online degree programs

Sabtu, Mei 31, 2008

BBM: BENAR-BENAR MEMUAKKAN& BLT: BENAR-BENAR LHO TOLOL

Sampai sekarang diskusi mengenai kenaikan harga BBM semakin seru. Kwi Kian Gie dan Rizal Ramli laris diundang Televisi untuk berbicara. Saya tidak mengerti, apakah niat mereka sebenarnya politis atau memang benar-benar ingin memberi kebanaran informasi dengan argumentasi ilmiah kepada masyarakat. Yang tahu mengenai motif ialah mereka sendiri.

Memang agak aneh, bila harga minyak yang awalnya rata-rata $ 50 /barel bisa melonjak tajam hingga level lebih dari $130/barel. Dan apabila penyebab awalnya ialah inflasi, kelihatannya tidak sampai setinggi ini.

Saya tidak akan menggunakan teori konspirasi yang sering dipakai teman-teman di embun pagi. Sehingga menjadi sasaran tembak ialah isme-isme yang tidak jelas siapa pemainnya, yang akibatnya menjenarilisir permasalahan.

Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan harga suatu barang bisa naik. Pertama karena permintaan naik, kedua karena stok barang terbatas dan yang terakhir karena nilai tukar uang yang turun/inflasi. Dari faktor terakhir bisa jadi berpengaruh, tapi untuk harga minyak yang kenaikan bisa mencapai 300 % kelihatannya lebih dominan ialah dari faktor permintaan dibanding faktor inflasi dunia yang sekitar 18 % itu.

Mengapa bisa demikian. Apakah apabila faktor permintaan naik berarti disebabkan oleh kenaikan konsumsi? Jawabnya, belum tentu!.

Sebelum mencapai konsumen, sebuah barang biasanya melewati pedagang. Kalau komoditas penting seperti minyak, di tingkat pasar internasional, peran spekulan sangat berpengaruh.

Beberapa ahli masih kebingungan terhadap perilaku minyak yang aneh sekarang ini. Ada yang menduga sebagai akibat kenaikan musiman, naiknya permintaan dari Cina dan India, dan ada juga yang menduga karena menurunnya tingkat produksi dari negara-negara penghasil minyak. Analisa di atas barangkali bisa jadi benar. Tapi menurut saya pengaruhnya tidak mungkin sampai 3X lipat seperti saat ini.

Karena saya termasuk yang berpandangan fundamentalis pasar. Dugaan awal kenaikan ini dipengaruhi oleh kebijakan inflasif dari The Fed. Kalaupun itu benar, dan saya yakin memang sangat berpengaruh, prosentasinya tidak mungkin sedasyat sekarang.

Spekulan Bermain dengan Waktu

Menurut informasi terbaru, perilaku spekulan di pasar berjangka-lah pemicunya. Dan parahnya ini dipicu oleh kebijakan The Fed. Karena spekulan bukan orang bodoh, mereka tidak mungkin menyimpan aset investasinya dalam bentuk dolar. Maka mereka bermain di pasar berjangka.

Di saat kondisi bisnis ekonomi yang lesu seperti sekarang ini. Banyak orang, termasuk spekulan, sangat menghindari menyimpan aset dalam bentuk uang fiat. Ada dua alternatif, bermain emas atau bermain minyak!

Seperti yang sudah diketahui orang awam, bahwa masa depan tidak pasti. Apa yang akan terjadi bila ternyata kenaikan harga minyak disebabkan oleh faktor spekulasi. Jawabnya ialah: kenaikan harga yang sekarang terjadi tidak mungkin konstan.

Jadi ada kemungkinan harga minyak akan terjun bebas.

Dengan demikian, kebijakan menaikkan harga minyak saat ini bisa dikatakan blunder bagi pemerintahan SBY sendiri dan mencederai rakyat yang memang sudah dibuat panik.

BLT: Obat Bius Mematikan

Untuk menina bobokkan agar tidak terjadi gejolak sosial, pemerintah menerapkan kebijakan pemberian BLT. Sehingga bisa ditebak bahwa kebijakan tersebut benar-benar politis dan tidak sungguh-sungguh berusaha untuk mensejahterkan rakyat.

Seperti ketololan yang telah menjadi ciri khas kebijakan penguasa di Indonesia. Pemerintah mendukung orang untuk berkonsumsi dan menghambat orang yang produktif. Bila dicontohkan sangat banyak. Pajak lebih banyak dikenakan bagi dunia usaha, dan subsidi dikenakan untuk kebutuhan konsumsi. Bukankah ini logika terbalik?

BLT tidak jauh beda dengan program Raskin. Sama-sama tololnya. Dan yang paling membuat saya pribadi paling jengkel. Pemerintah ikut-ikutan menjual beras dengan sangat murah. Lha, jelas berasnya laris! Wong dia tidak harus mencari modal sendiri, karena tinggal menarik pajak kemudian ditukar dengan beras lalu dijual ke pasar dengan harga murah. Bayangkan bila anda menjadi petani yang mau menjual berasnya ke pasar? Harga menjadi hancur!

Logika BLT sama saja. Uang memang diberikan, tapi irigasi pertanian dan jalan-jalan antar desa belum juga dibangun dengan layak. Yang notabene pembangunan itu akan sangat membantu menggerakan sektor riil di masyarakat. Yang akhirnya akan membuat rakyat sejahtera melalui kemandirian ekonomi mereka sendiri.

Walaupun logis, logika di atas barangkali Cuma mimpi. Coba anda lihat sistem irigasi di negeri kita yang katanya agraris? Sangat hancur!. Saya sejak SMA sudah sering memasang mesin pompa air sendiri dari sungai, karena sistem irigasi dari pemerintah tidak jalan. Akibatnya, dalam hal irigasi, petani berjalan sendiri-sendiri. Dan saya sering terlambat masuk sekolah, karena pagi-pagi harus memasang mesin pompa di sawah.

Kalau diingat-ingat, beberapa hal aneh di masa lalu ternyata disebabkan karena kita dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gelar akademis tapi otaknya kosong.

Dengan demikian, BLT tidak lebih hanya uang suap bagi rakyat yang sedang kelaparan. Jadi nilai guna sosialnya: NOL BESAR!!!

Prediksi

Kembali ke permasalahan harga minyak. Karena spekulan bukan malaikat yang tahu kondisi masa depan, mereka tidak akan terus-terusan membeli minyak. Jadi ada dua pilihan, tetap memegang minyak dengan resiko terkoreksi, atau beralih ke aset emas. Pilihan pertama jelas sangat beresiko...

Giyanto

Jumat, Mei 30, 2008

Slendro Bangkit

bangkit. setelah menyesal
mungkin ini satu-satunya trowongan.
ketika semua jalan telah di palang.

itulah keluh orang jajahan.
ditanah merdeka.
lidah bisa bersuit atau berdentam.
seperti gendang.
tapi, ruang anganku sudah terjajah
oleh kemewahan yang berkilau.

selamat datang benda-benda yang gemerlap..!!!
untuk menjadi kepala, tangan, betis dan leher.
kini kunyanyikan tembang mati.
karena sadar aku kecurian ruh.

ada musuh..dan banyak musuh.
tapi tak ada perang.
aku sudah kalah oleh panji-panji katok dan kutang.
oleh raksasa,, milenium ketiga..

barangkali masih ada kebangkitan..
untuk tidak sedih dalam malu yang perih...
perih yang putih menumbuhkan sayap-sayap cuaca..
untuk mencari peta yang ditorehkan cuaca.........


malik.

Rabu, Mei 28, 2008

samsimsum

ada yang lari
sampai biru

tapi lupa
ternyata bulan tetap jatuh

Selasa, Mei 27, 2008

Dari-Nya

Dari-Nya...
Kita tidak selalu diberi apa-apa yang kita inginkan
Namun, kita selalu diberi apa-apa yang kita butuhkan
Dari-Nya...
Kepemilikan tidak terasa berarti
Sampai kita benar-benar kehilangan
Dari-Nya...
Kebebasan datang bersama manusia
hingga kekuasaan mencemarinya
Dari-Nya...
Kebenaran tidak akan sungguh ada
sebelum manusia mencarinya
Dari-Nya...
Keadilan tidak akan nampak nyata
sebelum,
Manusia memperjuangkannya!

Giy

(r)evolusi

suara-suara datang jauh
seperti bisu tapi tak bisu
lagi,
seperti itik melintasi matari
kabur tapi terik

hai, sesenggukan yang hilanglah yang datanglah
kembang jatuh di pelataran
aku mendengar seperti ada yang menangis
di luar ruang ini
tapi sepi

kailala,
cinta datang bukan tiba
definisi pemberontakan
adalah keheningan yang selalu lelah tapi betah
dikejar cahaya

taufiq

Senin, Mei 26, 2008

TUMPULNYA GERAKAN PERLAWANAN


Sudah selayimnya kenaikkan harga BBM akan lebih banyak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat luas. Namun gerakan perlawanan terhadap kebijakan ini masih sekterian, gerakan mahasiswa sudah tak bisa diandalkan, jelang kenaikkan BBM masyarakat lebih memilih menyerbu SPBU ketimbang mendukung pemprotesan mahasiswa dan aktivis pergerakan untuk menggagalkan kebijakan pemerintah itu.

Gerakan perlawanan diperlukan tidak hanya sebatas kekuatan penyeimbang (check and balances) saja, namun juga bisa menjustifikasi segala kebijakan pemerintah dalam konteks baik-buruk, tepat-tidak tepat, dan benar-salah. Kebijakan kenaikkan harga BBM akan menyulut kenaikkan harga barang lain, meningkatkan jumlah kemiskinan, dan menciptakan keputus asa-an social masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian kebijakan ini sudah tidak tepat, buruk dan salah. Untuk menghadapi kebijakan ini diperlukan gerakan perlawanan.
Gerakan perlawanan dimaksudkan untuk meniadakan kebijakan yang tidak adil (unfairness), bukan kemudiaan untuk mudah terdistorsi dalam skenario politik, menuju upaya pemahzulan dan sarana bagi kampanye (campaign) tokoh, paham, simbol lain. Namun gerakan perlawanan ini mudah sekali diklaim sebagai gerakan yang sudah tidak lagi murni, dan hanya berorientasi kepentingan politik praktis saja. Argumentasi ini mudah terbentuk dan pantas saja beredar, sebab, gerakan yang dimotori oleh mahasiswa dan aktivis pergerakan cenderung terbelah-belah dengan target dan isu-isu yang berbeda-beda.
Kendatipun dengan tema sentral tuntut kenaikkan harga BBM, gerakan perlawanan ini tidak bisa mencapai tujuan –menggagalkan kebijakan pemerintah. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa interdependensi lembaga kemahasiswaan dan institusi aktivis pergerakan masih berafiliasi pada kekuatan lain seperti kekuatan pemerintah dan DPR yang memiliki kepanjang-tanganan kader partai yang serumpun ideologi, visi, dan kultur, yang semuanya ini masuk dalam sederetan faktor, kenapa gerakan perlawanan masih sekterian.
Sehingga memunculkan kembali sentimen-sentimen kelompok, terpisahnya orientasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, dan hanya mengejar eksistensi di media. Bahkan justru gerakan perlawanan sebuah fenomena utopis yang madul pada kebiasaan terbitnya kebijakan kenaikkan harga BBM.
Kemandulan gerakan perlawanan ini bertambah parah dengan pergeseran nilai-nilai di masyarakat. Nilai-nilai patriotisme terkikis dengan metamorfosis nilai-nilai individualistik. Jelang kenaikkan harga BBM, masyarakat berduyun-duyun mempertahankan kemudahan hidupnya sendiri-sendiri. Mereka lebih memilih mengisi kendaraan pribadinya di SPBU ketimbang bergabung dengan gerakan perlawanan untuk memperjuangkan nasib masyarakat secara bersama-sama. Hanya demi kenaikkan harga BBM 28,7 %, mereka merelakan diri untuk antre, membuang-buang waktu, dan ironisnya berniat untuk mengikuti kemauan pemerintah, padahal hati mereka tak sependapat dengan kebijakan itu.
Lemahnya gerakan perlawanan tidak hanya sekterianisasi gerakan mahasiswa dan aktivis pergerakan saja, tapi juga tidak adanya dukungan masyarakat. Masyarakat cenderung ingin menyelamatkan diri sendiri masing-masing. Padahal gerakan perlawanan yang terdiri dari gerakan mahasiswa, aktivis pergerakan, dan masyarakat yang solid mampu menghasilkan perubahan siginifikan. Jadi perubahan tidak hanya membutuhkan gerakan mahasiswa dan aktivis gerakan saja, tetapi sikap dan dukungan masyarakat terlebih penting.
Sebagaimana di kemukakan oleh Piotr Sztompka, dalam The Sosiology of Social Change yang mengisyaratkan bahwa perubahan efektif berasal “dari bawah”, melalui aktivitas yang dilakukan massa rakyat biasa dengan derajat “kebersamaan” yang berbeda-beda. Dengan dukungan masyarakat yang tergabung dalam satu paket gerakan perlawanan yang digelontorkan oleh mahasiswa dan aktivis pergerakan, gerakan perlawanan akan efektif dan menjadi gerakan social yang melahirkan kolektivitas orang yang bertindak secara bersama-sama untuk mengendalikan perubahan atau mengubah arah perubahan.

Kemenangan Mafia Berkeley
Kebijakan neolisberalisme tumbuh subur dan menuai kemenangan untuk kesekian kalinya di negeri ini. Kebijakan neoliberalisme yang pada intinya dimotori oleh alumnus kampus di Amerika ini sebelumnya membawa misi: pasar bebas, privatisasi, dan pencabutan subsidi pada akhirnya sukses besar. Keberpihakkan kebijakan neoliberalisme hanya tertuju pada para konglomerat, sedangkan klas kedua yang terdiri dari rakyat biasa dimarjinalkan. Klas konglomerat pada piramida social tingkat atas dimanjakan, diberikan subsidi, dan kemudahan, dengan alasan klas ini akan lebih bermanfaat menyokong pertumbuhan ekonomi makro. Sedangkan klas di bawahnya dipandang tak berguna, di peras tenaganya, di batasi hak-haknya, bahkan hampir di anggap tak pernah ada.
Pasar bebas dan privatisasi melenggang jauh tanpa ada yang bisa menghentikannya, apalagi semenjak amandemen konstitusi dasar yang mengijinkan privatisasi dan pasar bebas tersebut. Aset-aset menjadi di dominasi pihak asing, dan kemandirian sedikit demi sedikit terkikis yang pada akhirnya semuanya hampir bergantung pada pihak asing. Sementara pencabutan subsidi untuk yang ketiga kalinya sukses dilaksanakan, setelah 1 Maret dan 1 Oktober 2005, harga premium yang semula Rp. 1.800,- menjadi Rp. 2.200,- kemudian Rp. 4.500,- dan kini kenaikkan mencapai Rp. 6000,-. Fakta empiris ini menjadi sederetan tanda kebijakan neoliberalisme yang digawangi oleh mafia Berkeley telah mengakar dalam negeri ini.
Pandangan internasionalisasi membuat bangsa kita kehilangan identitas, yang kemudian memaksa kita untuk selalu memakai standar internasional. Untuk menjadi bangsa yang maju, perlu semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme yang kuat, bukan terjerumus ke dalam alur permainan global yang itu belum tentu membawa kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme, elit pembuat kebijakan tentu akan lebih memilih nasionalisasi, renegosiasi, ataupun moratorium utang luar negeri yang lebih banyak bermanfaat bagi bangsa dan tidak menyengsarakan rakyat.

sesangkut

nada suaraku
adalah sebuah kertas putih
yang pelan-pelan diperkosa batas

kadang-kadang seperti bisikan
yang tak bertelinga

kadang-kadang seperti huruf
yang tak sempat tiba

memang menyakitkan
tapi alangkah kita tak puas-puas

taufiq

Minggu, Mei 25, 2008

Hal-hal Kecil yang Dilematis

Ketika sedang melihat seorang teman yang mempermalukan dirinya, memilih untuk ikut mencemooh, tak berkata apa-apa, atau justru berempati, adalah hal kecil.
Ketika berada di sebuah warung yang menyediakan Mie Ayam dan Bakso, memilih menu untuk makan malam adalah hal kecil.
Ketika selesai mandi dan bersiap-siap berangkat kuliah, akan memakai baju yang mana adalah hal kecil.
Ketika berjalan-jalan di sebuah swalayan, melihat-lihat dan menimbang-nimbang pajangan parfum beraneka aroma, adalah hal kecil.
Ketika memilih untuk menonton inbox atau naruto pada minggu pagi, adalah hal kecil.
Ketika merancang letak sebuah poster baru dalam dinding kamar, adalah hal kecil.
Ketika bermain sepak bola, memutuskan menggiring bola atau mengumpan pada rekan, adalah hal kecil.
Ketika sejenak berpikir apakah akan potong rambut hari ini, esok pagi, esoknya lagi, minggu depan, atau entah kapan, aalah hal kecil.
Ketika sedang berada di kamar mandi, bernyanyi, bersiul, atau diam saja adalah pilihan kecil.
Ketika sedang berbicara, memilih satu diantara jutaan kata dalam perbendaharaan konstruk ketatabahasaan, adalah hal kecil.
Ketika suatu waktu sedang memegang gitar, memilih bernyanyi lagu Scorpion atau Peterpan, adalah hal kecil.


Ketika berhadapan dengan suatu pilihan, ada proses kognitif di sana, yang melibatkan aspek-aspek emosi. Memilih memenangkan rasionalitas atau perasaan, adalah sebuah hal yang dilematis. Rasionalitas yang tercermin dalam dominasi Tes Binet, WAIS, dll, dan rangsekan Daniel Goleman tentang pentingnya pengaruh emosi yang justru lebih dari sekedar tabiat laten, emosionalitas yang tak kalah penting dan dapat dipelajari. Perseteruan klasik itu adalah dilema yang telah meluas dan membahasakan dirinya dalam realitas. Rasionalitas yang hanya bisu ketika jantung berdegup kencang karena beradu pandang dengan makhluk pujaan. Rasionalitas adalah laki-laki, dan emosionalitas adalah perempuan, dan keduanya saling melengkapi. Konstruk meskulin-feminin yang telah mengakar dalam suatu kebudayaan, juga digugat karena memang dilematis. Dan tak lupa ada spontanitas yang banyak kali terjadi dalam dilema-dilema tertentu.

Dilema ada ketika berada pada suatu pilihan, entah hal-hal yang termasuk penting atau kecil, dilema tetaplah dilema. Dilema selalu harus ada prioritas, yang sangat beragam pada masing-masing idividu, begitu kata Aidh Al-qarny. Dilema menjadi penting ketika melibatkan pilihan yang penting, hidup-mati misalnya. Begitu juga dilema akan segera berakhir saat mata memutuskan untuk sekedar melihat rok yang tersingkap dalam sekejap. Tetapi dilema tetaplah dilema, meskipun itu dianggap besar ataupun kecil, akan ada upaya penyelesaian untuk itu. Seringkali ada satu alternatif yang dianggap jitu untuk menyelesaikan sebuah dilema. Sering pula satu solusi untuk banyak dilema, satu obat untuk segala penyakit, seperti tablet APC di Belitong, kata Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi-nya. Dilema harus selesai, dengan adanya solusi yang nyata-kongkrit, layaknya sebuah cangkir yang bisa dipegang dan dibanting. Dilema harus terselesaikan, dianggap sebuah misi rahasia seharga jutaan rupiah. Entah ameliorasi atau peyorasi, mungkin pasti.

Sebuah dilema meniscayakan proses, bukan hanya mengharuskan penyelesaian yang lagi-lagi dilematis. Ada proses di situ, memilih, menentukan, memutuskan, yang selalu terkait dengan skala prioritas hidup. Ya, entah besar atau kecil, hal-hal yang dilematis pasti melibatkan prioritas pelaku dilema itu. Prioritas selalu melekat, menjadi bagian dari dilema, seperti halnya dilema itu sendiri yang melekat dan menjadi bagian dari keseharian manusia.
Lalu, jika dilema harus terselesaikan, jika penyelesaian itu harus kongkrit-praksis-praktis, haruskah satu hal yang telah memenuhi kriteria kongkrit-praksis-praktis, dipaksakan? Itu juga sebuah dilema, apakah satu hal itu benar-benar ”benar”, setelah mengalami transformasi yang tak pernah lepas dari reduksi dan distorsi. Sesuatu yang telah tak bisa lepas dari segumpal lumpur yang hina-dina tetapi eksotis? Lagi-lagi itu adalah dilema.


Ahmad Fahmi Mubarok

Kedirian dan (Kemungkinan) Revolusi

Nah itu baru saya setuju (pada Mas Anonim yang berkomentar pada artikel saya), yang utama secara fundamental dan substansial memang manusianya, bukan sistemnya! Termasuk dalam menata masyarakat kita… maaf saya jadi teringat kata seorang anggota Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, bahwa evolusi peradaban menuju pada kemajuan terbentuk dari kemerdekaan masing-masing individu dalam memberikan kontribusi pada khalayak atau public yang lebih besar di mana ia berada. Ini teori komunikasi Habermas yang bermula dari individu kemudian menuju masyarakat luas. Jadi peradaban itu terbentuk oleh kontribusi masing-masing individu yang ada di dalamnya.

Toh jika dilawankan dengan argumentasi bahwa; bukankah individu dipengaruhi oleh masyarakat yang lebih luas, maka akan kembali lagi bahwa bukankah masyarakat yang lebih luas berasal dari kontribusi individu? Ini jadi lingkaran yang tak terputus, cuma Habermas fokuskan pada peran besar individu tuk ”memulai” pekerjaan besar membangun peradaban itu. Walaupun begitu saya cukup pesimis dengan konsepsi komunikasi massa bebas penguasaan dari Habermas dalam membangun ruang publik dan civil society itu...bagi yang baca Habermas pasti tahu itu. Karena dalam konteks interaksi sekarang mana ada yang nirkekuasaan?

Jika dikaitkan dengan pernyataan Mas Anonim (saya pura-pura gak tahu siapa beliau sebenarnya...padahal udah dikasih tahu identitas sebenarnya di balik anonim itu hehehe), maka memperbaiki dan fokus pada perbaikan substansial-fundamental diri manusia lebih penting dibandingkan pada sistem, walaupun sistem tak kalah penting, tapi dalam skala prioritas dalam pemahaman filsafati, maka manusia adalah unsur utama yang mesti dibenahi dulu, baru yang lainnya. Apapun sistemnya jika yang menjalankan (manusianya) tidak benar, tidak baik, tidak amanah, ya akan sama saja dengan sistem-sistem yang membawa mudharat selama ini.

Mendasarkan pada konsep Habermasian, maka dengan ”sudah baiknya” individu maka dengan kebaikannya tersebut akan dapat berkontribusi pada ruang dan ranah yang lebih besar dan luas lagi, dapat mentransformasikan kebaikan dirinya pada ruang publik yang lebih luas lagi. Dalam konsep emanasi (istilah ini familiar dalam kajian tasawuf, tapi ”terpaksa” saya ambil dan manusia saya tempatkan sebagi pusatnya, antrophocentrism bukan teocentrism, selama ini konsep emanasi dalam tasawuf menempatkan Tuhan sebagai pusat klo gak salah, hingga alam ini sebenarnya adalah cerminan dan perwujudan Tuhan [ayat-ayat Tuhan]) pun alam ini adalah cerminan dari penghuninya, manusia.

Saya agaknya lebih setuju dengan ungkapan Cak Nun di Kenduri Cinta beberapa bulan yang lalu, bahwa dalam demokrasi, atau apapun sistem kenegaraannya, maka yang terpenting adalah berkuasanya, berdayanya, kuatnya rakyat! Demokrasi seperti apa pun, kerajaan seperti apapun, bahkan khilafah (saya kesulitan membedakannya dengan kerajaan dan konsili Vatikan sistemnya) tapi kalau rakyatnya gak berdaya ya sama saja, berpotensi despotik, otoriter. Seperti sekarang pemerintahan SBY-JK apa bedanya dengan otoriter, despotik, sak karepe udhele dhewe’. ”Semua” rakyat (kecuali ”pedagang” yang diuntungkan oleh kenaikan BBM) menolak kenaikan BBM, tapi ternyata kemauan rakyat tak didengarkan pemerintah, dan seenaknya memaksa rakyat ikut kemauan pemerrintah. Klo rakyat berdaya, maka pemerintah dapat dipaksa mengikuti kehendak rakyat, amanat penderitaan rakyat!

Ini pemerintah SBY-JK namanya mengkhianati rakyat! Kenapa rakyat tak berdaya, banyak hal yang menyebabkan itu. Di antaranya adalah, ”wakil rakyat” sudah bukan wakil rakyat, tapi wakil partai, yang ada hanya politisi, bukan negarawan; partai politik telah membelenggu munculnya negarawan-negarawan besar seperti Syahrir, Hatta, Agus Salim, Natsir. Partai jadi pabrik yang menjadikan semua sendi kehidupan sebagai komoditas politik, untuk uang dan kekuasaan belaka. Selain itu, pemerintah yang sudah despotik-otoriter-status quo sengaja membuat rakyat tidak berdaya secara sistematis. Caranya paling ampuh lewat ”kebijakan” yang tak bijak, yang memaksa. Bagi yang melawan dianggap makar dan subversif. Kekuasaan dibuat sedemikian rupa hanya berada di lingkaran ”pemerintah” saja, yang berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan dengan begitu adalah yang sevisi, setujuan, seperjuangan saja secara politik.

Eh, melihat itu semua, banyak mahasiswa kita tidur pulas, ngiler di kost-kostan, maen PS ampe pagi.... saya rindu Gie, Wahib, Arif Rahman Hakim, adakah di antara teman-teman mahasiswa berjiwa seperti mereka?! Ironis juga, mahasiswa kita begitu borjuis, aktivisnya aktivis borjuis, contohnya: mereka lebih senang jadi peserta diskusi di Democrazy dan news.com, atau bahkan Empat Mata! Duduk manis, ketawa-ketiwi, tepuk tangan, pakai jas almamater, bangga dan senyum-senyum di-shoot kamera, apakah itu akan merubah kondisi bangsa? Kata Bung Karno, jadi antek-antek Neokon! Bagi saya, jadi antek-antek Neolib! Ketika pemerintah sudah tidak mendengar amanat penderitaan rakyat, tak ada lagi penambung lidah rakyat, jalan apa yang dapat dilakukan? Siapa yang mesti memulai sebuah revolusi? Apakah bapak ibu kita yang sudah payah memikirkan besok makan apa, sopir yang bingung pikirkan kenaikan BBM sementara harga spare part naik, dipalak di tiap perempatan, setoran dituntut naik, sementara anaknya menangis minta susu. Bagi saya, siapa lagi kalau bukan kaum muda!!!

Saatnya kaum muda memimpin sahabat-sahabat! Setidaknya ada lima tuntutan yang mesti digelorakan, perjuangkan: (1) Nasionalisasi aset strategis yang sekarang banyak dikuasai asing, (2) Hapus utang lama, tolak utang baru, (3) Proteksi industri & ekonomi nasional, (4) Penjarakan semua koruptor dan penjahat lainnya, tarik asetnya tuk rakyat, dan (5) Laksanakan pemilu tanpa partai lama. Saatnya kaum muda memimpin, jalan baru, pemimpin baru! Menuju pemerintahan Indonesia yang kuat dan bermartabat!
Beberapa waktu lalu ketika diskusi di Taman Siswa Jakarta, saya sangat terharu ketika Prof H.A.R Tilaar yang sudah sepuh, 70-an lebih usia beliau, menyatakan ”seandainya saya masih muda, melihat kondisi sekarang ini, saya akan turun ke jalan”. Dalam diskusi RUU BHP waktu itu para hadirin bertanya, apa yang mesti diperbuat ketika pemerintah sudah tidak mau melihat realitas kebobrokan sistem pendidikan sekarang, beliau tetap berujar ”Turun ke jalan!” Dan di kost, kampus, kantin, kafe, mahasiswa enak-enakan menikmati fasilitas borjuisme?

Edi Subkhan, penulis

seperti debu di daun-daun

seperti debu di daun-daun

o, rumput yang tumbuh di kaca-kaca
panggilkan aku sedikit sunyi
dari dunia yang tak pernah kunjung penuh ini

o, cahya malam yang biarlah setengah terang
biarkan kusimpan dendam dan marah
pada debu di daun-daun
yang akan hilang dilenyap hujan esok pagi

sebab, harapan pada kesempurnaan sepertinya hanyalah bayang-bayang yang menutupi kerendahhatian kita untuk menerima segala

apa
adanya

taufiq

Kamis, Mei 22, 2008

selingan...

berawal dari jenuh, mungkin wajar untuk waktu tertentu orang mengalami jenuh.. menyendiri dikamar kos, entah apa yang harus dilakukan? malam lihat televisi sampai pagi nonton tv, acara demi acara terlewati dan semuanya menawarkan kabar yang tidak mengasyikan.. berita diwarnai aksi kekerasan, demontrasi, kriminalitas, sinetron penuh dengan kepura-puraan dan hayalan, infotaimen terlalu banyak terlibat dengan aib seseorang hingga masalah ketiak digsipkan. akh... aku keluar dan melihat orang-orang susah yang terlalu lama melangkah dengan keputus asaan, sebagian lagi suka memaksakan kehendak. aduh.. kenapa begitu besar beban yang ditanggung orang-orang yang hidup di Indonesia sekarang ini. mereka meratapi nasib mereka menyombongkan nasib mereka mengejar nasib sebagian berusaha merubah nasib. ada apakah dengan kehidupan ini? sedang kawan mengeluh karena tersingkir, adalagi kawan yang menangis meratapi jasad ibunya, sedang seorang kakek berjalan mencari sampah plastik yang untuk dijual kembali. aku disini menulis yang aku lihat bukan yang aku pikirkan.
ketika SBY-JK memperingati HARI KEBANGKITAN NASIONAL di gelora bung karno, sebagian kawan-kawan memperingati dengan menenggak arak bali dan maen kartu. banyak mahasiswa yang tak paham dengan maksud kuliahnya lalu asyik bergaul dengan gaya yang mereka akui sebagai jalan untuk meningkatkan harga diri hingga harga yang ditawarkan mahasiswi-pun tinggi (dunia ajeb-ajeb sangat digemari). kampusku menjadi ajang bisnis atau bahkan para birokrat menggunakannya untuk memperkaya diri, entah itu korupsi atau apa? sebab belum ada KPK yang membuktikannya. tapi banyak hal-hal yang sepertinya tidak wajar dikampusku.
sebagian lahan pertanian telah terbengkalai tak terolah, banyak buruh tani yang pindah pekerjaan sebagai buruh pabrik, lalu demo minta kenaikan gaji. o ya.. guru-guru sedang dilanda kecemasan, para pengangguran meratapi nasib di pinggir kuburan, kuli jalanan terus menggali dan memperbaiki jalan walau mereka tak menikmati jalan tersebut. tukang kebersihan jalan dan para ibu-ibu pedagang sayur dipasar tradisional sama-sama berkerut wajahnya, mobil mewah melintas melewati tangisan anak jalanan dan pengemis yang kelaparan, apakah ini karma ataukah ini nasib yang sewajarnya, mengapa pemerintah begitu besar menentukan nasib seseorang, siapa yang kaya siapa yang miskin, siapa yang sukses siapa yang susah, siapa aku siapa kamu,
seperti agama dalam KTP, pemerintah tak mencerminkan tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup rakyatnya, selalu mengelak demi meningkatkan kemiskinan padahal rakyat menderita kesusahan.
disini.. di komunitas ini, mencoba menawarkan fakta daripada teori. karena terlalu sering teman-teman ngeyel saling mempertahankan teori-teori dari orang yang mereka idolakan. maaf.. jika saya tawarkan rasa yang mereka rasakan.

Selasa, Mei 20, 2008

Warung Pecel


Hari ini, mbok Ti tampak cerah wajahnya, lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Tangannya begitu ringan mempersiapkan berbagai macam sayuran dan bumbu sebagai bahan utama pembuatan pecel, yang memang menjadi menu utama kedainya. Keceriaan mbok Ti ini menular juga pada kang Kus, suaminya. Sang suami ini dengan sigap membantu istrinya menimba air dari sumur dan menata piring-gelas di rak. Menjadi sesuatu yang lazim memang, di pelosok timur desa di Jawa Tengah ini, seorang suami berperan seolah-olah menjadi karyawan istrinya. Ini didasari keadaan sosial ekonomi yang memang tak bisa di hindari. Ladang dan sawah yang dikerjakannya tiap hari tidak mampu menyangga konsumsi harian keluarga karena hanya bisa dipanen tiga bulan sekali, bahkan lebih lama jika tidak dibantu dengan turunnya hujan. Hal ini menyebabkan kang Kus rela menjadi karyawan istrinya, karena hasil dari warunglah yang memang menjadi andalan penghidupan sehari-hari. Sedangkan nanti bila masa panen tiba, hasilnya digunakan untuk membeli kambing atau anak sapi yang dirawat sendiri, sebagai fungsi tabungan dan investasi. Mungkin akan timbul gejolak jika yang mengalami pola ekonomi seperti ini adalah keluarga yang tinggal di kota, karena budaya patrilinial melekat erat di sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya kesadaran dan saling pengertian antara mbok Ti dan kang Kus sajalah yang membuat pola rumah tangga ini berjalan lancar.
Gerangan apakah yang membuat mbok Ti dan kang Kus bersuka cita ? Alasannya cukup sederhana dan biasa-biasa saja : omzet penjualan kedai pecel miliknya meningkat dan dipastikan akan terus meningkat. Puluhan orang setiap hari antri untuk mendapatkan seporsi nasi pecel buatannya. Seluruh warga kampung bahkan para pegawai kantor yang terletak di seberang jalan raya sana tiba-tiba memburu pecelnya.
Minggu kemarin, pak Camat memerintahkan seluruh warga dan jajaran pegawainya, mulai sejak dibacakannya instruksi, agar gemar mengkonsumsi makanan tradisional daerah setempat, terutama pecel. Bukan itu saja, merekapun diminta untuk ikut mempelajari cara mengolah sayuran dan bumbu menjadi pecel yang nikmat. Dengan bangga pak Camat mengeluarkan perintah itu disertai kata-kata seperti yang tertera pada spanduk-spanduk sebelum tahun 1998 “Dengan Mengkonsumsi Dan Melestarikan Pecel, Kita Jaga Aset Dan Budaya Daerah”. Pak Camat juga memerintahkan sekolah dan tempat kursus untuk menambah mata pelajaran “membuat pecel” untuk para siswanya. Bahkan ide itu berkembang menjadi proposal pada sebuah universitas agar menambahkan mata kuliah tentang perpecelan, agar mahasiswa tahu dan mengenal pecel tidak hanya sebagai makanan pinggir jalan, tetapi juga merupakan bidang penelitian ilmiah yang dapat dikaji dari sisi ekonomi, sosial-budaya bahkan politik. Hidangan yang disajikan setiap ada rapat atau tamu penting yang berkunjung ke kecamatan itupun tak lepas dari pecel.
Sontak saja kebijakan ini membuat warung mbok Ti kebanjiran pembeli. Semua orang berlomba membeli pecelnya dan tak jarang bahkan meminta izin untuk belajar membuat pecel darinya. Warung pecelnya mendapat peringkat terlaris paling tinggi di banding warung yang menjual makanan lain. Bahkan mbok Ti berencana membuka kedai baru sebagai perluasan agar dapat menampung semua peminat. Tak lupa, mbok Ti juga menambah jumlah belanjaan agar mampu memenuhi permintaan yang kian tinggi karena kebijakan pak Camat tersebut. Hal ini dilakukan karena mbok Ti khawatir pembeli akan mencari warung lain yang tiba-tiba saja menjual pecel karena iri melihat potensi pasar yang begitu besar. Warung–warung baru tersebut tentu belum terjamin mutunya dan berpotensi merusak citra pecel yang sedang naik daun.
Rencana memperluas kedai dan menambah produksi tentu menimbulkan kerepotan tersendiri untuk mbok Ti dan kang Kus. Mereka harus memperlebar warung, menambah bumbu dan sayuran, menambah jumlah piring dan sendok hingga sampai harus merekrut beberapa karyawan baru untuk membantunya. Merekapun harus melatih karyawan baru tersebut agar memenuhi kualifikasi dalam membuat pecel sesuai dengan standar rasa yang digariskan, dan sesekali melayani permintaan semacam wawancara dari pembeli yang ingin mengetahui perkembangan program pak Camat ini. Belum lagi biaya untuk memperbesar bisnis ini ternyata lumayan besar juga. Merekapun harus bekerja ekstra keras dan mulai menggunakan teori efektivitas dan memperhitungkan besaran modal yang mereka keluarkan apakah sebanding dengan potensi pendapatannya. Tapi toh, mereka rela melakukan kerja ekstra itu karena sadar peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Peluang ini bisa jadi takkan pernah ada lagi karena, kata orang, keberuntungan macam ini tidak akan datang dua kali.
Di balik semua itu, ternyata memang karakter suami-istri penjual pecel itu, yang orang jawa tulen, tak mudah hilang begitu saja. Sebagai orang jawa, mereka dididik untuk selalu ingat dan waspada akan setiap perubahan yang dibawa oleh sang waktu. Mereka, sekalipun disibukkan dengan kerja keras melayani pembeli, tetap selalu bersyukur atas limpahan anugrah ini sembari tetap tidak lupa diri. Entah berfikir secara modern tentang teori peluang pasar ataukah berpikir tradisional yang berdasarkan sikap nrimo ing pandum, mbok Ti dan kang Kus sepertinya sadar bahwa perubahan ini tidaklah kekal dan akan disusul dengan perubahan-perubahan yang lain. Mbok Ti dan kang Kus juga sadar, bahwa mereka tidak tahu sampai kapan kebijakan pak Camat ini akan terus berjalan dan efektif dilaksanakan. Mereka juga tidak tahu motif apa yang membuat pak Camat memerintahkan hal ini (mendekati pemilu yang sebentar lagi tiba, perilaku pemerintah memang sukar di tebak. Dan semua orang tahu, sekalipun pegawai negeri dilarang berpolitik, pak Camat adalah simpatisan golongan tertentu). Mbok Ti dan kang Kus juga sadar bahwa seenak apapun pecelnya, tentu lidah orang akan jengah juga jika setiap hari disuguhi pecel melulu.
Semua itu membuat suami-istri ini tidak membabi buta dalam mengembangkan institusi warung pecelnya. Mereka tidak mau kapiran karena termakan oleh perubahan zaman. Jika sewaktu-waktu kebijakan ini dicabut karena diganti dengan kebijakan lain atau karena dianggap sudah tidak relevan lagi atau karena didemo penjual lain yang iri, mbok Ti dan kang Kus tetap akan bertahan dan tidak terlalu merugi atau bahkan mengalami post power syndrome. Mereka tetap melandaskan kemajuan warung mereka berdasarkan naluri kerendahhatian sembari takut untuk membayangkan berapa kerugian yang harus mereka tanggung karena telah membelanjakan dengan tanpa pertimbangan seluruh modal dan tabungan mereka untuk memperluas warung, membeli piring dan sendok dan menrekrut karyawan serta melatihnya.
Siang yang panas ini, saya berkesempatan mencicipi pecel mereka. Lantas entah mengapa, tiba-tiba saja saya teringat jajaran pimpinan sekolah tinggi nun jauh disin(i) yang sedang getol mencoba membuka lapak-lapak baru untuk didatangi para calon mahasiswa dan para guru dan para guru yang sedang bersukahati menanti-nanti berkah sertifikasi.*** (12-Jan-2008)

Sabtu, Mei 17, 2008

Demokrasi, Islam, dan Negara Kita

Maaf sudah sekian lama saya tidak ikut nimbrung diskusi di blog ini, banyak gawean dan lagian internet di kantor saya belum conect.

Sebenarnya diskusi akan lebih menarik tentang demokrasi dan Islam (ini sedikit menanggapi posting yang “menyoal” hal itu sebelumnya), tapi sayang sekali penanggap yang saya yakin masih memiliki kaitan genealogis dengan kelompok hizbut tahrir, ikhwan al-muslimin dan teman-temannya tidak menggunakan kaidah debat dan adu argumentasi yang ilmiah, hingga sulit menemukan poin apa yang sebenarnya ditentang, dikritik, dan menjadi solusi. Seakan yang dikemukakan adalah sebuah orasi kebenaran mutlak yang harus diyakini kebenarannya oleh siapapun dalam hal apapun. Ini naif bagi saya.

Sebuah dialog akan terbangun dengan bagus jika didahului oleh keinginan untuk mencari sebuah kebenaran, bukan pembenaran. Termasuk mesti diniati dengan keterbukaan diri, bukan sekadar mempersiapkan argumentasi defensif untuk menang. Keinginan mencari kebenaran bukan berarti tidak yakin dengan kebenaran yang diyakini, tapi tetap membuka kemungkinan-kemungkinan bahwa kita baru sedikit mencecap kebenaran, dan masih ada kebenaran lain yang lebih luas, dalam, dan mendasar. Jadi adalah sebuah kerendah hatian, bukan kesombongan.

Jika berangkat dari bahasan Islam, maka saya meyakini sepenuhnya kebenaran Islam saya, namun bukan berarti saya mentup diri dari kebenaran universal yang ada dan tumbuh dari yang selama ini dianggap bukan Islam, misalnya Barat, termasuk filsafat. Bagi saya Islam adalah universal, rahmat bagi seluruh alam ini, Timur dan Barat, semuanya tanpa terkecuali. Filsafat adalah proses berpikir, dan berpikir itu sangat Islami sekali. Al- Quran sangat menganjurkan berpikir bukan? Berfilsafat. Islam sepemahaman saya, tidak ada suatu apapun di dunia ini yang tidak ada dalam rengkuhan Islam.

Demokrasi apalagi, secara substansial ia sangat Islami. Dalam urusan pemerintahan, strategi perang, sosial-masyarakat, rasul mengambil pendapat dari para sahabat, ini adalah bentuk demokrasi sederhana bukan? Memang bagi yang intens mempelajari hubungan negara dan Islam, tentu tahu terdapat dua pendapat, yakni demokrasi bagian dari Islam sejak sononya, dan Islam bagian dari demokrasi. Apapun itu, bukankah demokrasi merupakan ijtihad politik tatanegara? Sebagaimana kehalifahan, imperium Umayah, Abbasiyah, sampai Turki Utsmaniyah. Bukankah wilayah menata negara dan masyaarkat ada pada ruang-ruang ijtihan manusia? Tunjukkan pada saya kalau memang Allah memerintahkan umat Islam untuk membentuk kerajaan, republik, atau demokrasi, sejauh pengetahuan saya tidak ada. Yang Allah perintahkan adalah tetap berbegang pada hukum-hukum Allah (hablu minnallah).

Memang saya agaknya mulai menemukan simpul-simpul kecil –sebagaimana penelitian skripsi saya- bahwa para “intelektual” dari kalangan Islam kanan dalam mengembangkan keilmuannya lebih pada “meneguhkan” yang telah ada, bukan memberikan “pencerahan” baru, menerobos tabir-tabir kelam dan kemudian memberikan sesuatu alternatif solutif. Coba lihat saja argumentasi, landasan teori, dan hasil karya mereka; lebih banyak meneguhkan apa yang telah digariskan oleh para pendahulu mereka, sedikir saja yang berani mengkritisi dan kemudian membuat bangunan baru teori, konsep, solusi, berdasarkan pada nash-nash yang ada.

Dus, saya sangat apresiatif sekali jika diskusinya menjadi lebih terfokus, terarah, dan jelas dengan keterbukaan-keterbukaan, bukan dengan stereotype negatif, jangan ada prasangka terlebih dahulu. Sedikit simpul yang saya temukan di depan ndak bisa dikatakan prasangka, karena sudah ada bukti, data, faktanya; klo gak percaya ya coba observasi makalah, paper, artikel, buku dan hasil penelitian dari kalangan Islam kanan.
Ini sekadar memancing diskusi lagi, masak saya sampai sekarang tidak mendapatkan pencerahan dari teman-teman Islam kanan.... justru saya senang berbincang dengan pak Amin Ma’ruf (MUI) yang sistematis dan logis, dan beberapa kalangan Islam kanan lainnya.

Jika mau berdebat soal konsep negara dan Islam, yang meniscayakan membincangkan ideologi-ideologi kontemporer nasionalisme, transnasionalisme, dan lainnya. Silakan kemukakan konsep kenegaraan ideal yang Anda yakini kebenarannya, dan mungkin kewajiban mendirikannya, misal khilafah Islamiyah, atau apalah namanya. Kemudian dianalisis kritis, dengan kritk sejarah bentul-bentuk pemerintahan yang telah ada termasuk yang lahir di Timur Tengah, Nusantara seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram Islam misalnya. Termasuk juga kritik hermeneutik teks-teks keagamaan (al-Quran dan hadits) yang dirasa merupakan legitimasi yuridis formal Islam untuk mendirikan konsepsi ideal negara tersebut. Itu baru diskusi sip, jangan cuma argumentasi emosional debat kusir saja.

Oh, iya sedikiti catatan saya dari Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki (16/5/08) kemarin; di antara yang hadir ada Bang Rizal Ramli yang “secara rahasia” dituding oleh BIN menunggangi protes mahasiswa atas BBM, beliau dengan tegas mengatakan tidak ada itu. Justru yang patut dicurigai –dan ini sudah ada data faktanya- kebijakan pemerintah tersebut lebih banyak ditunggangi kepentingan politik dan korporasi daripada membela rakyat. Kawan-kawan mahasiswa ada banyak cara yang dapat ditempuh selain menaikkan BBM untuk menyelamatkan APBN dan APBN Perubahan (APBN-P). Minyak kita berlimpah tapi diekspor terus hingga dalam negeri kehabisan stok, yang untung yang ekspor, dan harganya dipatok oleh Singapura. Kenapa mesti diekspor, itu karena tekanan global dan Pertamina dibodohi bahwa minyak mentah Indonesia hanya dapat diolah dengan campuran minyak dari luar. Akan lebih efisien jika memperbaiki kilang minyak kita, hingga dapat mengolah sendiri untuk terutama memenuhi kebtuhan dalam negeri.

Tak hanya itu, 30 persen APBN kita digunakan untuk mencicil utang luar negeri, dan sisanya digunakan untuk banyak sektor. Bidang pendidikan misalnya, itu cuma sisa dari biaya untuk bayar utang, dan ironis yang diutamakan bayar utang adalah bayar bunganya saja. Rasanya di 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia, negara kita kayak temen-temen mahasiswa hehehe.... yakni, klo gak ada duit jual jeans, baju, HP, lha negara kita jual BUMN, klo gak punya duit ya utang...negara kita utang luar negeri, dan klo sudah mentok ya naikin harga.... itu karena ekonomnya semua dari Berkeley, mulai Widjojo dulu sampai Sri Mulyani, Boediono, dll. Lalu apa yang mesti dilakukan sahabat-sahabat.

Okey....lanjutkan diskusinya, tentang negara, Islam, dan ....semuanya

Edi Subkhan, penulis.

Senin, Mei 12, 2008

Dari Aktivis, Beasiswa, Sampai Pertukaran Mahasiswa

Beasiswa, secara etimologi berasal dari kata “bea” dan “siswa”. Dari pepatah ”jer basuki mawa bea”, dapat di mengerti bahwa bea adalah pembahasaan jawa dari kata biaya, cost, ongkos, dan lebih konkritnya adalah uang. Sedangkan ”siswa” telah banyak dipahami sebagai orang yang menuntut ilmu di institusi formal yang disebut sekolah. Bukan hal yang mengherankan jika pada saat ini beasiswa menjadi hal membuat banyak mahasiswa (UNNES) menggerutu, karena pada dasarnya penempatan istilah tersebut memang kurang tepat. Beasiswa diperuntukkan bagi siswa, bukan mahasiswa. Siswa adalah pelajar tingkat TK, SD, SMP, dan SMA. Pada perguruan tinggi, istilah lain yang digunakan adalah mahasiswa, menyiratkan kesan (kesombongan?) lebih dari sekedar siswa. Tak jauh berbeda dengan sebagian dosen yang tak mau disamakan denga guru, secara implisit terlihat dari ”UU Guru dan Dosen”. Kenapa bukan ”UU Pengajar” saja, atau tak perlu ada UU. Bukankah semakin banyak peraturan, dalam hal ini Undang-undang, menunjukkan kesulitan masyarakat kita untuk bisa tertib?

Bukan hal yang urgen jika terus berpanjang-lebar dalam permasalahan di atas. Yang jelas, beasiswa telah menimbulkan polemik bagi mahasiswa. Ketika beasiswa terkesan dikuasai oleh para aktivis, bukan hanya penguasaan sosialisasi informasi, tetapi lebih dari itu. Tindak lanjut dari kekreatifan pemanfaatan celah ini adalah hadirnya pseudo-aktivis, yang tercantum tapi tak aktif, atau meminjam bahasa Utopia ”antara ada dan tiada”. Padahal, sejatinya beasiswa terbagi ke dalam beberapa kategori, sebut saja beasiswa prestasi, beasiswa aktivis, dan kategori lain yang memudahkan calon pengaju permohonan untuk menimang dan mencocokkan dirinya pada kategori yang sepantasnya. Sudah ada banyak kamar yang disediakan, dan masing-masing kamar bisa dimasuki oleh orang-orang yang memegang kuncinya. Persyaratan masing-masing kategori adalah kunci dari kamar beasiswa tersebut, sehingga perasaan terdiskreditkan tak harus membelenggu salah satu pihak.

Permasalahan selanjutnya adalah pemanfaatan beasiswa bagi mereka yang mendapatkan. Beasiswa diharapkan bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang menunjang proses pendidikan mahasiswa. Membayar SPP bulanan, membeli buku-buku kuliah, adalah sedikit hal yang sebenarnya menjadi sasaran pemanfaatan beasiswa. Namun jika mentraktir teman, membeli aksesoris macam kosmetik, handphone, mempertebal dompet uang saku, dilihat sebagai hal yang menunjang kegiatan belajar-mengajar, mungkin saja hal semacam itu memang pantas dilakukan. Dengan penyusunan skala prioritas seperti ini, sudah semestinya beasiswa menimbulkan polemik dan kecemburuan sosial dari pihak yang merasa terdiskreditkan.

Tertaut dengan beasiswa, program lain yang ditujukan bagi pengembangan mahasiswa adalah pertukaran pelajar. Sebagai salah satu bentuk nyata dari sebuah kerjasama antar Perguruan Tinggi yang tertulis dalam hitam di atas putih, pertukaran pelajar menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar biaya belajar. Lebih dari itu adalah tawaran pengalaman, tanpa melupakan adanya beberapa percik gengsi dan kebanggaan di sana. Namun tak berbeda dari permasalahan beasiswa, monopoli informasi dan ”permainan kecil” yang sering dituduhkan mungkin memang benar-benar ada, mungkin juga tidak. Tetapi yang jelas rumor kepergian beberapa orang penting dalam kerajaan mahasiswa UNNES sudah bisa sedikit berbicara mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan tidak menutup kemungkinan akan ada ekor permasalahan terkait dengan apa yang dinamakan politik.

Jika ratusan tahun lalu Voltaire mengatakan ”dalam segala hal yang berkaitan dengan uang, semua orang mempunyai agama yang sama”, maka polemik yang terjadi memang tak (mungkin) harus selesai.
Hidup Mahasiswa!

Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi FIP UNNES

Minggu, Mei 11, 2008

Korelasi Angka dan Senyum

Jika judul semacam ini diajukan dalam kontes penelitian karya ilmiah, skripsi, ataupun sekedar tugas akhir semester, mungkin akan langsung tertolak bahkan sebelum mentah-mentah. Memang tidak ada korelasi yang jelas antara dua hal tersebut, atau lebih tepatnya hal yang kurang spesifik dan jelas jika harus ilmiah. Lagipula demi mengejar sebuah kejelasan pada akhirnya kreatifitas yang tak dibarengi dengan keberanian mulai sekarat (atau terbunuh?) dalam korelasi dan komparasi variabel yang secara ”sederhana” telah selesai dengan salah satu software komputer. Di sisi lain, kehadiran software tersebut juga telah menghemat keringat banyak orang yang biasa keluar ketika berkutat dengan pena dan perhitungan deskriptisasi data angka juga anava. Entah sebuah efektivitas waktu, atau cerminan kemalasan.

Belum terlepas dari ihwal di atas, angka adalah bahasa kejelasan sehingga peranannya termasuk dalam salah satu unggulan dalam lintasan balap sejarah. Semacam plesetan matematika-nya tukang foto, 2 x 3 = 10, adalah hal yang tidak bisa dibenarkan oleh disiplin matematika. Tetapi terdapat ”kebenaran” lain yang terungkap dari gurauan tersebut, bahwa zaman ini menginginkan semua hal yang singkat dan jelas. Salah satu jargon iklan bahkan mengatakan ”yang pasti-pasti aja deh!”, sesuatu yang lebih tinggi dari singkat maupun jelas, yaitu kepastian. Maka tak heran jika pada akhirnya keinginan kejelasan dan kepastian menyublim dalam popularitas mie instan dan software komputer itu. Sampai di sini, apakah arti kejelasan dan kepastian, jika pada akhirnya hanya menetapkan langkah pada jalur stagnasi dengan membunuh kreatifitas?

Nilai dan Pelajar
Nilai merupakan hal yang akrab bagi seorang pelajar. Sedari Taman Kanak-kanak pelajar mulai dikenalkan dengan nilai, dan setelah puluhan tahun ”bergumul mesra” dengannya, tak heranlah jika keakraban terjalin antara keduanya. Entah pada mulanya, tapi sekarang ini (setidaknya menurut pengalaman pribadi penulis) nilai menjadi hal yang teramat penting yang menggeser posisi pemahaman, kejujuran, dan kemandirian. Terlihat dari proses perolehan nilai, baik melalui tugas ataupun tes evaluasi, selalu ada ketidakjujuran dan ketidakmandirian di sana. Yang terjadi bukan sekedar permasalahan menyontek atau apapun istilahnya, lebih dari itu adalah mentalitas menerabas, kata Koentjoroningrat, yang semakin menjadi demi kesakralan beberapa digit angka. Hal lain yang tak kalah penting adalah dalih-kilah solidaritas dan kebersamaan yang seringkali digunakan, seperti menunjukkan usaha pembenaran atas sesuatu yang berdampak buruk dalam jangka panjang, mengindikasikan ketidakberanian untuk bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan sendiri.

Keterkaitan Sebuah Senyuman
Secara umum, senyuman adalah ekspresi kesenangan hati, yang disebabkan tidak adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara das sollen dan das sein. Kenyataan tidak memungkiri bahwa semua pelajar menginginkan nilai yang bagus, tetapi dengan penurunan makna sebuah nilai, senyum yang timbul dari perolehan nilai bagus tersebut tak lebih dari sekedar ekspresi kebanggan yang semu.

Senyum lain mungkin tersungging dari pihak yang telah ”mengatur” keadaan sehingga menempatkan pelajar pada posisi yang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Para perumus jargon pendidikan yang terkesan tak bisa lepas dari belenggu ideologi manusia super, membuat implementasi pendidikan terkesan hanya agar dapat lulus ujian dengan nilai dan angka-angka. Mungkin mereka memang tak bermaksud menjawab pertanyaan Abraham Maslow tentang mengapa pendidikan (kita) hanya mencurahkan perhatian pada angka-angka, bukan pada pemahaman?

Ahmad Fahmi Mubarok.

Rabu, Mei 07, 2008

WAJAH DEMOKRASI KITA


Dewasa ini masih sah diyakini bahwa masa transisi demokrasi Indonesia hanya berjalan secara prosedural dan rapuh. Demokrasi tidak di barengi dengan tegaknya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yakni kebebasan, persamaan, dan kedaulatan mayoritas. Demokrasi menjadi instrumen abstrak yang oleh kalangan elite telah dilupakan dan malah terkadang di pakai hanya sebagai komoditas bagi target pencapaian kepentingan mereka. Dengan dalih demokrasi, elite penguasa menetapkan sistem yang menyulitkan bagi perkembangannya demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil melalui hukum negara. Tak heran kita dengan diskriminasi yang terlihat pascapenetapan beberapa produk perundang-undangan mulai dari Perpres 36 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sampai pada belakangan ini terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah dimana regulasi tersebut banyak kalangan menilai kontra-demokrasi.

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali dasar-dasar pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi dan persamaan di depan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk bisa secara pantas disebut demokratis.
Persoalan kekerasan yang acapkali muncul mulai dari inkonstitusionalis pemerintah, dan lemahnya penegakan hukum (rule of law) di segala sendi kehidupan. Banyaknya kasus korupsi yang terungkap, menandakan lemahnya penegakan di masa lampau, dan justru saat ini banyak kalangan yang menilai pemberantasan korupsi hanya tebang pilih.

Menengok kebali istilah demokrasi menurut asal kata "rakyat berkuasa" atau goverment as rule by the people, kata yunani demos berarti rakyat, kratos/ kratien berarti kekuasaan/ berkuasa mengingatkan kita pada slogan superior mantan presiden Amerika Abraham Lincoln bahwa demokrasi for people, by people, and to people. Namun memang disadari bahwa sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota city state Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M merupakan demokrasi langsung, direct democracy yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak sesuai dengan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas negara terdiri kota dan daerah sekitarnya serta jumlah penduduknya sedikit 300.000 penduduk dalam satu negara-kota. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas terdiri dari dari budak belian dan pedagang asingh tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative demokcracy).

Saat ini demokrasi terintrodusir ke dalam sistem negara, dengan juta-an manusia, luasnya sumber daya, dan beragamnya kepentingan. Akankah demokrasi menaui kesuksesannya pada zaman aristokrat bercengkerama dengan idea dan kehidupan kenegaraannya ribuan tahun silam? Lalu, bagaimana kadar dan ukuran demokrasi sebenarnya?. Dan tentunya masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan pertanyaan ditujukan pada nasib demokrasi tanah air ini kedepan.



Belajar dari Mountiesque

Kasus KPK Vs DPR RI mengingatkan kita pada sengketa lembaga Negara yang dulu pernah terjadi saat KPK berseteru dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum dan lembaga Negara yang lain. Kompleksitas muncul tatkala kita mendiskursuskan konflik lembaga Negara tersebut dari berbagai kacamata hukum, politik, social dan lain sebagainya. Namun sebuah pikiran sederhana bahwa konflik lembaga tak akan pernah terjadi bila lembaga ini memang sadar akan peran dan tugasnya berdasarkan prinsip pembagian kekuasaan Negara.

Mountiesque mengkonstatasikan legislatif, yudikatif, dan eksekutif terbagi untuk menjalankan roda kekuasaan Negara. Gagasan dasar ini mengingatkan penting sebuah harmonisasi negara dan sinergisitas kearah cita bangsa yang bersangkutan. Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian tujuan ideal suatu bangsa, sebagaimana halnya bila bangsa Indonesia cita tersebut termaktup dalam pembukaan Konstitusi Dasar Negara.

Pembagian kekuasaan ini bukan dibuat untuk kemudian berselisih antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Namun pembagian kekuasaan ini semata-mata untuk menciptakan system yang dapat dengan mudah, cepat, dan tepat menwujudkan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Check and balances hanya diperuntukkan bagi pembentukan budaya pemerintah yang baik (good government) dan kuatnya masyarakat sipil (the civil society). Hakekat utamanya pada pewujudan cita bangsa yang ideal.

Sialnya, pemikiran Mountiesque hanya berlaku bagi lembaga negara yang sadar, cerdas, dan sehat. Pembagian kekuasaan berjalan baik dengan dukungan lembaga berikut aparatnya yang professional, proporsional dan jujur. Wacana pembubaran KPK oleh sejumlah oknum DPRD atas aras bahwa lembaga Negara watch dog tersebut sudah super body tidak patut di laksanakan di kehidupan masa transisi demokrasi seperti sekarang ini.


Belajar dari Tocqueville

Democracy in America sebuah buku yang di tulis Alexis de Tocqueville aristocrat sekaligus sosiolog Prancis, telah memberikan banyak pelajaran tentang demokrasi dari tinjauan filosofis hingga ke elemen teknis. Pada dasarnya Tocqueville sama halnya dengan penulis kenamaan lainnya seperti Kant, Hegel, hingga zaman Plato, Scorates, dan Aristotelis, yakni prinsip mayoritas yang diutamakan. Namun keunikan tulisan Tocqueville terletak pada komprehensifitas dan objektifitas pandangan terhadap demokrasi di Amerika. Bila di bandingkan, minimal terdapat sekian perbedaan antara tradisi demokrasi Amerika dan Indonesia. Pertama, kemandulan legislative, lembaga ini hanya menjalankan tugas balita yang mudah bisa dilakukan dengan sumber daya dan watak manapun. Bukti kemandulan interpelasi dan angket merupakan fakta outentik bahwa lembaga ini gagal menjalankan fungsi control dan pengawasannya. Bahwa saduran habis system ketatanegaraan amerika yang di tandai dengan Kongres di Amerika sendiri mempunyai 2 lembaga yang jika mereka bertemu dalam suatu tugas dan wewenang tertentu disebut Kongres. Kongres terdiri atas 2 lembaga yaitu House of Representative dan Senate. Sama halnya manakala Indonesia memiliki MPR RI berikut DPR RI dan DPD RI-nya. Namun legislative Amerika konsisten menjalankan fungsinya, yakni Passes federal laws. (Menyetujui Undang-Undang federal). Passes federal budget, levies taxes and funds executive functions (Menyetujui anggaran federal, pajak dan fungsi keuangan eksekutif. Establishes lower federal courts, judicial positions (untuk membuat peradilan rendah federal, menentukan posisinya. Approves treaties and federal appointments (menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan pejabat federal. Declares war (menyatakan perang).

Kedua, Reformasi system peradilan diperlukan mengingat system peradilan Indonesia yang banyak menganut system eropa continental yang ortodoks ketimbang anglo saxon yang masih menempatkan mayoritas –juri- sebagai pengambli keputusan siding. Pendeknya, demokrasi tak hanya di tegakkan di dalam kehidupan social politik, namun juga lebih pada kehidupan hukum negaranya.

Ketiga, Kebebasan pers harus semakin luas. Kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya. Di Indonesia kebebasan pers baru saja muncul 10 (sepuluh) tahun terakhir ini. Belum genap dan bulat penuh, kebebasan ini beberapa kali diterpa dengan berbagai kejadian dan peristiwa besar, mulai dari regulasi hukum antipornografi dan antipornaksi sampai pada terakhir terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 yang disinyalir juga memasung kebebasan pers.

Keempat, partai politik yang berfungsi sebagaimana mestinya. Partai Republik dan Partai Liberal melakukan aktivitas politiknya. Partai menjalankan fungsi sosialisasi, recruitmen, dan pendidikan politik di jalankan dengan baik oleh Amerika. Terutama mereka calon pejabat publik yang direkomendasikan oleh partai, benar-benar seorang yang kompeten dan kapabel hasil dari uji validasi oleh partai dan simpatisan melalui pemilihan pendahuluan (primary). Berbeda dengan partai di republic kita yang di sana-sini sibuk dengan kepentingan praktisnya bahkan acapkali masih terdengar praktek dagang sapi.

Artikel Diskusi Klas Demokrasi yang ditulis oleh Awaludin Marwan, SH

Menyoal Regulasi Pemilu Legislatif


Selain kontroversi persoalan pengaturan pers di dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, ternyata sejumlah kalangan juga menilai banyak kelemahan-kelemahan lain di dalam regulasi tersebut. Diantaranya sistem pemilihan yang masih rapuh, netralitas Aparat Pemerintahan yang masih dipertanyakan, pencekalan riset dan jejak pendapat dan lain sebagainya. Kelemahan ini menandai krisis langkanya niat baik (good will) perilaku elite dalam mendorong kehidupan demokratis yang lebih baik.

Naluri perebutan kekuasaan untuk kepentingan kelompok mengarahkan pada suasana oligarkhis yang kental ketimbang rasa keperpihakkan pada kepentingan khalayak rakyat. Arah perubahan politik melalui regulasi menjadi pilihan instan untuk meluapkan syahwat kekuasaan dan kepentingan elite ini.

Syahwat elite inilah yang berindikasi memberangus kebebasan pers melalui regulasi pemilu legislatif kali ini. Perbuatan ini sungguh sebuah upaya yang kontrademokrasi. Belajar Demokrasi dari Amerika melalui buah pemikiran dalam buku Democracy in America yang di tulis Alexis de Tocqueville aristokrat sekaligus sosiolog Prancis, menjelaskan bahwa kebebasan menulis, menginformasikan sesuatu secara etis, mempublikasikan data di Amerika cukup di akui keberadaannya bahkan dilindungi.

UU No. 10 Tahun 2008 mengpupuskan harapan pers yang bebas untuk menginformasikan, memberitakan dan justru membonsai fungsi pers sebagai sarana komunikasi politik rakyat. Kententuan bagian keenam tentang pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye UU No. 10 Tahun 2008 menyimpan sederatan pasal yang menjadi embrio persoalan dari perbedatan ini. Pasal 89 ayat 5 yang melarang penyiaran kampanye di masa tenang, pasal 90 dan 91 yang mewajibkan berlaku adil dan berimbang, pasal 92 yang mengatur terlalu rijit bentuk siaran monolog dan dialog kampanye, pasal 93 dapat mengganggu kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa, Pasal 94 melarang media menjual blocking segment atau blocking time, hingga pada penjatuhan sanksi oleh pasal 99 berupa : teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Sanksi untuk media hingga pada pembekuan dan pencabutan izin, mengingatkan kita pada modus operandi penguasa lama memberlakukan kalangan pers secara tidak adil. Kebasan pers terpasung, tinggal ketakutan dan kegelisahan saja yang melanda saat insan pers untuk berkreativitas dan berekspresi dalam pentas demokrasi –pemilu 2008- mendatang.

Kembali kepada kententuan regulasi pemilu untuk pers, dua hal yang cukup subtansial patut direnungkan kembali. Pertama, pengaturan tersebut dari konteks “ada” masih menuai banyak argument. Sebagian kalangan menilai bahwa peraturan tersebut tak harus ada, bahkan jangan sampai ada. Alasannya antara lain karena pengaturannya sudah terakomodir di dalam UU Pers.

Namun sisa pendapat yang lain menegaskan perlu aturan yang konkret untuk memperjelas aturan main (rule of the game) pemilu mendatang. Alasan kedua tidaklah masih akal, mengakibatkan tumpang tindihnya aturan hukum, sehingga tidak adanya kepastian hukum. Kedua, kerawanan berlanjut dengan ragamnya hemenuetika yang akan berkembang, banyaknya penafsiran bisa saja kententuan tersebut jauh dari tujuan awal bahkan dapat di salah gunakan. Implikasinya, masyarakat pers dapat menjadi sasaran empuk bagi mafia politik yang ingin merengut kebebasannya dengan pasal-pasal karet tersebut.

Netralitas Aparat

Terselenggaranya asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government) hanya menjadi impian saja saat ini. Pasalnya, semenjak terbitnya UU No. 10 Tahun 2008 praktek penyalahgunaan jabatan publik terbuka bagi kampanye yang melibatkan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, dan Wakil Walikota. Dengan persyaratan “cuti”, penjabat publik dapat berpartisipasi dalam kampanye, dukung-mendukung peserta pemilu. Kententuan ini membuka peluang bagi penyalah gunaan fasilitas, pengaruh, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan guna kepentingan kampanye.

Sebagai penjabat publik, selayaknya posisi netral patut diambil dalam hal ini untuk menjaga kondusifitas iklim politik dan menciptakan keadilan bagi semua peserta pemilu. Kententuan ini mengisyaratkan bahwa elite pembentuk perundang-undangan tersebut memiliki tabiat agar perebutan dan mempertahankan kekuasaan dengan mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kepala daerah kadernya dan memberi sinyal kepada kadernya tersebut untuk menanggalkan tugas-tugas pemerintahannya demi kepentingan partai/ peserta pemilu.

Kententuan ini juga menandai bahwa ambisi partai yang dulu berkuasa ingin mempertahankan kekuasaannya dengan bertaruh pada pemilihan kepala daerah secara langsung. Karena logikanya partai yang berkuasalah yang memiliki stok kader di jabatan kepala daerah, karena kendaraan pencalonan kepala daerah kebanyakkan dimiliki oleh partai-partai besar.

Regulasi ini menghambat pembangunan pewujudan pemerintahan yang baik (good government). Salah satu indikator pemerintahan yang baik (good government) berdasarkan fatwa , United Nation Development Program (UNDP: 2003) mengharuskan adanya persamaan (equality), dengan demikian penjabat pemerintahan berikut jajarannya dalam konteks pemilu harusnya wajib memberlakukan peserta pemilu dengan adil, berimbang, dan sama. Persamaan (equality) sangat sulit diwujudkan tatkala penjabat pemerintahan kemudian ikut sebagai elemen atau agen pemenangan salah satu / kelompok peserta pemilu, maka tidak akan pernah mungkin mereka dapat berlaku adil terhadap semua kontenstan yang lain.


Kembali ke Masa Kegelapan

Perlu kembali ditelaah persoalan yang berkaitan dengan kententuan yang mengatur survei, jejak pendapat dan perhitungan cepat (quick count) di dalam regulasi pemilu legislatif. Salah satu bentuk pengaturan, pelarangan, bahkan ancaman pemidanaan (kriminalisasi) jelas akan memasung cendiawan dan ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengabdiannya terhadap kehidupan politik. Kita teringat kembali dengan zaman kegelapan di mana ilmu pengetahuan di tekan dan ilmuwan dikerdilkan hasil buah pikirannya dengan simbol kekuasaan absolute.

Masih teringatkah kita dengan Galilea Galileo yang di hukum gantung karena mempertahankan kebenaran bahwa bumi itu bulat. Namun pada akhirnya di ketahui kenyataannya bahwa pemikiran Galileo tersebut benar adanya. Kekuasaan absolute memberanguskan kebenaran pemikiran bahkan menghilangkan intelektual-inteletual seperti Galileo untuk terus beraktualisasi dengan alam pikirannya melalui tindakan yang tidak manusiawi.

Begitu halnya dengan pengaturan dan pelarangan sebagaimana yang disebutkan dalam kententuan regulasi pemilu legislatif ini. Para inteletual sebelum menjalankan mandat sosial karena pemikiran dan pengetahuan yang dimilikinya, lantas terbayang-bayangi oleh kententuan yang menghambat pengembangan pemikiran dan aktivitasnya tersebut. Bahkan kententuan pidana layimnya membuat kepanikkan dan kegelisahan yang menyumbat kreatifitas para inteletual bangsa ini.

Melihat berbagai ulasan diatas, sebuah resolusi lahir dengan upaya yang salah satunya berada di jalur hukum dengan judicial review untuk merevisi regulasi tersebut sebelum berbagai kententuan di dalamnya dilaksanakan pada pentas demokrasi mendatang. Revisi ditujukan pada penghapusan pengaturan terhadap pers dan survei, jejak pendapat, perhitungan cepat (quick count). Revisi juga diperlukan bagi pembaharuan sistem pemilihan yang prokepentingan rakyat dan kententuan yang menciptakan netralitas aparat pemerintahan.


Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

Senin, Mei 05, 2008

Kebumen, Kebersahajaan Kota Tanpa Semoga

Entah bagaimana sejarah penamaan kota ini, mungkin berasal dari kata “kebo menek” (kerbau yang memanjat), atau mungkin saja “kabumen” (semacam acara sedekah bumi). Tapi yang jelas tulisan ini tidak akan membahas itu. Kota yang terletak di sebelah barat daya kota Purworejo ini bukanlah kota yang kaya, bahkan menurut keterangan yang semoga saja tidak benar, bahwa kebumen adalah kota yang berpenghasilan per-kapita urutan nomor dua dari bawah di seluruh wilayah Jawa Tengah. Wajar saja, di sana tidak terlihat adanya pabrik seperti kota Kudus, ataupun pertanian bawang merah seperti kota Brebes. Hanya usaha genteng yang masih kalah populer dari kerajinan ukir kota Jepara. Dalam hal pariwisata, kota ini juga masih kalah jauh dari Magelang yang mendunia dengan candi Borobudur, juga tak se-santun stereotip yang dilekatkan pada Surakarta. Lalu apa yang menarik dari secuil wilayah Kedu ini?

Lambaian matahari pagi hari Selasa lalu mulai menyeruak menyapa Kebumen, setelah malam sebelumnya dibuai dalam ruang rindu Letto. Tak berbeda dengan semua kota di dunia, warga kota ini mulai melakukan rutinitas hariannya. Hanya saja, rutinitas pagi tanpa dimeriahkan kepulan asap mesin-mesin modern, tawa dan gurauan renyah pelajar sekolah di atas sepeda onthel mereka, paling-paling tetesan keringat yang dianggap ”mencemarkan” bagi orang-orang metropolis pecinta ”kebersihan”. Tentu saja bukan tak ada hitam karbon monoksida, tetapi nuansa seperti itu, yang hampir tak lagi ditemui di Semarang. Tegang-regangan otot kaki yang mengayuh sepeda, bukan sepeda elit macam polygon ataupun pacific, tetapi sepeda jengki yang sebagian orang sudah malu untuk memakainya. Hal ini bukan terbatas pada para pelajar SD, bahkan siswa SMP dan SMA yang sudah mulai mengenal gengsi, yang jika hidup di Jepara pasti sudah merengek minta dibelikan sepeda motor keluaran terbaru, juga memakainya (tidak semua memang, kebumen bukan tak tersentuh pengaruh budaya ”anak gaul”). Dan lagi-lagi, nuansa yang sudah jarang (tidak lagi?) ditemui di Semarang.

Ketika malam datang, beberapa muda-mudi dan pasangan suami-istri beserta anak-anaknya terlihat berkayuh mesra dengan sepeda, atau jika melihat pada satu-satunya mall di sana (Rita, pasar raya) kemilau logam sepeda onthel masih banyak menghiasi tempat parkir, hal yang sama juga terlihat di Hotel Candisari (tempat transit personel Letto di malam sebelumnya). Suasana kesenyapan terasa sangat kental di sana, kota ini bukan kota yang tak pernah mati. Jarum jam baru menunjuk angka 10, sudah tak banyak kendaraan yang lalu-lalang di alun-alun kota, sangat kontras dengan suasana simpang lima Semarang apalagi di kota Jakarta nun jauh di sana.

Jawa Tengah tentu tahu bahwa Bupati kota itu sekarang ikut meramaikan bursa pemilihan Gubernur, hal yang sama dengan yang terjadi di Semarang. Jika di Semarang bahkan papan iklan di Pandanaran (kalau tak salah ingat) pun tak lepas dari pampangan foto Walikota calon Gubernur (entah bayar atau tidak), di kebumen hanya ada hanya beberapa spanduk sosialisasi cagub, itupun berdampingan dengan spanduk dari cagub lain. Kalau diadakan penghitungan resmi prosentase jumlah spanduk yang terpasang, mungkin masing-masing cagub berimbang, sama sekali tak terlihat yang satu lebih dominan dari yang lain.

Ya, dari potensi pariwisata maupun industri, Kebumen memang kalah dari Kudus, Magelang, Jepara, apalagi Semarang. Tapi nuansa kebersahajaan yang ada, kini tak tak benyak tersisa dari kota-kota itu. Nuansa khas yang tentu masih ada kota lain yang memiliki, tetapi Kebumen benar-benar menentramkan hati seorang mahasiswa rantau yang tak terbiasa dengan kayuhan pedal sepeda.

Ahmad Fahmi Mubarok

Minggu, Mei 04, 2008

Membaca Wacana Intelektual:Kritik Terhadap Paradigma Modern

| Giyanto|

Pasca perang dingin, berbagai spekulasi wacana mencoba menangkap berbagai akar permasalahan sosial yang akan muncul. Huntington, dengan keras kepala, menawarkan paradigma peradaban dalam upaya menganalisis akar konflik dunia. Sebagai tanggapan terhadap tesis Fukuyama, bahwa sejarah telah berakhir, Samuel Hutington beranggapan bahwa manusia-manusia di masa mendatang akan mati-matian membela eksistensi kebudayaannya. [1]

Memang tidak dapat disangkal, bahwa berbagai konflik yang muncul belakangan ini bersumber dari perbedaan keyakinan individu-individu dalam peradaban tertentu. Dan bahwa wacana terorisme berawal dari asumsi tersebut. Akan tetapi, memunculkan dan mendramatisir problem peradaban bukan berarti menyelesaikan ataupun menguraikan berbagai problem sosial, melainkan akan semakin mengaburkan makna dari tugas intelektual dalam mengupayakan perubahan sosial.

Alih-alih memperjuangkan kemerdekaan individu yang tertindas, wacana-wacana intelektual modern bahkan semakin mendorong kekuasaan untuk melucuti dan memperkosa kebebasan individu-individu melalui simbol-simbol baru. Atas nama agama, negara, ras, bangsa maupun ideologi bahkan melalui jargon demokrasi maupun hak asasi manusia, para penggerak wacana modern telah melupakan tugas kaum intelektual sebagai agen pembebasan.

Awal mula kegamangan ini, terutama, bermula dari belenggu pandangan universalisme serta kolektivisme dalam memandang permasalahan sosial. Kita hampir tidak pernah mempertanyakan, sudah tepatkah paradigma filosofis yang telah kita pakai sekarang ini?

Paradigma Modern: Universalisme dan Kolektivisme

Belakangan ini telah bermunculan berbagai pandangan epistemologis, baik positivisme, fenomenologi, strukturalisme, hermeneutika, materialisme historis dan dan sampai dengan postmodernisme.

Semua aliran epistemologis tersebut telah tumbuh subur dengan berbagai pengikutnya. Bagi kaum muda, berbagai alternatif pilihan tersebut telah menjadi “jalan keluar” bagi pencarian intelektual yang tidak akan kunjung berakhir. Di tangan kaum intelektual mudalah, ke depan, berbagai paradigma keilmuan tersebut akan tumbuh dan tersebar luas sebagai paradigma modern.

Apa fungsi berbagai paradigma tersebut? Yang jelas, paradigma tidak lain adalah kacamata kita dalam upaya memandang dunia. Sebuah paradigma adalah alat bagi kaum intelektual untuk membaca segala problem keilmuan serta kemanusiaan. Paradigma memberikan dasar pandangan, asumsi, cara kerja serta kriteria mengenai bagaimana kebenaran ilmiah seharusnya diraih.


Meneguhkan konsep Individu dan Tindakan dalam Kesatuan Kolektif

Sekali lagi perlu diingat, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kita membicarakan manusia serta masyarakat. Apa yang diabaikan paradigma modern ialah bahwa dirinya telah melupakan individu yang sebenarnya membentuk kolektif yang disebut keluarga, masyarakat, negara, bangsa dan bahkan peradaban. Paradigma modern berspekulasi mengenai hal-hal yang bersifat universal. Mereka melupakan arti penting tindakan individu.

Apabila dicermati, kasus wacana yang dilontarkan Hutington serta wacana-wacana sosial lainnya, masih terbelenggu oleh wacana universalisme dengan sarana analisa argumentasi historis. Seolah-olah apa yang terjadi di masa lalu akan terjadi di masa mendatang. Setiap argumentasi berdasar pada data historis. Mereka barangkali lupa, bahwa sebuah kejadian sejarah diakibatkan oleh tindakan-tindakan individu baik secara khusus, kebetulan ataupun secara khas. [2]

Jika ditelusuri, cara pandang yang demikian memang tidak lepas dari pengaruh pandangan filosofis tertentu. Studi historis yang dipakai untuk memprediksi masa depan telah menjadi ciri khas mazhab Jerman. Pandangan ini telah menyebar ke berbagai belahan dunia dan sudah menjadi keyakinan kebenaran bagi kaum intelektual modern.

Tanpa mengabaikan makna sejarah, kita patut menengok penemuan-penemuan terbaru dalam bidang yang lebih spesifik. Dalam bidang genealogi, Steve Olson dalam karyanya yang berjudul Mapping Human History, menyimpulkan bahwa pada dasarnya asal-asul manusia itu sama, yang membedakan ialah susunan DNA manusia yang telah termutasi. Mutasi adalah kunci untuk merekotruksi sejarah genetic manusia. Dengan kata lain, kesimpulan Olson adalah bahwa kita sebenarnya berasal dari nenek moyang yang sama. Perubahan-perubahan susunan DNA lah yang membuat kita berbeda. Jadi berbagai bentuk perbedaan warna kulit, budaya dan kecerdasan adalah perbedaan-perbedaan yang hanya bersifat topeng. Perbedaan tersebut tidak lain merupakan akibat dari faktor lingkungan, bukan akibat dari asal-usul genetic yang berbeda. [3]

Penemuan Olson tersebut jelas-jelas telah mematahkan wacana-wacana sosial yang cenderung bersifat rasial—termasuk wacana Hutington. Akan kemanakah alur sejarah ke depan, memang tidak akan pernah pasti. Untuk menganilisis permasalahan ke depan, kita tidak bisa hanya menyederhanakan permasalahan dengan cara membagi antara Barat dan Timur, Islam dan Kristen, fundamentalis dan liberal, dan menaruh jawaban konflik sosial ke dalam kotak hitam dan putih.

Sebaliknya, sebuah bangunan masyarakat, bangsa, ataupun peradaban hanya bisa dianalisis satu-per-satu melalui tindakan-tindakan individu. Tanda-tanda tindakan individu yang sebenarnya akan membentuk pola, apakah kesatuan kolektif tersebut akan runtuh, tetap eksis atau bahkan akan berbenturan. Hanya dengan konsep tindakan, tujuan serta cara-cara individu dalam kesatuan kolektif kita akan mendapatkan pola-pola kemanakah bangunan sosial itu akan menuju. Hal ini menyiratkan bahwa, dalam menganalis masyarakat, kita harus beralih ke dalam pandangan dari sudut pandang manusia. Dalam melihat manusia, maka kita tidak dapat mengabaikan sifat dasar manusia yaitu bertindak. Setiap tindakan memiliki tujuan dengan cara-cara tertentu.

Contoh yang ekstrim terhadap konsep tindakan, tujuan dan cara, bisa dicermati dari laporan terbaru dari ahli Primatologi, Jill Pruetz. Pruetz meneliti selama empat tahun terhadap kehidupan simpanse Fongoli di Afrika. Penemuan Fruetz memang membuat “merinding” sebagian ahli antropologi. Karena dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa, selain manusia, ternyata kelompok simpanse Fongoli telah lama memiliki “budaya” tersendiri. Dalam temuan Fruetz, simpanse menggunakan stik (sebatang kayu yang digunakan dengan cara lembing) untuk menohok bush baby. [4] Dalam menyebarluaskan penemuannya, Pruetz memang mendapati pengabaian dari ahli primatologi sejawat. Tapi bukankah kasus yang demikian sudah biasa dalam penemuan ilmiah.

Tantangan Baru Dalam Memerdekakan Individu

Berlawanan terhadap asumsi universalianisme, bahwa konflik mendatang ialah konflik antara kesatuan kolektif yang satu terhadap kesatuan kolektif yang lain. Akan tetapi apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita ialah konflik yang sebenarnya terjadi antara individu dengan berbagai konsep-konsep kolektif yang meresap dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, berbagai bentuk dogma, doktrin, keyakinan, dan bahkan kultus yang membabi butalah sebenarnya akar dari berbagai permasalahan sosial. Dengan demikian, konsep-konsep kolektif sebenarnya bukan mewakili dari cita-cita riil individu dalam sebuah kolektif. Konsep tersebut tidak lain adalah konstruksi kekuasaan–baik itu kekuasaan ideologis maupun kekuasaan intelektual.

Sungguh sangat ironis, bahkan menyedihkan, kalau di jaman sekarang yang telah dianggap merdeka, masih terdapat individu-individu yang benar-benar percaya bahwa dengan melakukan kekerasan dan pembunuhan atas nama keyakinan telah menjadikannya menjadi sosok yang suci dan merasa dirinya telah berjuang di atas kebenaran. Bahwa dia ialah wakil dari pembela kebenaran absolut tertentu. Dengan meyakini hal tersebut, nyawa individu lian tidak akan memiliki arti apabila dibandingkan dengan kepentingan idealisme kesatuan kolektif yang telah menjadi keyakinannya.

Sebagian besar masyarakat kita memang masih hidup di atas kultus dan dogma. Jalan satu-satunya untuk melepaskan itu semua adalah melalui program pembebasan. Artinya, bagi kaum intelektual, tugas sebenarnya ialah merumuskan visi yang lebih jauh mengenai kemerdekaan individu. Perjuangan untuk membela kebebasan individu, hak kepemilikan, pasar bebas dan meminimalkan segala bentuk campur tangan pemerintah adalah visi sesungguhnya dari intelektual bebas. [5]

Walaupun ajaran pembebasan telah lama muncul, akan tetapi sedikit sekali yang mampu melaksanakan ataupun menyebarluaskan dengan visi yang benar-benar menggugah. Ajaran Tao yang telah muncul abad ke -6 SM atau tokoh Prancis Etienne de La Boitie yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Sedangkan, dalam bidang pedagogi pembebasan modern kita akan mendapati tokoh-tokoh seperti Paulo Friera, Ivan Illich, sampai dengan Mahatma Gandhi dari India.[6] Manusia-manusia tersebut merupakan sekelumit intelektual bebas yang tidak henti-hentinya berjuang memberikan pencerahan terhadap umat manusia.

Kembali ke wacana paradigma intelektual modern, yang juga menjadi alasan adanya tulisan ini, yaitu makin maraknya serta simpang siurnya berbabagai gagasan yang yang sekarang muncul. Memang tidak dapat disangkal, bahwa peran media massa, baik cetak maupun elektronik, dan bahkan blog, memang sangat membantu bagi pendidikan masyarakat modern. Hampir di setiap sudut jalan, kantor dan rumah, kita tidak dapat mengelak dari keberadaan media. Namun demikian, di satu sisi media sangat membantu bagi intelektual untuk menyebarkan gagasannya, disisi lain kekuasaannya juga sangat rentan untuk menyalahgunakannya.

Dengan kata lain, apa yang menjadi problem sekarang dan di masa depan tidak lagi permasalahan sarana bagaimana intelektual bebas menyebarluaskan gagasannya. Tetapi yang lebih penting serta krusial terhadap hambatan program pembebasan adalah makin maraknya perselingkuhan kekuasaan dengan intelektual gadungan. Artinya, bahaya terbesar ke depan adalah melencengnya arah berbagai agen-agen yang selayaknya berdiri bebas melakukan fungsi sosial masing-masing tetapi malah menjadi penjilat terhadap segala bentuk kekuasaan.

Akhir kata, seteru abadi dan terbesar perjuangan pembebeasan tidak hanya kekuasaan yang berada mengintari kita, tapi juga yang bersemayam dalam pikiran kita.


Catatan:

[1] Hutington, S.P & Fukyuman, F. 2003. The Future of The World Order: Masa Depan Peradaban dalam Cengkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme. Yogyakarta; IRCiSod

[2] Mises, Ludwig Von. Perseolan-Persolan Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu Pengentahuan yang Mengkaji Tindakan Manusia. Jurnal Akal dan Kehendak

[3] Olson, S. 2002. Mapping Human History: Gen dan Asal-Usul Manusia. Jakarta: Serambi

[4] Roach, M. 2008. Nyaris Manusia. Dalam Majalah National Geographic Edisi April 2008.

[5] Rothbard, M. 1990. Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire. The Journal of Libertarian Studies Vol IX.

[6] Nohlen, D. 1994. Kamus Dunia Ketiga. Jakarta: Grasindo