu? Egois sekali memang, memang semua orang harus egois setidaknya jika saat tujuan dari semua kehidupan itu tiba. Sempat tersungging senyum di bibir, kekagumanku pada ayah temanku. Dalam awal dunia barunya, ada yang menangisi kepergiannya. Rupanya ia masih sangat dibutuhkan oleh orang lain, dia berguna bagi yang lain, dia orang baik.

Dari sisi lain, pastinya seorang teman itu tak menyangka, ketika tadi mandi, berangkat kuliah, sampai akhirnya mendapatkan kabar telpon. Bukan lagi telegram yang boros segalanya, si Marx sekarang bukan lagi kiri! Mungkin saja dari awal dia mengira hari-harinya akan seperti hari-hari sebelumnya.

Pikiranku telah kembali pada jalannya kuliah. Pak dosen menjelaskan teori behavioristik, setiap perilaku adalah baru, tidak ada hal yang sama persis! Semua stimuli itu baru, sehingga responnya juga baru. Senin lalu, di ruang yang sama juga kuliah dengan mata kuliah yang sama. Tetapi materinya berbeda, suhu udara, pakaian yang kami kenakan, cuaca, dan lain-lain yang berbeda. Semuanya itu baru dan menimbulkan respon yang baru. Katanya perilaku manusia suatu “lingkaran setan” stimulus-respon. Sederhana sekali memang, seperti rumusan persamaan kuadrat atau segitiga Phytagoras. Phyitagoras juga berkata “semesta adalah suatu keseluruhan yang teratur” semua bisa dirumuskan baginya. Wajar saja, Emha yang mengatakan “dunia adalah tempat ketidak pastian, dan manusia adalah makhluk ketidak pastian” memang belum lahir. Tapi berbeda bukan dosa, tak apalah.

Pak dosen juga bercerita masa mudanya, yang pernah menuliskan sesuatu tentang malam. Malam yang datang kala mentari mohon diri. Mengutip syair lagu Pas Band “malam hari tetaplah malam, tak pernah dia menghilang..” ya, dalam gemerlap bintang ataupun kelabunya mendung, malam tak akan dibahasakan siang. Mungkin si teoris (behavioristik) itu terlupa dengan satu pepatah klasik inggris “there is nothing new under the sun” dan belum tahu syair lagu Scorpion “and we are live under the same sun..

Semoga ini tidak dimaknai menari di atas kesedihan orang lain, tapi kata Derrida tidak ada selain penafsiran yang berbeda. Sudahlah, terserah saja..

Embun pagi ini,

segar dan bening,

lembut dan dingin,

Seperti embun kemarin.

Usia terlalu singkat,

untuk terus berharap.

Jiwa terlalu lemah,

untuk selalu pasrah.

Innalillahi wainnailaihi roji’un..

Ahmad Fahmi Mubarok