online degree programs

Minggu, Agustus 31, 2008

BERLOMBA MENJADI PEMENANG DALAM KEJUARAAN KORUPSI

Oleh: EKO SETYO ATMODJO*

Sekarang ini, penyakit korupsi kelihatannya telah menjadi wabah yang sangat berbahaya. Dan nampaknya belum ada obat mujarabnya.

Di negeri kita tercinta ini, nampaknya penyakit korupsi masih akan berlangsung lama dan akan manjangkit orang-orang yang masih merindukan untuk malihat rakyat miskin menderita. bagaimana tidak, hampir di semua lini diserang oleh penyakit mematikan ini. Dari lini yang paling kecil dan sederhana sampai lini besar yang sangat kompleks. Sebagai contoh untuk mempertegas pernyataan di atas, dari lini yang paling kecil dan sederhana, banyak kita jumpai pungutan-pungutan liar yang membebani rakyat kecil ketika dihadapakan pada permasalahan yang berhubungan dengan pejabat publik. Di tingkat pemerintahan yang paling bawah seperti kelurahan atau kantor kepala desa tingkat korupsi memang tidak seberapa. Sehingga hal ini sudah dianggap lazim jika kita harus memberi sedikit uang ketika kita mengurus sesuatu.

contoh selanjutnya yang juga ikut mempertegas pernyataan diatas yaitu kasus BLBI yang sampai sekarang menyeret aktor-aktor baru untuk ikut meramaikan pesta korupsi di tubuh bank sentral kita. Malah ke DPR pula kasusnya! nampaknya memang perlombaan menjadi pemenang dalam kejuaraan tropi bergilir piala koruptor ini menjadi favorit para pejabat publik kita.

Saya melihatnya sebagai sebuah ketidakwajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang katanya menjunjung tinggi asas good geverment dan good governence. namun demikian, tidak serta merta saya menyalahkan para pejabat publik yang memang memanfaatkan moment kejuaraan seperti ini. Alasannya, pertama ada yang salah atau kurang tepat dalam mengakhiri kejuaraan ini baik dari struktur atau dalam budaya hukum kita, saya rasakan usaha untuk mengakhiri kejuaraan ini masih dalam wacana saja tanpa mereduksi keberhasilan para aparat penegak hukum kita, saya masih merasakan dan menyayangkan trobosan yang dibuat masih bersifat tebang pilih saja. Satu keheranan saya yang sampai sekarang juga sebetulnya juga masih heran pernahkah departemen pendidikan disentuh oleh aparat penegak hukum kita baik itu KPK maupun aparat dari kejaksaan yang memang diberikan kewenangan khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Padahal ada indikasi kuat bahwa di departemen ini banyak orang yang memperebutkan trophy koruptor.

Alasan kedua, karena sudah ada kebulatan tekad untuk mengakhiri kejuaraan ini, maka instansi yang diberikan kewenangan khusus ini, katakan KPK, seharusnya tidak hanya ada di pusat atau di jakarta saja. Sehingga tinjauan location perlu diperhatikan seandainya lembaga ini ada di setiap propinsi atau di tingkat kab/kota. Maka saya yakin usaha mempercepat musnahnya kejuaraan ini relatif akan lebih mudah atau paling tidak lebih cepat.

Alasan ketiga. Memang banyak produk hukum yang sudah dibuat untuk menangani kasus ini, tapi itu hanya sebuah payung yang tidak lebih untuk melindungi para kontestan kejuaraan itu,. Yang sekarang rame diperbincangkan adalah masalah kostum untuk para kontestan kejuaraan. Sebetulnya itu bukan hal yang urgent dari pada kita susah-susah merancang kostum yang tepat lebih baik kita gunakan pikiran kita untuk mengkaji setiap produk perundangan yang mengatur masalah ini, undang-undang NO 31 tahun 1999 jo. undang-undang 20 tahun 2001 masih sangat banyak kekurangan. Sebagai contoh banyak khalayak yang tidak atau kurang setuju mengenai hukuman bagi para koruptor. Sebetulnya itu adalah sebuah kelemahan dari produk perundang-undangan, kedua undang-undang yang telah saya sebutkan diatas tidak mengatur yang namanya hukuman minimal khusus ataupun hukuman maksimal khusus. Jadi Pekerjaan Rumah kita bukan hanya pada tataran dapat bicara bahwa koruptor harus dihukum mati, wong aturannya saja salah bagaimana itu bisa terealisasi?

Alasan keempat, sebetulnya masih banyak aparat penegak hukum kita khususnya di daerah yang memang belu tahu atau sengaja tidak ingin tahu mengenai tata cara atau aturan dalam pidana khusus yang jelas berbeda dengan pidana umum.

Sementara cuma satu yang dapat saya sampaikan, sunggung malang nasibmu indonesiaku!

*Calon Koruptor yang belum dapat kesempatan korupsi, tinggal di Semarang

Jumat, Agustus 29, 2008

Puasa dan Waktunya

Manusia terpaku, sementara sang waktu berjalan melaluinya, hingga manusia bisa merasakan datangnya satu satuan waktu untuk berpuasa. Puasa, yang mengubah maghrib menjadi isyarat makan kolak dan es buah manis dengan atau tidak dengan santan. Puasa yang kini hanya hanya seperti duduk diam, menunggu bedug yang ditabuh tak wajar, hingga orang-orang sesekali menyungging senyum sembari tangan kanan berjabat dengan tangan kanan lain.

Atau manusia berjalan menyusuri waktu. Maka mereka lahir dan mati tak serentak.

atau, mungkin manusia berhenti sekaligus berjalan, melalui waktu. Seperti saat duduk di sebuah kursi di dalam mobil, yang tergerak karena deru mesin dan putaran roda, energi mekanis kata fisikawan. Beberapa manusia menaiki hi-jet, yang lain kijang, yang lain carreta, yang lain ford, yang lain truk bak terbuka, yang lain lagi mobil baja tanpa jendela kaca. Semua berjalan melintas di jalan waktu, dengan kecepatan yang tak sama (bahkan kecepatan tak bisa terlepas dari waktu). Sehingga di saat yang sama, ada beda angka, yang ditunjuk jarum jam di London, Jakarta, Havana, Buenos Aires, Lima, Ho Chi Minh, juga Sekaran.

Apakah waktu itu untuk dijalani, atau untuk selalu diucapi selamat datang. Jam dengan waktu, seperti gambar di kertas bungkus dengan bungkus, dengan bentuk bungkus, dengan aroma isi, dengan rasa isi, dengan gizi isi. Semua itu bukan hal penting, apalagi setelah sehari menahan lapar yang tersembunyi di balik kelakar, ada juga yang bersama pacar.


Ahmad Fahmi Mubarok
fah_itusaja@yahoo.com

Cak Nur, Kami Rindu Padamu....



Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. Prof. Dr. Nurkholis Madjid (Cak Nur) meninggalkan kita. Tapi tidak, dia tidak sepenuhnya meninggalkan kita. Ilmunya, 'laku'nya dan semangat 'belajar'nya mencari ilmu pengetahuan tetap hidup melingkupi kita. Semoga Alloh meridloi beliau. Amin.

Kepada teman-teman Lapmi Pictures, Periscope Intermedia dan PB HMI yang mempublikasikan karya tentang Cak Nur ini di Youtube.com kami sampaikan banyak terima kasih. Semoga karya ini memberikan inspirasi yang tiada henti bagi kami.

Semoga kita tak letih-letih untuk terus membaca, bertanya, berpikir. Yah, lagi-lagi belajar.

Nama:
Nurcholis Madjid
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939
Meninggal:
Jakarta, 29 Agustus 2005
Agama:
Islam
Isteri:
Omi Komariah
Anak:
- Nadia Madjid
- Ahmad Mikail
Menantu:
David Bychkon

Pendidikan
Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), syarif hassuyatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), syarif hassuyatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam)
Bidang yang diminati
Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama
Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang
Pekerjaan
Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984
Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-sekarang
Dosen, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syaruf Hadayatullah, Jakarta 1985-sekarang
Rektor, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 – Sekarang
Penerbitan (sebagian)
The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
(“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
“Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
“Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
Islam, Agam Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
“In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
IslamicThoughts (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
“Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
Lain-lain
Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997
Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998
Ketua yayasan Paramadina, Jakarta 1985-Sekarang
Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, 1990
Anggota KOMNAS HAM, 1993-Sekarang
Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Canada, 1991-1992
Wakil Ketua, Dewan Penasehat ICMI, 1990-1995
Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
Penerima Cultural Award ICM, 1995
Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998-Sekarang
Penerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998
Keikutsertaan dalam events internasional
Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, Italy
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, Austria
Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USA
Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, Morocco
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, Italy
Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands.
Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
Pembicara, konperensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USA
Peserta, Konperensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua, Mei 1997, Vienna, Austria
Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USA
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USA
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USA
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USA
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, Switzerland
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, Nopember 1998 state Departmen (departemen luar negeri amerika), Washington DC, USA
Peserta Presenter “Konperensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, Japan
Peserta, Sidang ke-7 konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan.

Alalat Rumah Keluarga:
Jalan Johari I No.8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

(disarikan dari www.tokohindonesia.com)

Salam,
Taufiq

Rabu, Agustus 27, 2008

BELAJAR TEORI SUBYEKTIF DARI “GETUK GORENG” BU RURY

Beberapa waktu lalu STNK motorku hilang---alias ketukar. Kemudian saya mencari ke rumah salah seorang teman. Tanpa sengaja saya mendapat pengalaman tentang “Getuk Goreng”.

Singkat cerita. Saya disuguhi satu piring getuk goreng. Setelah bergurau mengenai “kasus” STNK ku yang tertukar dengan STNK milik menantunya. Tanpa sengaja Beliau (Bu Rury) bercerita mengenai kesehariannya berjualan getuk goreng di pasar.

“To”, Seru Bu Rury menyebut namaku. “Saya kalau pulang dari pasar dan ternyata getuk saya masih sisa, biasanya saya tukar dengan ikan atau sayur-sayuran. Jadi kalau pulang saya tidak pernah membawa getuk sisa, tapi malah membawa sayur ataupun ikan”, beliau menjelaskan.

Kemudian saya bertanya, “lho, ikan kan lebih mahal daripada getuk Bu?”. Kemudian beliau menjawab: ”ya memang. Tapi penjual Ikan biasanya suka membawa oleh-oleh buat pakan ikannya”.

Saya keceplosan, “wah ikannya berarti makan getuk,ha2”. “Lha ini kok mirip dengan teori yang saya pelajari di bukunya Rothbard” dalam hati saya berdiskusi dengan diri sendiri.

Kemudian dengan sok jago teori---seperti biasanya---saya menjelaskan tentang teori subyektivitas nilai dari ilmu ekonomi. Rifky, anaknya yang paling bungsu mengangguk-ngangguk seolah-olah mengiyakan teori yang saya jelaskan.he2…

Begini, setiap pertukaran di dalam pasar, seorang penukar masing-masing pasti mengharap keuntungan. Bagi kasus Getuk Bu Rury, maka Ikan bagi Bu Rury akan lebih bernilai daripada getuk gorengnya sendiri. Begitu sebaliknya bagi penjual ikan, yang tidak memiliki Getuk Goreng, maka Getuk Bu Rury akan lebih bernilai daripada Ikan yang dijualnya.

Maka nilai barang bagi masing-masing orang akan dinilai secara subyektif. Katakanlah Bu Rury menukarkan 5 Getuk Gorengnya dengan 1 ikan. Maka Harga Ikan bagi Bu Rury adalah seharga 5 getuk georengnya. Dan rasio ini tidak berlaku mutlak bagi setiap kegiatan pertukaran. Adakalanya 10 getuk bisa dihargai 1 ekor ikan. Atau bisa jadi dua ekor ikan dihargai dengan dua getuk goreng Bu Rury.

Apa yang menyebabkan perubahan-perubahan nilai masing-masing barang tersebut? Jawabnya ada pada teori tentang faedah marjinal---untuk teori ini bukan menjadi pokok bahasan tulisan ini, yang akan saya tulis entar kalau ada waktu.

Setelah saya bercerita panjang lebar mengenai sejarah ekonomi klasik hubungannya dengan Getuk goreng. Maka saya beralih bergurau tentang cerita-cerita konyol lainnya.

Termasuk cerita mengenai “eksploitasi buruh” oleh Bu Rury. Pasalnya, anak kedua dari Bu Rury (Achmad Chunaifi) sering harus susah payah bangun “pagi-pagi buta” untuk “ditindas” Ibunya menggoreng Getuk. Ya saya dapat memaklumi, karena Si Chun (yang juga teman sekelas saya) juga harus mengajar di sebuah lembaga Bimbingan Belajar ternama di Semarang. Jadi wajarlah kalau dia sering kelelahan dan males-malesan untuk “dieksploitasi/dihegemoni” oleh ibunya. Jadi sangat wajar bila dia dijuluki “buruh” paling males dari keluarga Bu Rury.

Ya, itu lah cerita singkat dari salah satu keluarga yang paling saya kagumi. Dan saya memang banyak belajar dari mereka, termasuk teori subyektivitas nilai yang terkenal itu. Salam.(Giy).

Selasa, Agustus 26, 2008

Sebuah Pesan*

Selain sering sekali terlibat dalam dialektika dengan Emha Ainun Nadjib, sampai sekarang pun, Cak Sudrun ternyata sering datang dalam Jama’ah Ma’iyah di beberapa tempat. Tidak seperti pak Kanjeng yang lebih kalem dan bijaksana, ia tampil lebih slengekan dan nggapleki. Kadang ia tampil dengan sarung kumal dan jas tebal, padahal cuaca malam sungguh gerah minta ampun. Sesekali ia tampil sok casual dengan kaos dan jelana jins yang warnamya bertabrakan di sana-sini. Tetapi bisa juga ia datang mengenakan kostum ala pria mapan dan metroseksual yang ternyata juga banyak menjadi jama’ah Emha. Dan malam itu, beberapa bulan yang lalu di Gambang Syafa’at, ia memilih hem warna hijau menyala dan sarung motif batik yang sepertinya sudah hampir setengah lusin bulan tidak dicuci apalagi disetrika. Setelah lantang mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh hadirin yang datang karena berkata “sing penting wareg !!” untuk menjawab pertanyaan Emha “milih segonĂ© opo milih sambelĂ© ?”, dengan senyum puas seakan telah berhasil mengerjai Emha dan jama’ahnya ia bergeser ke belakang agak serong ke barat daya di pojok pintu keluar ruangan yang biasa digunakan acara Gambang Syafa’at. Senyumya terlihat bermakna puas sekali, padahal ia baru saja diolok-olok dan ditertawakan sekitar 500-an orang. Sungguh sebuah metode pembelajaran yang berat dan dalam sekali.

Kemudian ia duduk bersila di samping orang-orang yang malam menjelang dini hari itu masih setia dengan syawab-syawab berkah Emha dan Kiai Budi Harjono. Kemudian tanpa diminta ia tiba-tiba nyerocos kepada orang yang ada di kanan-kirinya soal pengalamannya nyantri di padepokan Sunan Kudus. Dari ngumpet di jumbleng hingga terjun bebas dari pucuk pohon kelapa menggunakan kepala sebagai tumpuan mendarat, yang kesemuanya telah diceritakan Emha dalam buku-bukunya. Lantas cerita Cak Sudrun sampai pada masa betapa ia sangat ngebet ingin menikah, ingin kawin. Ia, entah dari mana datangnya, tiba-tiba mempunyai keinginan yang luar biasa untuk menjadi suami. Mulai dari hasrat dorongan biologis hingga psikologis seorang lelaki yang memang ingin melindungi dan bertanggungjawab. Tetapi masalah ini tidak bisa mudah begitu saja karena ternyata Sunan Kudus belum merestuinya untuk menikah. Segala daya upaya diplomasi dan lobbying sudah ia ungkapkan untuk mendapat restu sang Sunan, tetapi hatinya tidak bergeming jua. Hingga suatu malam, setelah selesai mengaji di pendopo, ia memberanikan diri sekali lagi mengungkapkan keinginannya kepada Sang Sunan. Bukan dengan cara bergaining yang halus, tetapi sudah dengan ancaman.

Mohon ampun, Kanjeng Sunan. Kalau Kanjeng Sunan tidak memberi restu kepada hamba untuk menikah, atau paling tidak ta’aruf dan yang-yangan, maka dengan terpaksa hamba akan melampiaskan hasrat dengan cara yang tidak-tidak dan akan menggoncangkan padepokan ini, Kanjeng Sunan”.

Sunan Kudus langsung naik pitam. “Hah ? Kau mau mengancamku ? Sehebat apa kau? Kau tidak sehebat Aryo Penangsang, orang Jipang yang tidak bias membaca sasmitoku itu. Berani sekali kau, Sudrun”.

Hamba tidak hendak melawan Kanjeng Sunan. Ini hanya metode, Kanjeng Sunan”.

Kau pikir aku takut ? Terserah kau. Berbuatlah sesukamu !”

Saestu, Kanjeng Sunan ? Betul begitu ? Apakah Kanjeng Sunan sudah siap menyaksikan peristiwa yang belum pernah Kanjeng Sunan saksikan sebelumnya ?”

Rona di wajah Sunan Kudus semakin merah menyala.

Kurang ajar !!! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu kepadaku ?!”

Dengan enteng Cak Sudrun menjawab : “Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib, Kanjeng Sunan”.

Seketika raut muka Sunan Kudus berubah.

Pilihlah wanita yang ingin kau nikahi, lantas bawa kemari”. Sambil mengumpat dalam hati “Assu !!!”

Tanpa menunggu lama, “Sendiko dhawuh, Kanjeng Sunan !” Setelah menghaturkan sembah, Cak Sudrun segera melompat keluar pendopo menemui kekasihnya untuk diajak menghadap Sunan Kudus. Kelak Sunan Kudus akan semakin terperanjat melihat siapa yang dibawa Cak Sudrun kepadanya.

***

Sepertinya siasat Cak Sudrun boleh juga ditiru. Fahmi ? Haris ? Mas Taufik ? Guru Ed ? Giyanto ? Hhmm…, Luluk.

Yogas Ardiansyah


*judul diberikan oleh postinger, soalnya di file yang dititipkan penulis artikel tidak terdapat judul. mohon maaf bila ada ketidak"sreg"an atas judul yang diberikan, dan sewaktu-waktu bisa diganti.

Pengandaian Utopis

Sedikit tulisan ini menanggapi komentar Pak Nad sebelumnya, sengaja di posting bukan pada “komentar” tapi di artikel untuk melawan lupa yang teramat sering menyerang kita dan sekaligus membuka diskursus “baru” tentang pemerintah, ekonomi, kedirian, nilai-nilai keadilan, isu hegemoni, dan eksploitasi.

Pak Nad berbicara dan mengajukan teori pertukaran untuk menjelaskan “celana boxer” Mas Fahmi kemarin. Kalau tidak salah teori pertukaran adalah varian ketiga dari teori positif masa kini di samping neofungsionalisme dan teori pilihan rasional, kalau salah mohon dikoreksi ya. Bagi Ben Agger, teori pertukaran berupaya bangkit dan melawan serangan-serangan teori-teori kritis yang meruntuhkan fondasi sosiologi positif Comte terutama di Amerika waktu itu, di mana terjadi pertarungan sengit antara intelektual positivis yang sudah susah payah untuk mendapatkan otoritas intelektual di jagad akademik via penelitian yang rigid dengan modern scientific method, jelas mereka terusik ketika otoritas mereka tersebut diruntuhkan seketika oleh posmodernisme, feminisme kritis, dan lainnya. Sebagaimana perlawanan dari neofungsionalisme dan teori pilihan rasional, teori pertukaran pun meminjam dari disiplin yang “keras” dan katakanlah lebih prestis, yakni psikologi dan ekonomi. Agaknya teori pertukaran mereduksi masyarakat dalam sebuah logika pertukaran individu yang mengejar keuntungan rasional mereka sendiri, di sini masyarakat masuk dalam pertukaran tersebut untuk memaksimalkan sumberdaya mereka, sebagaimana ekonom menyatakan bahwa masyarakat masuk ke dalam pasar untuk meningkatkan kepuasan mereka.

Teori ini mengandaikan sebuah pertukaran yang bebas tanpa paksaan, dengan sendirinya hal ini sudah terang menunjukkan warna positivisme, yakni bebas nilai yang di sini menjadi bebas tanpa paksaan, namun bagi saya apakah ini mungkin terjadi, agaknya tidak karena pertukaran sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dan bahkan keinginan selalu dibarengi dengan paksaan dalam bentuk keterbatasan-keterbatasan pilihan. Munculnya logika ini pun dengan demikian membawa kelemahannya dengan jelas, yakni pengabaian realitas atau setidaknya bahasan eksploitasi, hegemoni, diskriminasi, subordinasi yang “dituduhkan” oleh teori-teori kritis dan setidaknya sepemahaman saya tuduhan itu terbukti. Teori pertukaran agaknya gagal menyangkal ini dan asyik berada dalam logikanya sendiri dengan pengandaian ala positivisme itu yang jelas terasa dan terlihat “keras kepala” untuk tetap muncul. Mungkin selanjutnya Pak Nad dapat menjelaskan secara lebih jelas teori pertukaran itu dengan teori subyektifitas nilai yang konon menurut Pak Nad mesti dipahami secara bertingkat-tingkat itu, apalagi bagi saya dan kami yang masih belajar di tahap awal ini.

Sedikit komentar soal “celana boxer” itu, ketika Pak Nad menyatakan “yang juga penting dan mungkin lebih penting adalah fakta yang tak terlihat” saya langsung menduga –maaf klo salah- bahwa Pak Nad dengan habitusnya yang panjang lebih dan telah memilih mementingkan “sesuatu yang tak terlihat”, yang di luar empirisitas, realitas itu, ini sejalan dengan di muka yakni tentang pengandaian-pengandaian itu yang juga agaknya lebih menitikberatkan pada “sesutu yang tak terlihat”, mungkin ini secara genealogis dapat ditelusuri pada idealisme Platonian? Dan gaya ini kental sebagaimana telah memengaruhi Kang Gi –agaknya dalam waktu- setelah bertemu dan diskusi dengan Pak Nad, yakni yang penting adalah logika yang sudah pasti benar dengan premis-premis ala silogisme Aristotelian yang mesti juga benar terlebih dahulu, realitas seringkali menipu, akarnya agaknya adalah pilihan pendapat bahwa yang benar, yang “hakiki” adalah di alam ide, sedang di empiris hanya refleksi ide-ide, atau abstraksi “ide-ide (ologi)” dalam genealogi pengertian awal ideologi dulu.

Yang dipermasalahkan dalam neoliberalisme dan kapitalisme adalah soal keadilan, kemanusiaan, empati, hal itu yang agaknya dimaksudkan Mas Fahmi dengan mengambil contoh “celana boxer” itu, jadi mungkin agak menyimpang ketika kemudian meloncat dalam bahasan kebangkrutan sang penjual, yang lazimnya adalah pemilik pabrik, konglomerat, yang kaya (borjuis), yang sudah pasti ingin untung dan mungkin dari fakta empiris Mas Fahmi tak mempedulikan soal keadilan upah yang tak sebanding dengan kerja keras mereka, jadi bukan soal ancaman kebangkrutan yang menunjukkan betapa kental logika ekonomi di sini.

Ketika Pak Nad menyatakan bahwa “kita perlu tahu juga fakta bahwa di dalam setiap pasar bebas, tidak ada paksaan apakah kita harus membeli celana semahal itu. Fakta juga bahwa dalam persaingan bebas, kita mungkin lebih berpeluang mendapatkan celana serupa dengan harga yang lebih murah dan kualitas lebih baik...” dengan demikian agak terlalu maju ketika yang dipertanyakan Mas Fahmi adalah soal keadilan, eksploitasi, subordinasi, dan hegemoni borjuis, hingga bahasan yang lebih relevan agaknya –dan saya tak tahu banyak soal ini- adalah “nilai” yang “dijual” oleh pekerja (buruh pabrik) itu untuk ditukar dengan upah mereka.

Soal subsidi itu memang benar posting Pak Nad kemarin belum menanggapi semua pertanyaan saya yang mestinya dijawab Pak Imam Semar, namun menarik juga untuk dikomentari singkat. Ya sebagaimana ekonomi pasar bebas yang mungkin telah Pak Nad amini sebagai sistem atau katakanlah ideologi yang paling absah untuk menyejahterakan masyarakat via menyejahterakan per individu –yang bagi saya logika ini adalah khas epistemologi modernitas-liberalisme yang menekankan individu (dan Habermas agaknya mengambil logika ini juga dalam tesisnya soal subyektifitas dan “taste” dalam ruang publik)- hingga peran negara mesti diminimalisasi atau bahkan dihilangkan dalam sistem perokonomian pasar bebas, dan lagi-lagi dengan “pengandaian” akan terjadi pertukaran bebas tanpa koersi yang pada kenyataannya tak dapat terjadi, ya saya setuju kita membutuhkan mungkin lebih dari sebuah utopia untuk membangun peradaban “maju”, tapi “utopia” dalam logika pasar bebas dengan utopia pertukaran tanpa koersi ini pada penyataannya tak terjadi dan isu keniscayaan koersi ini tak tertanggapi oleh teori pertukaran itu, termasuk konsep pasar bebas. Justru dengan pasar bebas yang niscaya membawa koersi telah menimbulkan bencana sosial-ekonomi-politik-budaya di mana-mana.

Lebih lanjut tentu perlu dipertanyakan, apa perlu ada negara jika tidak ada pengaturan (regulasi) yang memerlukan tilikan filosofis-historis awal berdirinya negara atau pemerintahan itu untuk apa? Selain itu pada kenyataannya kita hidup dalam serangkaian fakta-fakta kesepakatan dalam bentuknya yang paling abstrak sekalipun untuk mengatur relasi sosial, hingga dalam filsafat China menuju pada “harmoni”.....yang mungkin juga utopia, tapi setidaknya secara eksistensial “harmoni” dapat dirasakan oleh yang mengalaminya, dan “kebebasan” dalam pertukaran “akhirnya” terjadi dengan penerimaan karena terpaksa –dengan keterbatasan-keterbatasan itu- atau ikhlas karena sudah menjadi kelaziman untuk menerima, koersi mungkin telah dihaluskan dalam konvensi-konvensi dari yang halus itu sampai pada bentuknya yang kaku, yakni hukum legal yuridis formal. Kiranya itu dulu....mohon tanggapannya Pak Nad. Trims...

Edi Subkhan, penulis ajah...

Sabtu, Agustus 23, 2008

Aktivis Asli Tapi Palsu

"Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya ia datang untuk menghantam atau memang itu yang sudah digariskan, menjillat, menghasut, menindas memperkosa hak-hak sewajarnya"

( Iwan Fals)

Mas Gi, Mas Taufik, Mas Edi, Mas Luluk, Mas Haris, Mas Fahmi, dan teman-teman yang mebaca tulisanku, ini bukanlah munafik belaka karena saya adalah tokoh BEM. Tulisanku ini murni kegelisahanku terhadap apa yang terjadi di dalam lembaga kemahasiswaan, dan rasanya saya ingin mengubahnya.kita mulai ya….

Kata aktivis sangat popular dikalangan mahasiswa paska reformasi. Karena bargain aktivis menjadi tinggi saat mereka bersatu menumbangkan rezim orde baru di tahun 1998. Sampai sekarang aktivis dianggap bak seorang pahlawan yang telah mengusir penjajah di Negeri ini. Mereka selau dikenal dan disambut dengan hormat jika berjalan disepanjang jalan.

Di awali dengan sejarah itu, sekarang banyak orang yang ingin menjadi aktivis, terlepas dengan perasaan ketulusan hati mereka untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Melaikan dengan dasar agar mempermudahkan mereka untuk mendapatkan jaringan, demi kepentingan dirinya sendiri atau yang lebih parahnya mereka yang ingin jadi aktivis agar mereka terkenal dimana-mana, Ini tidak ubahnya seperti artis.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan lembaga yang dikenal sebagai lembaga yang didalamnya bercokol sekumpulan aktivis. dan banyak mahasiswa yang ingin masuk ke organisasi tersebut. Penulis tidak tahu alasan mengapa mereka ingin masuk BEM. Apakah mereka ingin mendapatkan biasiswa? Atau mereka ingin namanya dikenal dimana-mana? penulis tidak tahu alasan mereka sebenarnya, penulis hanya cuma berwacana saja( Sok Tahu Loe).

Kebanyakan mahasiswa yang duduk di jabatan BEM mempunyai wibawa yang dahsyat untuk mempengaruhi teman-temannya untuk ikut bergerak dalam perjuangannya. Karena BEM identik dengan organisasi Inteletual-itu dulu-. Sekarang BEM hanyalah sekumpulan orang-orang yang oportunis, kebanyakan mahasiswa yang menduduki jabatan BEM hanya untuk mendapatkan sebuah biasiswa, ingin dirinya dianggap jago berpolitik atau bahkan ingin dirinya dikenal bagai artis, jika dia sedang berjalan orang akan menyapanya dengan rasa hormat, bagai Pejabat pemerintahan yang mengobral senyum dengan dihiasi wibawa palsu.

Parahnya lagi, aktivis mahasiswa yang ingin masuk BEM dengan niaatan untuk memburu posisi structural, misalnya hanya memburu jabatan ketua BEM, ini hanya akan menjadi sia-sia belaka. Mereka sudah mengorbankan waktu, harta dan pikiranya hanya untuk sebuah jabatan. Jika seandainya kalah maka akan tercipta ilklim kebencian pada salah satu lawannya. Dan akhirnya akan tercipta permusuhan, bisa jadi mereka akan selalu mempunyai perasaan saling curiga dan ini akan menimbulkan perasaan tidak tenang dalam kehidupan mereka.

Penulis selalu berharap semoga BEM selalu di duduki kaum intelktual yang disana selau terjadi iklim diskusi yang bisa mengasah intlektual mereka, bukan hanya sekedar sekumpulan mahasiswa yang rapat dan menggosip untuk membuat setrategi-setrategi agar bisa mengalahkan musuh dan akhirnya muncullah black compaine ( Kampanye hitam). Tapi penulis mengharabkan yang duduk di posisi BEM adalah orang yang selau berdialektika, membaca, diskusi dan kemudian menulis, tentunya dengan ketulusan hati yang paling dalam tanpa ada unsur kepentingan untuk menjatuhkan. Richardo Mathopat“ aktivis adalah orang yang bisa mengukur kekuatannya dan saling percaya terhadap sesama”.


Muhtar Said
Sekretris Jendral BEM FH UNNES

MUSIMNYA GANTI PROFESI

oleh: EKO SETYO ATMODJO*


Tahun 2008 ini mungkin tahun bersejarah sebagai tombak untuk mengawali musim orang pada ganti kerjaan. Banyak orang berbondong-bondong beralih profesi. Contoh riil yang bisa kita lihat bersama dan itu sangat lucu menurut saya adalah proses alih profesinya para selebriti ke lain jalur dan lain bidang yang semestinya di jalur entertainment lalu mereka rame-rame terjun ke dunia politik.

Bagaimana tidak lucu dunia politik disangka sandiwara hiburan yang bisa mereka mainkan sewaktu-waktu dunia politik mungkin disangkanya arena untuk menunjukan kebolehan akting mereka. Banyak orang berpendapat bahwa fenomena ini dikaitkan bahwa figur seorang artis dapat menaikan pamor atau mengangkat sebuah parpol atau organisasi politik yang lain ketika si artis ini terjun menjadi wakil rakyat mewakili parpol. katanya!

Betapa bingungnya saya ketika wacana ini bergulir. Sebenarnya yang kurang berdedikasi itu parpol atau oknum artis tersebut. Permasalahan yang muncul di sini adalah, parpol di Indonesia yang punya kewenangan untuk mengusung caleg atau pejabat-pejabat eksekutif, selain calon perseorangan semacam sudah kehilangan arah sudah terlihat mandul dalam mengkader para simpatisan yang memang bebar-benar loyal dan prefesional terhadap kinerja terhadap parpol atau negerinya.

Dengan adanya fenomena seperti ini, muncul keraguan apakah ada jaminan bahwa kader-kader parpol yang diusung dari kalangan selebritis itu mampu mengemban amanat rakyat yang diwakilinya. Melalui parpol, mereka menjadi para wakil rakyat dengan tidak mengedapankan kemampuan secara personel.

Pantas diragukan ketika hasil instan dari sebuah pengkaderan apakah juga nantinya akan memberikan sumbangan yang maksimal untuk perbaikan kehidupan rakyat. Mestinya itu yang jadi pertanyaan kita semua? atau dilain sudut mereka hanya ingin mengejar materi yang menurut mereka mungkin lebih menjanjikan ketimbang jadi artis. Mungkin mereka tidak tahu ada sebuah pernyataan bahwa kekuasaan itu identik dengan korupsi.

Doa saya sebagai rakyat semoga pernyataan diatas tersebut tidak sampai melekat pada diri para pengalih profesi kita....

*) Penulis berencana ganti profesi

Nafas Neoliberalisme RUU BHP

Oleh Edi Subkhan*

”Lunturnya rasa nasionalisme itu antara lain disebabkan lahirnya perdagangan bebas yang merontokkan batas-batas negara serta kemajuan teknologi informasi
yang tidak mengenal batas-batas waktu dan tempat”

H.A.R. Tilaar (2005)

Neoliberalisme Pendidikan

Sofian Effendi (2007) menyatakan, bahwa para ekonom membagi kegiatan usaha menjadi tiga sektor. Sektor primer adalah semua usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor sekunder mencakup bidang usaha untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah industri-industri untuk mengubah benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang mengatur perdagangan multilateral memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya keterampilan. Inilah awal mula neoliberalisasi pendidikan secara sistematis dalam skala luas dunia internasional.

Prinsip dan peraturan dari WTO adalah adanya jaminan atas perdagangan bebas, sehingga semua bentuk kebijakan dan tindakan yang menghalangi atau mengurangi persaingan bebas harus dihilangkan. General Agreement on Trade in Services (GATS) sebagai salah satu kesepakatan WTO menyatakan bahwa semua transaksi perdagangan dapat diperjual belikan dalam pasar global. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO dan GATS dengan konsekuensi mesti tunduk pada ketentuannya, termasuk dunia pendidikan.

Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3) pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5) pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree program, distance learning, dan tele course. (2) Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur legalitas hukumnya.

Neoliberalisme RUU BHP

Setelah menandatangani GATS, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 tahun 2007 dan Perpres 77 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai dengan 49 persen di “bidang usaha” pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan nonformal. Oleh karena itu, sebelum lahir UU Sisdiknas tahun 2003, menjelang tahun 2000 hingga sekarang perguruan tinggi pun sudah melakukan transformasi dari institusi yang tadinya bergantung pada pemerintah menuju badan hukum yang mandiri lepas dari birokrasi pemerintah. Otonomi tersebut diwujudkan dengan dibentuknya badan hukum perguruan tinggi di Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 1999 dan disusul dengan PP No. 155/2000 yang menjadikan empat perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jejak tersebut kemudian diikuti oleh USU dan UPI.

Setelah itu pemerintah kemudian menginisiasi RUU BHP karena telah terikat oleh amanat UU No. 20/2003 pasal 53 ayat (4). RUU inilah yang dipandang sebagai jalan pembuka kapitalisme pendidikan, menempatkan pendidikan subordinat dari sistem ekonomi neoliberalisme, dan menjadikannya sekadar komoditas dagang. Hal ini karena dalam draft awal RUU BHP juga menyinggung tentang modal asing dalam bidang pendidikan sampai 49 persen. WTO dengan GATS-nya memang tidak secara eksplisit menyatakan penarikan tanggungjawab pemerintah atas dunia pendidikan, namun pola dan strategi implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalisme yang berada di baliknya meniscayakan ditariknya peran negara dalam memenuhi tanggungjawabnya atas dunia pendidikan.

Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan lembaga pendidikan dalam negeri yang masih kembang kempis jika mesti berkompetisi dengan lembaga pendidikan asing di Indonesia. Di sisi lain ketika asing boleh menanamkan modalnya sampai 49 persen, dikhawatirkan lembaga pendidikan tersebut akan banyak disetir oleh asing, baik orientasi belajar, pemahaman keilmuan, sampai pada budaya dan filosofi pendidikannya. Walaupun pada draft RUU BHP versi April 2008 pasal 12 telah dihapuskan, namun kontroversi tetap berlanjut ketika ketentuan pendirian lembaga pendidikan asing dan kepemilikan modal tersebut masuk dalam RPP pengelolaan dan pelayanan pendidikan yang dikeluarkan pada Juni 2008. Di situ ditegaskan bahwa pihak asing boleh investasi di lembaga pendidikan sebanyak 49 persen.

Menangapi hal itu Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepada anggota DPR mengenai Perpres No. 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup dalam rapat kerja Komisi X, bahwa penanaman modal asing di bidang pendidikan akan dilakukan terbatas pada lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Selain itu, saat ini hanya berlaku pada bidang pendidikan politeknik dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Dinyatakan juga bahwa dasar hukum adanya penanaman modal asing di bidang pendidikan tidak hanya berdasarkan pada Perpres saja, tetapi juga adanya tawaran dari Departemen Perdagangan mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dalam perundangan WTO di Jenewa, Swiss, pada 2002.

Dalam tawaran itu, pendidikan menjadi bagian yang ditawarkan dalam arus globalisasi, namun Depdiknas meminta tidak dibuka secara liberal, tetap harus ada persyaratan yang mesti dipenuhi jika modal asing masuk ke Indonesia di bidang pendidikan. Prihatin dengan kebijakan tersebut, Mantan Rektor UGM, Sofian Effendi menyatakan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 77/2007 maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi ladang bisnis luar biasa bagi pemodal asing, karena dalam PP tersebut dunia pendidikan dimasukkan sebagai bidang usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07).

Adanya modal asing pada institusi pendidikan menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung, baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika dan berjalannya agenda program institusi akan selalu berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu.

Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam bentuk dual degree.

Lepas Tanggungjawab Pemerintah

Pemerintah mengaburkan tanggungjawabnya atas pendanaan pendidikan pada RUU BHP versi Juni 2008, bab VI tentang pendanaan pada pasal 33 ayat (2) dengan menyatakan bahwa pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 terdapat pada pasal 32 ayat [2]). Di sini kata-kata ‘tanggungjawab bersama’ selama ini menjadi dalih pemerintah untuk tidak memenuhi pendanaan pendidikan.

Pada draft usulan RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (1) dinyatakan, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung biaya pendidikan dasar berdasarkan standar minimal saja, ayat (2) menyatakan pemerintah daerah dan masyarakat ‘dapat’ memberikan bantuan sumberdaya pendidikan pada badan hukum pendidikan. Sementara untuk pendidikan menengah dan tinggi Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung ‘sekurang-kurangnya’ 2/3 biaya pendidikan untuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan ‘standar pelayanan minimal’ (pasal 34 ayat [3] & [4]).

Dengan demikian acuannya sekadar standar minimal saja dan obsesi untuk wajib belajar 12 tahun yang sempat dilontarkan pemerintah tak lagi menjadi pertimbangan, dan jelas dengan demikian minim komitmen pemerintah pada upaya meningkatkan pendidikan untuk menciptakan kader bangsa yang berkualitas. Banyak obsesi pemerintah yang dipaksakan pada pendidikan menengah dan tinggi dengan sekolah berstandar internasional dan world class university akan kian menekan masing-masing lembaga pendidikan menengah dan tinggi dengan minimnya alokasi dana untuk mereka. Pun dalam klausul tersebut badan hukum yang dimaksud tersebut adalah BHPP yang didirikan pemerintah pusat dan BHPPD yang didirikan pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat perhatian di sini.

Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orangtua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33 ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini.

Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20 persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal 38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa pemerintah justru membebankan kewajiban memberi beasiswa pada badan hukum pendidikan.

Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan, badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya bagi kampus.

Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008 pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu jalannya operasional badan hukum pendidikan. Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau keberpihakan pada pencarian kebenaran –kata Bung Hatta, hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya berorientasi ekonomi, maka semuanya akan .

Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil Timus 20, 22—23 Juni 2008, tidak banyak terdapat perubahan substansial, hanya penambahan dan pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut, pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’ atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi.

Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08) menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia “menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105) menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.

Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.

* Edi Subkhan, penulis, tinggal di Jakarta.

Rabu, Agustus 20, 2008

KEMERDEKAAN KITA?

Kemarin seorang teman mengirim SMS. Dia bertanya, Apa beda kemerdekaan dan kebebasan? Kenapa tanggal 17-08-1945 bukan hari kebebasan Indonesia?

Tepat saat pesan SMS masuk, saya sedang membaca sebuah artikel di National Geographic Magazine. Artikel tersebut ditulis sekitar 50 tahun yang lalu, kemudian diterbitkan ulang oleh NGM Indonesia edisi bulan Agustus 2008. Sang wartawan, Beverly M. Bowie, menulis:

Masyarakat Indonesia sangat ramah, sangat sopan, sangat bersih---dan tidak terburu-buru. Di setiap daerah, siapapun bisa merasakan energi anak muda yang berlebih. Bertubuh lentur dengan proporsi yang baik dan berotot, mereka berjalan dengan kepala tegak, bangga, dan melangkah selincah penari---kenyataannya, sebagian besar diantara mereka dapat menari. Jarang sekali mereka meninggikan nada bicara kecuali ketika Tertawa dan tampak tidak pernah marah.

Apa artinya keterkaitan kedua situasi yang secara kebetulan sedang saya alami itu? Mengapa situasinya begitu kontras dengan fakta sekarang? Kemudian, mengapa tidak ada istilah hari kebebasan?

Seketika saya membalas SMS tersebut. Begini: kemerdekaan itu berbentuk plural. Kemerdekaan identik dengan “kita”, sedangkan kebebasan identik dengan “saya”. Bentuk plural adalah sebuah klaim. Dia akan berevolusi menjadi sebuah pluralis imperialis. Yang akhirnya akan berkontras dengan dirinya sendiri.

Semisal, ketika saya mengatakan bahwa saya adalah cowok jomblo terhebat di dunia. Barangkali orang tidak akan merasa tertipu dengan pernyataan saya. Orang yang mendengar hal tersebut barangkali akan menganggap saya sebagai pembual gila. Dan tidak akan pernah menganggap saya memiliki keterkaitan dengan PJI (alias, Persatuan Jomblo Internasional). Tapi hal tersebut lain jika dikatakan dalam konteks politik.

Kemerdekaan! Adalah sebuah klaim bagi pembenaran kekuasaan. Dia adalah klaim politik bagi sebagian orang yang sekarang disebut sebagai Founding Father. Segelintir orang dipercaya sebagai perwakilan sebuah bangsa. Sebuah kebetulan yang dirayakan sebagai peringatan kemerdekaan.

Bagi orang yang sering menggunakan akal sehatnya---dan sedikit jeli. Lenyapnya kolonialisme “bangsa lian” secara laten akan berevolusi menjadi “imperialisme” dalam bentuk yang baru. Perampokan gaya baru ini semakin mendapat legalitas serta jalannya nyaris mulus. Karena hampir belum pernah ditentang sekalipun.

Zaman sekarang, imperialisme dapat dilakukan dengan tiga cara. Yang pertama melalui kekerasan/perang, yang kedua melalui penguasaan penuh terhadap sistem moneter, Ketiga melalui strategi budaya.

Dalam sistem moneter, uang logam dirubah menjadi uang kertas. Surat hutang digunakan untuk biaya operasional politik/pemilu, pajak dikorupsi secara terang-terangan. Media massa memberi penjelasan panjang lebar tentang manfaat bonds—sekarang punya varian dengan nama sukuk! Pertanyaannya, dengan apa pemerintah membayar itu semua di masa depan? Yang jelas dengan uang dari individu-invidu yang bekerja keras!

Dalam bidang kebudayaan, Sejarah digunakan sebagai pembenaran bagi rezim penguasa. Dan kebenaran diplintir sedemikian rupa melalui ruang-ruang kelas yang disebut sebagai sistem pendidikan nasional.

Jalan imperialisme baru tersebut nyaris mulus. Karena sang imperium (baca: pemerintah) telah berhasil menciptakan sebuah artificial enemy. Mereka sering menyebutnya "Barat", "Kapitalis" "Kafir Bejat", "Kontra revolusioner", "Anti pembangunan", "Anti Reformasi", "Fundamentalis Pasar", "pengacau keamanan", "Pemberontak", "Pengganggu Stabilisator", "Pembangkang", "Anti Pancasila", dan "Anarkis"(Giy)

SEBUAH RENUNGAN UNTUK INDONESIAKU TERCINTA

MERDEKA!!!....ya..itu kata yang di dengung-dengungkan seluruh elemen bangsa Indonesia takala pada tanggal 17 agustus 1945 seorang putra bangsa bernama Sukarno memproklamairkan kemerdekaan Indonesia. Sontak rasa bahagia, haru, bangga menyeruak dari hati setiap putra-putra bangsa yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda. Wajar saja merdeka berarti bebas dari belenggu penjajah yang berabat-abat memasung bangsa yang terkenal akan keberagamannya ini.

Berliter-liter darah dan keringat di tumpahkan serta puluhan ribu nyawa tercabut dari raga, semua itu hanya untuk mencapai satu tujuan yang di ungkapkan dalam suatu kata ” MERDEKA ”. Kini setelah 63 tahun timbul suatu pertanyaan, apa kita sudah merdeka?. Pertanyaan yang aneh.....ya...bisa di katakan ini pertanyaan yang aneh, namun ketika kita lebih jauh mendalami pertanyaan ini, mungkin jawabanya ” kita belum merdeka bung... ”. Pantaskah kita merdeka ketika sumber daya alam kita dikuras oleh bangsa asing sedangkan kontrak karya pertambangan, royalty dan cost recovery malah merugikan negara belum lagi kita dihadapi persoalan illegal loging, korupsi berjamaah, penggangguran dan kemiskinan.

Bayangkan saja angka putus sekolah jumlahnya sekitar 3,9 juta anak setiap tahun, belum ditambah jumlah sarjana yang menganggur 409.890 orang pada tahun 2007. Apalagi dalam bidang politik yang hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan dengan dalih kesejahteraan, keamanan, atau apapun yang sekiranya mendapat respon dari rakyat ditambah aji mumpung yang dilakukan oleh kalangan artis yang bermigrasi ke dunia politik ( kayaknya sih mau buat film di senayan dan sekitarnya ).

Begitu pula dalam bidang pertahanan di negara kita, yah...memang anggarannya minim jadi kesejahteraan prajurit TNI rendah, selain itu banyak alat tempur milik negara kita sudah uzur ( itupun kalau tidak mau dikatakan kadaluarsa ), belum lagi persenjataan kita di embargo otomatis banyak persenjataan atau peasawat tempur terpaksa di grounded karena tidak adanya suku cadang, wah lama kelamaan persenjataan milik negara kita karatan trus apa kita musti beralih ke bambu runcing? apa kata dunia?. Yah...semoga seluruh prajurit kita dilindungi Tuhan saat latihan tempur, jangan sampai ada korban tenggelam dalam tank yang bocor.

Melihat kenyataan kita memang belum sepenuhnya merdeka, tapi jangan pesimis yakinlah seperti semboyan Presiden kita ” Bersama Kita Bisa ”. Mari kita lanjutkan perjuangan para pahlawan kita dengan mengisinya dengan prestasi ( itu kata ibu guru ). Semoga Bangsa Indonesia lebih baik dari sebelumnya.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-63

MERDEKA!!!


Diky Harmanto
( Ass. PSDA Kopma Unnes)
Orang gila peduli bangsa

Selasa, Agustus 19, 2008

tebak-tebakan

sekali-kali tebak-tebakan ya, temen-temen..

ada 3 anak namanya susi, santi , ma dinsya. mereka memutuskan untuk liburan bareng di sebuah hotel. harga kamar hotelnya satu malem 300rb. jadi mereka patungan tiap anak 100rb.
ternyata yang punya hotel itu kenal baik ma si santi, jadi si pemilik hotel kasih korting 50rb buat sewa kamarnya. uang yang sudah dibayar dikembalikan 50 ribu lewat si pelayan.

tapi, si pelayan itu ngambil uangnya 20rb, jadi yang dikembaliin ke trio itu cuma 30. setiap anak dapet 10 ribu. jadi tiap anak cuma bayar 90 rb buat kamar hotel.

yang aneh, kalo tiap anak cuma bayar 90 rb (90x3 kan 270rb), berarti 270rb ditambah 20 ribu yang diambil ahmad kan cuma 290 rb. trus 10rbnya kemana????????

diambil dari e-mail :
moety_andiani@yahoo.com
dipoting oleh :
Ahmad Fahmi Mubarok
fah_itusaja@yahoo.com

CINTA, REALITA DAN DILEMA KAUM PRIA (Bagian II)

Setiap problematika “percintaan” memang tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus memiliki ciri khas nya masing-masing. Ada yang ”bubar” tanpa menimbulkan goncangan berarti, sebagian ”bubar” berdampak psikologis pada si pelaku. Ada yang terlanjur kawin tapi tidak jadi nikah, sebagian ada yang berencana nikah tapi tidak akan dikawinin (pastur kali ye), ada yang sudah ”tunangan” tapi kawin sama orang lain, dan seabrek permasalahan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.


Tapi yang pasti, solusi percintaan dalam realitas memang tidak dapat dibayangkan seperti kisah Romeo and Yuliet. Alias pandangan bahwa suatu hubungan hanya bisa bermodalkan ”cinta”, kalau perlu sampai nyawa dipertaruhkan!. Apalagi bagi kita yang hidup dalam sebuah budaya masyarakat yang tidak lepas dari berbagai penilaian-penilaian orang lain, bahkan keluarga tiap-tiap pasangan. Sebebas apapun hubungan percintaan, dia cenderung punya ”rasionalitas”nya masing-masing.


Hubungan cinta memang sulit dirasionalkan. Tapi menganggap cinta sepenuhnya permasalahan hati, juga tidak kalah kacau-nya. Apalagi, sebagian besar anak muda yang menganggap bahwa dia sedang ”jatuh cinta”, terkadang, tidak lebih hanya sebuah pesta pora hati, yang muncul dan lenyap juga dengan sesuka hati. Seperti angin di musim panas maupun dingin, selalu berubah sesuai musimnya, tapi juga kadang tidak sesuai musimnya, yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar faktor cuaca.


Saya memang tidak akan melacak ”ketidakteraturan” pola hubungan percintaan. Namun disini saya ingin mengatakan bahwa setiap hubungan memiliki preferesinya masing-masing. Preferensi tersebut jelas merupakan penilaian subyektif dari masing-masing individu. Dan preferensi itulah yang dapat menjadi petunjuk untuk mengetahui tentang apa motivasi seseorang menjalin hubungan percintaan.


Semisal, barangkali, ada cowok yang angkuh untuk tidak mau menikah sebelum dia memiliki rumah sendiri atau keinginan sampai dapat ”naik haji”---orang ini jelas terlalu maksa dirinya sendiri. Sebaliknya, ada yang nekad langsung menikah tanpa modal ketrampilan dan pekerjaan yang mapan. Ada yang memang sudah di”rencanakan” oleh kedua orang tua-nya, tanpa memperdulikan pekerjaan bagi si pelaku hubungan dsb...dsb...


Munculnya berbagai keputusan-keputusan yang begitu beragam dari seseorang tidak lepas dari keyakinan serta pandangan subyektif dirinya mengenai kehidupan. Inilah yang disebut preferensi. Preferensi tersebut menyebabkan penilaian-penilaian. Artinya, dia melihat dari apa yang paling berharga menurut pandangannya sendiri.


Dengan landasan tersebut, jadi sangat wajar apabila kita dapat menangkap mengenai seputar motif umum masyarakat mengenai pandangan ideal mereka tentang apa yang disebut sebagai usaha ”menikah”. Di keluarga yang cenderung konservatif, peran orang tua akan lebih dominan. Sedangkan, di keluarga yang sedikit ”liberal”, maka keputusan si anak sangat menentukan bagi masa depan hubungannya.


Nah ini lah yang dapat memberi penjelasan mengapa kasus yang saya sebutkan di artikel sebelumnya sering terjadi...

(artikel bersambung besok....)

Senin, Agustus 18, 2008

CINTA, REALITA, DAN DILEMA KAUM PRIA (Bagian I)

Oleh: Giyanto

Dua hari terakhir saya menghadiri dua acara pernikahan sekaligus. Yang pertama adalah pernikahan salah seorang teman satu kelas, sedangkan satunya ialah pernikahan anak dari Ibu Kos. Dari acara tersebut membuat saya terinspirasi menulis tentang cinta.

Cinta, kata orang bijak, sulit dimengerti ketika masih muda. Ada cinta buta, ada cinta lokasi, cinta sejati, cinta nafsu sampai dengan cinta mati. Berbagai bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memahami apa itu cinta. Dari sebagian pandangan psikoanalisa, katanya, cinta itu adalah bentuk lain dari keberadaan nafsu hewani. Bagi sebagian ahli kimia, konon, cinta adalah proses percampuran berbagai unsur kimia yang ada dalam tubuh yang akhirnya sampai ke otak hingga dapat membuat mabuk kepayang seseorang. Dan kata sebagian psikolog, cinta adalah imaji lain dari diri manusia itu sendiri dsb…dsb…

Karena begitu luasnya pembahasan mengenai cinta, maka pembahasan saya sempitkan mengenai problematika cinta kaum muda serta lika-likunya. Atau dengan kata lain, cinta dilihat sebagai suatu pilihan manusia, entah itu dilakukan dengan penuh kesadaran ataupun dengan serampangan, yang mengakibatkan kedua anak manusia saling menjalin ikatan batin.

Untuk apologi, sebelumnya, perlu diakui bahwa disini penulis tidak memiliki kompetensi secara empirik atau spesialis ahli dalam bidang percintaan. Baik itu secara teoritis maupun praktis. Landasan pembicaraan kali ini murni spekulasi pandangan pribadi. Yang belum terbukti secara empirik dialami oleh penulis.


Runtuhnya Mitos
Ada lagu klasik---saya lupa judulnya---bahwa sejak dahulu kala, wanita selalu dijajah pria. Pandangan tersebut jelas mitos! bila diterapkan pada zaman sekarang. Nyatanya, banyak temen kita, yang menjadi korban bagi “keganasan” cinta para wanita. Setelah bertahun-tahun berkorban bangun pagi nganter kuliah, ngerjain tugas, nonton bareng, traktir tiap hari, beliin pulsa dan sebagainya, akhirnya harus berakhir dengan “tragis” ketika semester-semester akhir. Yang alasannya berbagai macam, ortu tidak menghendaki, sudah tidak sayang, si cowok belum “mapan”, sudah tidak cocok lagi lah, atau karena si cowok dicurigai mandul lah---kalau alasan ini jelas sangat mengada-ada.

Entah karena kebodohan si cowok, atau karena kebengisan si cewek. Banyak kisah heboh perjodohan di dunia kampus berakhir seperti angin lalu. Pada saat putus, kehebohannya tidak seheboh pada saat mereka jadian. Yang ada Cuma desas-desus ketidak pastian. Anehnya, yang lebih banyak “gigit jari” alias menjadi “korban” adalah si cowok.

Kasus diatas jelas sering terjadi pada hubungan antara cowok yang memiliki cewek dengan “nilai tawar tinggi”. Namun demikian, cerita terjadi berbalik arah bagi kasus cowok yang mempunyai pacar bukan “artis” atau cewek dengan “nilai tawar pas-pasan” alias cewek yang tidak/belum laku-laku. Si cowok biasanya “ditodong” ceweknya ataupun mertua untuk cepet-cepet nikah. Yah, ini yang repot. Bahkan sebagian sampai-sampai ada yang tidak berani lulus kuliah karena “takut” untuk dinikahkan.

Apa artinya kasus diatas?

(artikel bersambung besok…)



Minggu, Agustus 17, 2008

The Colonialism Live in The World: A Study Roh from Hegel

In the time democratization, liberty, and to recognize human right like this it have colonialism at the world. Use military act by easy for one staate influence to staate other. Many problems trying just still instryment for use to be not like some people, they are like state hungryes war and blood. This is be Russian became colonial's againt, after a make to military opertion in Georgi last timed.

Russian President Dmitry Medvedev ordered a halt to military operations in georgia on Tuesday but believe cast doubt on the announcement, saying Russian fighter jets had just bombed two villages (The Jakarta Post: 13/ 8). Moreover Russian ware stoped their act, but they werw been to broked two villages, so many innocent victim on here.

Back on new's letter, after that, Medvedev said something. He was winding up the massive operation, in wich Russia desployed tanks, fighter jets, thousand of men and wan ships, because it had succedet (The Jakarta Post, 13/ 8). Russian market rose on Medvedev's words, with the rouble stregthening and shares rallying strongly (The Jakarta Post, 13/ 8).

From this new's letter, we can see a lot of false in the world, for example the nwe's colonialism by new face's. In termonology G.W.F Hegel (1776-1831) can readed this problem to better liked that. By Roh philosophical can deconctructions it. Three's Roh philosophical in categories become thinking piramida, from subjective Roh, objective Roh, and Absolute Roh. In teaching subjective Roh will can be to point toward as feeling like other human. At last its can love same human his use. Medvedev and The Russian're not implementation subjective Roh by carrefuly.

They are to use its because their self can't many actions. If they are to do, so can their self car feeling from sacriteifise innocent victim a war. The innocent victim turn suftering and anguish, and this isn't to feel Medvedev and Te Russian as war effect. Actuallity, subjective Roh meaning to tranformation here Roh to Roh other same humants. Its veri difficult, just only person've clearly heart can do that.
Secondly, by the teaching objective Roh talking about law, morality and ethic. In the here, ratio wanna abjectively become generall live picture, and idea about true to realization for institute's. In the point of here can turn that staate a contruction for meeted many volues. Staate is ethic subtance awair here self in so much people. So, staate power is ethic power to be say for policy's individuals las not way againt.

If this perspective to more problem in this the study, so staate soveriegnty is very important. Georgia're staate have here soveriegnty, but Russian to broked Georgia soveriegnty by military operation in Georgia place. Its very no acceptancelity on here. Ogjective Roh teaching to our live for no be permitted one staate to disturb soveriegnty other staate, although by any methodelogy.
Finally, absolute Roh in constatatitations that world story. The Russian like war in any where, especially in Georgia will make broked world story. The word story'll broked than act to no recognize ethic's and human right. The world story'll fuly than warongs action. Because many staate'll development story, tis have ralation between one and aother, while world story to make knowledge and procces our mine for meeted freedom and here point important.

Awaludin Marwan, SH
Embun Pagi Institute

Jumat, Agustus 15, 2008

Aufklarung Memories in The Indonesia Liberty

Many problem in indonesian people. This is like begly, corruption, stupidly and etc. So its neede new's idea like aufklarung in west eropa, last one hundred's of years. Aufklarung to make change in west eropa, especially at england, germany, and france. The thinking of aufklarung more to look in germany by philosophical like Samuel Pufendroff (1632-1694), Cristian Thomasius (1655-1728). But the chairman in philosophical area is Christian Wolff (1679-1754). He's disposed to sacrifice become philosopicaly turn a science usefuly and profitabely, by suport a clearly description's and strong's proof. It's like to systematics from Leibniz. While spring up Immanuel Kant have teachings in many univercity at germany.
His book have relation topics like Grendlegung Zur Metaphysik der Sitten (1785), Kritik der Praktischen Vernuntt (1788) and Metaphysik der Sitten (1799) have some values can to change human perceptions. From this book's also talked about principal important were just only human thinking do everything. A intuition in human say from heart seld and brain, not more. Anybody not to follow a thinking other. Kant feel that human instinct more to establised for better our need.
After to memories aufklarung in germany, that very interesting guestion is, how in indonesian like that?. Like new's popularity government policy : SMK-nization, some the chairmant any to warpped our hobby more like just only money and power, and developing laborer organization to make hight laborer total, and domination multinational coorporate. Indonesian people only laborer get little money. Its to make thinking, ideas, or conception not very important. The state just will employ the indonesian people. The Indonesian've not opportunities for study and make thinking self. Actuallity, they are -indonesian people- not liberty in lilbertys. So many people not be motivation from ratio, thinking or conception self. What it is to say indonesian last liberty?

Awaludin Marwan
Graduate from Embun Pagi Institute

Senin, Agustus 11, 2008

MENGEMBALIKAN RUH REFORMASI

Atikel ini sebenarnya sudah lama aku tulis dan sekarang sudah basi tapi mungkin ini bisa dijadikan bahan kajian akan kemana sebuah gerbong besar bernama gerakan mahasiswa. Dan tulisan ini sebetulnya hanya sebuah tulisan yang tidak layak muat (kata suara merdeka) tapi karena baru sempet urun rembug sekarang ya maap...Semoga bermanfaat..dan mohon kritikan atas tulisan saya ini.....suwun

Adalah tanggung jawab generasi muda khususnya mahasiswa untuk selalu memperjuangkan nasib seluruh rakyat dan bangsanya. Sangat lazim jika rakyat bertumpu kepada pundak para mahasiswa yang nota bene mempunyai kadar intelektualitas yang tinggi, sehingga dapat mengerti dan menangkap apa yang rakyat rasakan.

Sejak masa kolonialisme mahasiswa selalu mengawal terjadinya perubahan sosial di negeri ini. Dari lahirnya Boedi Utomo, turunnya bung Karno,kasus Malari,hingga lengsernya pak Harto. Bahkan banyak kebijakan pemerintah yang berubah karena dilatarbelakangi oleh gerakan mahasiswa.Hal ini menunjukan betapa dahsyatnya sebuah gerakan mahasiswa yang di landasi oleh idealisme kerakyatan.

Sebagai gerakan moral yang rasional, gerakan mahasiswa yang intelektual perlu ditunjukan dengan sikap yang demokratis dan anti anarkis. Kita tunjukan bahwa proses pembodohan tidak berlaku bagi mahasiswa, yang membungkus tindakan anarki dengan retorika demokrasi. Mahasiwa harus mengutuk tindakan premanisme politik kekerasan, yang menghalalkan anarkisme untuk tujuan politik, dengan memanipulasi kebodohan rakyat.

Gerakan mahasiswa akhir-akhir ini seakan-akan mengalami sebuah degradasi yang sangat tajam setelah mengalami klimaksnya pada reformasi 1998.Ini dapat dibuktikan ketika banyak sekali kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat dan bangsa seperti dianggap angin lalu saja oleh kawan-kawan mahasiswa.Gerakan mahasiswa malah sering terjebak dalam konflik elite, berselingkuh dengan rejim militer dan modal. Bahkan di dalam kampus pun ruang gerak bagi sebuah gerakan mahasiswa dibatasi dengan berbagai macam sistem perkuliahan dari iming-iming cum laude,lulus tiga tahun,ancaman nilai untuk mahasiswa yang kritis,ditambah lagi untuk menumpulkan kritisisme mahasiswa dengan cara menaikkan biaya kuliah.

Sekarang gerakan mahasiswa haruslah kembali ke khittah nya dan memupuk kembali darah juangnya demi memperjuangkan rakyat dan bangsanya. Dari kasus Unas yang telah menewaskan kawan Maftuh Fauzi kita luruskan kembali arah gerakan mahasiswa. Dari mahasiswa yang hanya sebatas wacana dalam forum-forum diskusi,mahasiswa yang suka ngomong revolusi, sampai yang hanya suka memakai kaos Che Guevara,atau bahkan mahasiswa yang funky haruslah tetap memikirkan nasib rakyat dan bangsanya dengan jalan sebuah gerakan moral bersama secara independen dan tetap satu tujuan.



N.GUNTUR.S

PSIKOLOGI, UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Sabtu, Agustus 09, 2008

Meruntuhkan Universitas Menara Gading


Oleh Edi Subkhan*

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akhir-akhir ini kian meneguhkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan elitis yang tak merakyat. Lewat Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mulai dirintis telah menjadikan kuliah di PTN kian mahal, hal ini dibuktikan dengan sekian banyak pungutan yang dikenakan bagi mahasiswa. Rumor yang berkembang adalah, siapa berani bayar mahal walaupun nilai ujiannya tak lebih baik dari yang tak mampu bayar mahal, maka ia yang diterima masuk kuliah.

Padahal lewat perguruan tinggi negeri mestinya pemerintah melaksanakan tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, termasuk rakyat kecil. Ternyata pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengurangi subsidi untuk PTN sebagai sebuah lembaga pendidikan yang menjadi tanggungjawab negara, di mana rakyat mestinya berhak mendapatkan subsidi tersebut. Jika hal ini diteruskan, lama kelamaan fungsi pelayanan publik dari PTN akan beralih menjadi pelayanan untuk orang-orang tertentu saja, karena PTN sudah menjadi milik pribadi (privatisasi) dan biaya kuliah semakin mahal.

Mahalnya biaya kuliah setelah penerapan PTBHP ini terjadi karena banyak PTN di Indonesia belum mempunyai sumber pemasukan selain dari mahasiswa. Tradisi riset belum tumbuh di PTN kebanyakan, padahal di Barat riset adalah salah satu dari pintu pemasukan dana bagi operasional universitas. Layanan lain seperti percetakan dan penerbitan, short course, program sertifikasi, dan lainnya juga belum banyak memberi kontribusi bagi pemasukan PTN. Jadilah PTN “terpaksa” menaikkan SPP, sumbangan pembangunan, dan pungutan lainnya dari mahasiswa setelah subsidi dicabut via PTBHP.

Di sinilah akhirnya PTN betul-betul menjadi universitas menara gading (ivory tower), yang tak ramah rakyat kecil. Walaupu riset, penerbitan, dan program pelatihan dapat diberdayakan untuk menunjang operasional PT, maka orientasinya hanya untuk mendapatkan untung saja, karena memang tradisi ilmiah terutama riset dan penerbitan belum kuat di PTN negeri ini serta tuntutan pemenuhan dana untuk operasional PTN. Dengan begitu akhirnya tujuan dan hasil penelitian serta penerbitan takkan banyak memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas keilmuan yang semestinya dibangun. Tak hanya itu, hasil karya ilmiah pun akan menjadi elitis untuk profit, dan visi PT untuk ikut memecahkan problem sosial masyarakat dinafikan, begitu juga dengan visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Akhirnya terjadi problem penurunan intelektualitas, yakni pemiskinan intelektual.

Ini problem serius yang dihadapi pendidikan tinggi di negeri ini, yakni ketika negara mulai melepaskan tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kebijakan PTBHP. Karena PTBHP sudah dilegalkan lewat Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 untuk UI, UGM, IPB, dan ITB, dan akan menyusul PTN lain tentunya, maka demo dan seminar yang diupayakan untuk menolak PTBHP di kampus-kampus, baik yang sudah berbadan hukum maupun yang akan menyusul akhirnya tak ada gunanya karena tak dapat membatalkan PP tersebut.

Dengan PTBHP walaupun dengan dalih “untuk kemandirian lembaga” serta memberikan kesempatan bagi lembaga agar dapat mandiri dan leluasa dalam mengurus dirinya sendiri sebenarnya tak dapat diartikan secara langsung dengan cara mencabut subsidi pada PTN. Rakyat kecil yang tak mampu secara finansial mestinya berhak atas pendidikan tinggi yang murah namun tetap bermutu melalui PTN. Dan PTBHP menjadikan mereka tak bisa mendapatkan haknya, mereka telah dizalimi oleh negara, dan negara lewat PTBHP dengan terang-terangan telah melanggar Undang-undang yang dibuatnya sendiri.

Jika negara tak dapat menjalankan peran dan fungsinya, inilah saatnya rakyat untuk melawan, meruntuhkan universitas menara gading, dan mendirikan pendidikan tinggi yang lebih merakyat dan sesuai dengan konteks di mana ia berada. Inilah saatnya intelektual organik –dalam istilahnya Gramsci- tampil memimpin sebuah pergerakan sosial dalam bidang pendidikan yang telah terdiskriminasi oleh kekuasaan negara. Mereka adalah intelektual yang mumpuni secara teoritis dan praktis untuk menjadi pusat dari gerakan sosial di sekitarnya.

Sebuah pendidikan tinggi yang entah ia dinamakan universitas, institut, sekolah tinggi, atau apa yang mengakomodasi semua kebutuhan personal dari warga belajar, konteks daerah sekitar, dengan tanpa menafikan realitas global yang penuh tantangan. Yang tak berorientasi pada bagaimana agar lembaga tersebut dapat eksis, tapi pada bagaimana agar lembaga tersebut mampu secara optimal memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas warga belajar (baca: mahasiswa) dan memajukan daerah setempat.

Selain itu para aktivis pendidikan perlu terus memperjuangkan agar negara tak begitu saja memutus subsidi untuk PTN. Para pengelola dan segenap sivitas akademika perlu memikirkan bagaimana agar PTN dapat menuju universitas berbasis riset yang ditandai kuatnya tradisi ilmiah dalam memajukan keilmuannya dengan tanpa meninggalkan peran dan fungsinya berorientasi pada pemecahan masalah sosial masyarakat. Hingga biaya kuliah dapat ditekan dan PTN menjadi lebih berkualitas dan merakyat dengan hasil risetnya dan keberpihakannya pada pemecahan masalah sosial masyarakat.

Berdayanya masyarakat dengan mendirikan pendidikan tinggi sendiri yang lebih merakyat tak sekadar sebagai antisipasi ketika negara tetap tak mau bertanggungjawab dalam menangani pendidikan tinggi untuk rakyat kecil ini. Hal itu merupakan bukti bahwa kebijakan pendidikan tinggi dari pemerintah memang tak memuaskan rakyat kecil, bahkan sama sekali tak memihak rakyat sendiri. Pendidikan formal kita telah bobrok, tak berdaya terseret arus neoliberalisme, hingga yang terjadi adalah diskriminasi pendidikan. Dalam pergerakan sosial baru pada bidang pendidikan ini, kita layak memberikan apresiasi pada sahabat-sahabat kita di SLTP dan SMU Qaryah Thayibah, Kalibening, Salatiga yang mulai merintis perguruan tinggi alternatif.