online degree programs

Jumat, Oktober 31, 2008

Solo vs Sragen

Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang tersisa selain potret, juga kata?

Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan pecinta sepak bola kepada Lionel Messi.

Memang, kemudian kota yang berbatas langsung dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat, melalui Perda Nomor : 4 Tahun 1987, menetapkan hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan waktu tersebut [dianggap] adalah ketika Pangeran Mangkubumi -yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (ke-) I- menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.

Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu, kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian didepankan.

Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak, seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Sragen membasiskan dirinya dengan IT [Informatical Technology}, yang masih mempesonakan, melalui kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen, dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang ditolak oleh Jurgen Habermas.

Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen, terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo [Surakarta]. Kota yang mem-brand¬-kan dirinya “The Spirit of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16 Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.

Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton, yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti dengan antusias dan belum dianggap profan [terlihat disini, bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan. Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya, manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa keterlanjuran sejarah dan budaya].

Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima [PKL] Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu, diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton ditonton oleh –kurang lebih- 400.000 pasang mata. Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu, mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo, melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala keimanan.

Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya. Meskipun, tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo, setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang Habermas, oleh Frans Budi Hardiman.

Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta kelahiran.

Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia [sebagai makhluk hidup] yang membutuhkan pemenuhan atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi, dan sebagainya, di manapun dia berada.

Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara, penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan” kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya, sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”.

Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen. Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan dengan manusia banyak [massa], tetapi dalam perannya yang berbeda. Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa, yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu.

Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi keteraturan.

Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa menentukan sebuah policy, harus pertama kali mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi sekedar “bagaimana”.


Fah_itusaja@yahoo.com

Kamis, Oktober 30, 2008

OMEGA, TITIK HUKUM PIDANA 1



Oleh : Awaludin Marwan, SH2

Hukum pidana mengalami evolusi sekian lamanya hingga menjadi sebuah bidang sains yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain, teknologi dan kebutuhan manusia. Sebelumnya, coretan ini dibuat atas dasar pengabdian seorang murid pada gurunya, luluk kepada Ali Masyhar, seorang yang selalu dirindukan ditengah-tengah kegelisahan intelektual, karenanyalah si murid bisa membaca, menulis, dan berbicara apa adanya. Sang guru –walaupun nanti biasanya dikritik oleh temen-temen embun pagi, sebab mereka kaum yang tidak percaya eksistensi guru dan murid, mereka teralu kolot dengan mengatakan semua manusia adalah guru dan semua manusia adalah murid– telah menelurkan sebuah karya yang perlu di kritisi sebagai bahan penguatan dan pengokohan materi buku ini. Setiap buku, semakin kontroversi tentunya semakin laris, namun bukan itu saja yang diharapkan, melainkan sekadar mengisi kekosongan intelektual. Karya tanpa kritik ibarat hidup tanpa nyawa, tinggal jasad dan puing-puingnya saja.

Pertama kali, saya ingin menyampaikan betapa berartinya sebuah “prolog” dalam kumpulan karya. Prolog tidak hanya sekedar rasa syukur kepada Tuhan dan terima kasih pada suatu kaum, namun prolog yang berisi prawacana yang menghantarkan pembaca pada benang merah intelektual antara satu karya dengan karya lain. Memberikan ilustrasi dan synopsis singkat berikut menggelitik tiap sub judul akan menggugah dan membawa pembaca tidak hanya dipersembahkan sederetan infomasi, namun diajak untuk berfikir dan berdialog dengan sebuah karya.

Selanjutnya, pada bagian judul pertama karya sang guru,3 berjudul pelecehan hukum di Indonesia penulis merasa kesulitan dengan teori sibernetika ala Parson. Gambaran teori parson yang dipercaya oleh Lawrence M. Friedman4 sangat susah dipahami tanpa adanya table yang ditanpilkan secara visual. Meskpiun teori ini sudah using dan perlu diperbaharui, karena perkembangan di bidang sains sudah begitu besarnya, karya Jurgen Hubermas, Fitjof Capra, dan penulis besar lain jasanya cukup besar dalam perubahan-perubahan di bidang teori/ ilmu/ konstruk pemikiran, sehingga konsepsi Parson yang hanya seorang ahli biologi –memaksakan semuanya kebentuk permainan sistem– perlu juga diperbaharui sesuai dengan perubahan-perubahan di bidang sains.
Selain itu, di sini saya juga ingin mengatakan bahwa “warna sosial” relatif rendah ketimbang rational legal study dalam bab-bab pertama yang membawa semiotic linguistic kata besar “tatanan sosial”. Perkembangan ilmu sosial yang sedemikian pesatnya, proses dialektika pertarungan konsepsi ilmu sosial tidak banyak masuk dalam buku ini.
Anthony Gidens dan Jonathan Turner5 misalnya, memberikan sumbansih yang besar dalam perkembangan ilmu sosial yang perlu di tangkap oleh semua bidang sains, termasuk ilmu hukum, terlebih-lebih kajian sosiologi hukum. Dalam The Social Theory Today, Gidens dan Turner mempertautkan konsepsi-konsepsi baru mulai dari : sentralistas pemikiran sosial Jeffrey C. Alexander; Behaviorisme versi George C. Homans; interaksionisme simbolik milik Hans Joas; Teori Parsonian terbitan otak Richard Munch; Analytical Jonathan H. Turner, Strukturalisme, Post Strukturalisme dan Produksi Budaya kepunyaan Anthony Gidens sendiri; Etnometodologi sindrom John C. Heritage; Teori Strukturisasi dan Praksis Sosial kepercayaannya Ira. J Cohen; Analisis Sistem Dunia keyakinannya Immanuel Wallerstein; Analisis Kelas ajaran Rapl Miliband; Teori Kritis peninggalan Axel Honneth, maupun Sosiologi dan Metode Matematika ungkapan Thomas P. Wilson6, harusnya ikut berurun rembug menyelesaikan persoalan-persoalan sosial kekinian.
Di samping itu, atau tepatnya lepas dari itu, masih pada judul pertama, penulis menemukan kata-kata “profesionalisme sumber daya manusia aparat” yang ditemui juga pada halaman-halaman berikutnya, 108, “menggagas adanya lembaga penyidikan : sebuah kritik pada lembaga kepolisian”. Rendahnya profesionalisme aparat memang telah dirasakan lama, namun penyelesaian dan pengurusannya yang belum terkupas tuntas. Bagi Prof. Barda,7 profesionalisme aparat dapat ditanggani salah satunya dengan pendidikan hukum akademik. Gagasan ini yang perlu ditangkap untuk menyelesaikan persoalan profesionalisme aparat selain pendidikan moral keagamaan, moral humanism, dan etika.
Profesionalisme aparat oleh Sang Guru banyak disinggung, namun terjadi ketimpangan umpamanya saja struktur hukum (legal structure) yang dibahas hanya sebatas institusi kepolisian, sedangkan kejaksaan, hakim, dan penyidik PNS tidak diikut sertakan dalam pembahasan.

Berikutnya, tiba pada pembahasan pendidikan hukum kritis dalam buku ini. Pendidikan hukum selama ini saya pandang hanya sebatas tranformasi feodalistik dan kolonialistik Eropa Daratan terutama Belanda. Sehingga pendidikan hukum tak bisa melepaskan diri dari jerat-jerat doktrin yang tidak tahu juntrung kesahihan dan kebenarannya. Ilmu pengetahuan tak netral dan bebas nilai, sama halnya ilmu hukum adopsi Eropa Kontinental (civil law).

Nah, kalaupun pendidikan dipahami sebagai alat perlawanan, penjauhkan diri dari penindasan. Maka konsepsi Paulo Freire8 perlu digelakan, di dukung dengan mahzab teori kritis aliran Frankfurt. Teori Kritis milik Mark Horkheimer9 banyak kebenaran di dalamnya, yang seharusnya bisa dilengkapkan selain teori hukum kritis yang sudah matang milik Robert M. Unger10.

Unger sendiri percaya bahwa hukum memang tak netral dan tak bebas nilai, sebuah keyakinan absolute hasil dialektika antara asumsi rasional dan kritikal yang bertarung dalam wacana perkembangan sains. Sehingga kerangka normatif hanyalah akan membawa masyarakat dalam kesengsaraan tiada pernah berhenti. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang bertumpu pada pengindahan subjek masyarakat sebagai pelaku utama hukum, pertama, posisi yang kurang seimbang antara penguasa dengan rakyatnya, dominasi penguasa memberikan tafsir pada kententuan normatif, sehingga cita hukum diukur dari subjektivitas dan atikulasi/ agregasi kepentingan mereka, barometer kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat tidak menjadi prioritas yang seharusnya. Hal ini di dukung oleh pernyataan Roberto M. Unger,11 bahwa hukum publik dan hukum positif menjadi sarana untuk memanipulasi relasi sosial atas nama kebijakan-kebijakan yang sengaja dipilih oleh kelompok-kelompok yang berkuasa. Kedua, hukum menuju ke kemapanan tidak mengijinkan perubahan. Perspektif cara berhukum yang ditawarkan selama ini mendukung penuh adanya proses kemapanan, bisa di tempatkan bahwa perubahan hukum tertulis hanya terjadi pada kententuan-kentuan yang berdekatan dengan isu politik dan kepentingan. UU bergantian tiap setengah dekade di Indonesia yang mengatur masalah pemilu, pilpres, pilkada dan sejenisnya, namun UU kemaslahatan umat, RUU KUHP dan regulasi penting, agraria, perkawinan, tidak kunjung mengalami perubahan.

Oh ya, di dalam buku Sang Guru juga perlu di tambah secarik pemikiran tentang konsep KUHP. Mau, tidak mau, kita yakin bahwa sumber paling vital di sistem hukum pidana nasional adalah koodifikasi sumber hukum materiil yang masih menggunakan Weetbook van Recht WvS12 peninggalan si-bangsat Belanda. Jadi, hendaknya disetiap buku-buku yang membahas tentang hukum pidana perlu di promosikan akan pentingan KUHP baru bagi bangsa sendiri, sebagai tanggung jawab sosial memecahkan persoalan sentral di pembangunan hukum pidana nasional.


Awaludin Marwan, SH


1. Di sampaikan di jagongan bedah buku karya sang guru “Ali Mashyar, SH, MH” di shelter kegelisahan, Sampangan
2. Wong edan, yak nggenah
3. Ali Masyhar. Pergulatan Kebijakan Hukum PIdana dalam Ranah Tatanan Sosial. 2008. UNNES PRET. Halm. 3-5
4. Lawrence Friedman, Legal Culture and Welfare State” dalam Gunther Teuber (Ed), Dilemas of Law in the Welfare State. Berlin New York: Walter de Guyter, 1986, halm. 12-27. William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order and Power, Reading, Mass: Addisin Wesly, 1971, hal 5-13. Juga dalam Lawrence Friedman, Law and Develompment, A General Model”, dalam Law and Society Review, No. VI. 1972. Lihat juga. Esmi Warassih. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. 2005. Suryandaru Utama. Semarang. Halm. 81
5. Anthony Gidens dan Jonathan Turner. Social Theory Today. 1987. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Social Theory Today, Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial. 2008. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
6. Ibid., 1-667
7. Baca: Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. 2007. Prenada Media Group. Jakarta. Halm. 15-30
8. Made Pramono. Menyelami Spirit Epistemologi Paulo Freire. Dalam, Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. 2007. AR-RUZZ MEDIA. Yogjakarta. Halm. 125-146
9. Sunarto. Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik atas Masyarakat Modern. Dalam, Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. 2007. AR-RUZZ MEDIA. Yogjakarta. Halm. 93-104
10. Roberto M. Unger. Law and Modern Society Toward a Criticism of Social Theory. 1976. Diterjemahkan oleh Dariyanto dan Derta Sri Widowatie. 2007. Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern. Nusamedia. Bandung. Halm. 311
11. Ibid., Halm. 311
12. Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru. Sebuah Restrukturisasi Sistem Hukum Pidana Indonesia. 2007. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

Rabu, Oktober 29, 2008

Sumpah Pemuda Mulai Kepaten Obor ditengah Perubahan Kultur Dan Ancaman Dis Integrasi Bangsa

Ditengah laju waktu dan perubahan kultur, peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa memang merupakan sebuah ekspektasi bagi terciptanya sebuah negara yang utopis. Oleh karena pemuda merupakan aset dan pilar yang paling berharga bagi bangsa, hal itu cukup ber alasan karena ditangan pemuda masa depan serta integritas bangsa dan negara dipertaruhkan.
Masih terlitas jelas dalam benak rakyat Indonesia, bagaimana kemerdekaan yang diperoleh pun tak luput dari peran serta pemuda. Salah satunya adalah dengan lahirnya organisasi pemuda Budi Utomo pada tahun 1908, serta ikrar sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 yang merupakan sebuah instrument pemersatu bangsa dan cikal bakal dari kemerdekaan. Bukti tersebut merupakan bukti nyata bahwa hanya pemuda memegang peran penting dalam setiap perubahan.
Sumpah Pemuda Merupakan Sebuah Paradigma
Sumpah pemuda merupkan sebuah paradigma yang mampu membawa dan memberikan spirit bagi pemuda dan rakyat Indonesia pada umumnya guna merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, bahkan refomasi 1998 juga merupakan buah kerja keras dari pemuda dan mahasiswa.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang akankah semangat sumpah pemuda masih melekat dalam hati dan sanubari, ataukah sumpah pemuda sudah kepaten obor dan hanya merupakan slogan semata? Mungkin sepenggal pertanyaan tersebut masih menjadi dilema dan pertanyaan yang mebutuhkan beribu jawaban. Karena sumpah Pemuda yang dianggap sebagai icon bagi integrasi bangsa masih dipertanyakan keberadaannya, mungkin saja pemuda sekarang ini tidak mengerti apa itu Sumpah Pemuda.
Sedangkan masih banyak ancaman baik ancaman internal maupun ancaman eksternal yang dapat mengacam integritas dan keutuhan bangsa. Mungkin sumpah pemuda merupakan senjata yang paling ampuh untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut, dis interasi bangsa merupakan salah satu momok yang menakutkan. Selain itu juga ancaman eksternal juga bisa timbul dari pergeseran dan perubahan kultur ( Culture Engineering ) yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang sejatinya Indonesia merupakan negara yang menghormati menjunjung tinggi perbedaan.
Pengaruh Perubahan Budaya ( Culture Engineering )
Budaya Indonesia memang sangat kental dengan adat ketimuran, akan tetapi seiring dengan laju, perkembangan serta perubahan globalisasi yang secara otomatis banyak memberikan influence baik negative maupun positif bagi perubahan budaya ( Culture Engineering ).
Dapat kita lihat bagaimana para pemuda sekarang lebih memuja budaya-budaya yang bersifat hedonis ketimbang menjaga nilai-nilai budaya kita sendiri, saya pernah mewawancarai seorang mahasiswa dari salah satu universitas terkemuka, mereka lebih senang menghabiskan malam dan hari-harinya di Club malam, bahkan mengatakan nggak gaul kalau pemuda sekarang nggak pernah dugem, free seks juga bukan merupakan hal yang tabu lagi. Mereka beranggapan hedonisme barat merupakan salah satu sarat pergaulan.
Organisasi kepemudaan yang seharusnya sebagai wadah diskusi dan media untuk mengkritisi, justru lebih mementingkan golongan masing-masing dan acap kali menimbulkan kekisruhan. Apakah ini sebuah pertanda bahwa kadar Nasionalisme sudah mulai menurun? Disisilain juga banyak organisasi kemasyarakatan yang dengan terang-terangan mengecam dan menabuh genderang peperangan melawan kapitalis. Pertikaian antar pemuda dan mahasiswa yang sering terjadi dewasa ini harusnya sudah cukup menjadi renungan untuk kita, bagaimana bagaimana fenomena tersebut sangat membahayakan keutuhan bangsa.
Perlukah adanya pembacaan ikrar sumpah pemuda di berbagai media untuk membangkitkan Nasionalisme dan juga menghindari agar Sumpah Pemuda tidak Kepaten Obor?
Peran media sangat diperlukan dalam upaya untuk menumbuhkan jiwa nasionaisme, karena media merupakan salah satu wahana yang paling dekat dan memliki posisi dominan di masyarakat. Media diharapkan bukan hanya menyajikan informasi dan hiburan saja, namun dalam setiap sajian yang diberikan media kepada masyarakat hendaknya lebih memiliki pesan moral dan ikut berperan aktif dalam upaya menumbuhkan Nasionalisme yang merupakan intisari dari isi Sumpah Pemuda sehingga Tidak Kepaten Obor dan tetap menjadi sebuah paradigma patut kita bayar mahal dan menjadi harga mati kita untuk mempertahankannya.
Menjadi tanggung jawab kita agar keutuhan budaya dan integritas bangsa tetap terjaga, hanya ditangan pemuda lah apa yang menjadi cita-cita founding father tercapai, dan rakyat Indonesia banyak berharap adanya perubahan yang lebih baik ( progresif ).

By: Andi Peka n The Moment@ Lead Guitar

Selasa, Oktober 28, 2008

Kawin Kontrak Sebagai Solusi Tepat

*Muhtar Said, C.SH*

Di masa sekarang yang serba modern dan global ini banyak memunculkan masalah sosial yang kompleks, sepertinya tidak ada hari tanpa masalah. Semua tingkah laku yang bertentanngan dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat, terutama norma agama dan budaya sudah dianggap lazim, seakan-akan mereka sudah meninggalkan adab ke-timur-an mereka dan mengganti denan budaya barat yang sekuler. Misalnya anak muda sekarang lebih senang memakai pakaian yang mini, dimana orang lain dapat melihat lekuk tubuh orang yang memakai baju tersebut. Sehingga menimbulkan hasrat biologis orang yang melihatnya.jadi tidak heran kalau sekarang ini banyak kasus pemerkosaan dan pencabulan. Selain itu pergaulan jaman sekarang sangatlah bebas. Sehingga jika kita salah bergaul kita bisa terjerumus kedalam lingkaran setan. Tragisnya yang banyak melakukan hal ini adalah generasi muda. Yang mana mereka adalah generasi penerus bangsa.kalau sudah begini bagaimana bangsa Indonesia bisa beradab.
Dengan kebudayaan westernisasi dan pergaulan yang sangat bebas seperti saat ini banyak sekali kasus perzinahan. Pada decade terakhir ini saja, masalah perzinahan di kalangan mahasiswa sangatlah merajalela. Banyaknya mahasiswa yang terjerumus dalam perzinahan di kalangan kampus adalah suatu fenomena yang terjadi di berbagai universitas. Hal itu seakan sudah menjadi sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi kita.Bahkan sekarang ini sulit bagi kita untuk mencari mahasiswa yang masih perjaka dan perawan. Karena sebagian besar mahasiswa sudah kehilangan keperawanan ataupun keperjakaanya ketika mereka masih kuliah. Maka sikap seperti suami istri di kalangan mahasiswa sudah biasa dan lazim dilakukan.
hubungan seperti suami istri di kalangan mahasiswa sepertinya sudah menjadi hal yang biasa dan menjadi kegiatan rutin mereka. Pelaku merasa bahwa hal yang telah dilakukannya seakan tidak ada kaitanya dengan dosa faktor utamanya adalah banyaknya tempat kost dan kontrakan yang tidak ada ibu kost atau dengan kata lain kost-kostan bebas, hal inilah yang membuat mahasiswa dan mahasiswi seakan merasa bebas karena tidak ada yang menjaganya. Dan kebebasan itu banyak yang di salahgunakan oleh mahasiswa maupun mahasiswi untuk membawa pasangan mereka ke tempat kostnya.karena tidak ada yang manjaganya maka kesempatan untuk berbuat mesum sangatlah besar. Atau bahasa kerennya sekarang adalah sex in the cost.
Oleh karena itu, untuk mencegah perzinahan di kalangan mahasiswa maka solusinya adalah dengan kawin kontrak. Karena setidaknya dengan kawin kontrak mereka dapat mencegah perzinahan. Yang sekarang ini semakin marak dan populer dikalangan mahasiswa. Mungkin mahasiswa tersebut dapat kawin kontrak hanya pada massa perkuliahan saja. Setelah lulusdari kuliah terserah mereka bercerai atau melanjutkan perkawinan tersebut.
Kawin kontrak dikalanan mahasiswa sudah banyak dilakukan di kota pelejar Jogja. Kawin kontrak juga didukung oleh beberapa golongan, yaitu kaum syiah dengan dasar HR. Abu Abas dari kitab mizan kubro juz 2 nomer 39 karya Abdul Wahab Bin Ahmad Bin Ali Ansori. Hadis tentang diperbolehkan kawin kontrak juga diriwayatkan oleh HR.Jbr Bin Abdulah dan Salamah Bin Al Uku’, dari kitab soheh muslim juz 1 halaman 585 karya Muslim. Dan yang masih mengenakan kawin kontrak adalah Zufa Al Hanafi.

Kordinator Komunitas Mata Hati/Mahasiswa Hukum Unnes

Musim Komunitas

*Muhtar Said C.SH*

Jika saudara Fahmi menulis tentang musim PKMM (exprees 23 okteober 2008) sekarang giliran saya untuk menulis tentang musim komunitas. Di gazebo hukum ada tempelan pamflet yang mengajak mahasiswa untuk ikut diskusi, walaupun diskusinya bernuansa politis tetapi itu sangat baik daripada tidak ada sama sekali yang berani menyadarakan mahasiswa bahwa betapa pentingnya ikut komunitas-komunitas diskusi.
Di fakultas hukum sendiri sekarang juga banyak bermunculan komunitas-komunitas seperti komunitas Hukum Tata Negara, Komuniatas Hukum Pidana, komunitas Hukum Perdata, komunitas Hukum Agraria dan bahkan ada komunitas yang terdiri dari anak-anak semester 1 yang bernama komunitas Cahaya. Terlepas dari komunits-komunitas itu didirikan atas dasar gengsi atau ketulusan hati, tetapi yang jelas ada niatan untuk menambah wawasan dan intlektual mereka masing-masing.
Yang lebih menarik lagi jika hasil diskusi dikomunitas itu dituangkan dalam dunia tulisan, maka tulisan itu akan menjadi semacam pencerah bagi mahasiswa lain yang ikut membacanya, sekaligus kita juga bisa mengamalkan ilmu yang kita punya kepada orang lain. Karena dunia tulisan itu lebih menghantam dan mengena, tulisan itu menunjukan kekuatan pikiran intlektualis ( The Great Intellektual) yang menunjukan eksistensinya di dunia. Sangat memalukan jika mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai orang intlek tidak bisa menulis dan berdialektika. Padahal itu semua dapat diperoleh dari ikut komunitas diskusi.
Perlu diketahui munculnya tokoh-tokoh nasional itu sebenarnya dilahirkan dalam komunitas diskusi seperti Rizal Malarangeng, Fahjrul, dan Saiful Mujani dengan Forum mahasiswa ciputatnya(Formaci), tidak usah jauh-jauh sepeti Taufiqurrahman SS(Sarjana Sinting), Edy Subhan Spd(Sarjada Pek Dewe), Awaludin Marawan SH(sarjana Humor), Giy(pengamat Ekonomi jurusan geografi), Hariz bahkan seorang Fahmi sekalipun juga dilahirkan lewat sebuah komunitas yang bernama embun pagi.
Hangat-hangat tai ayam
Yang paling menyedihkan jika suatu komunitas didirikan hanya pada momen-momen tertentu seperti pemira ( BEM dan DPM). Komunitas seperti itu hanya akan bertahan setelah Pemira selesai, ini bisa dinamakan diskusi pragmatis, dibuat untuk suatu kepentingan politis bukan untuk kepentingan meningkatkan daya intlekualis.
Jika otak pendiri komunitas sudah menjadi ketua BEM atau DPM dia pasti tersibukan dengan kegiatan-kegiatannya sendiri dan akhirnya tidak meneruskan komunitasnya itu. padahal hakikat dasar kesuksesan pengurus BEM itu adalah regenaerasi lewat diskusi-diskusi. Seandainya forum diskusi dilandasi dengan niatan yang sangat tulus demi peningkatan intlektual mereka, pasti tidak akan ada kejadian seminar yang diwajibkan oleh dosen, karena ketakutan tidak ada pesertanya. Dampak positif berdirinya komunitas diskusi akan melahirkan rasa ingin tahu bagi setiap anggota, dan jika itu sudah terjadi maka jika ada seminar mereka pasti akan datang dengan senidirinya tanpa ada paksaaan dari birokrat, karena mereka sudah sadar dengan miskinya pengetahuan mereka diri sendiri.
Pendirian komunitas Diskusi-diskusi itu merupakan proyek besar bagi kita semua, tidak hanya LSM yang mempunyai proyek, tapi mahasiswa yang mempunyai jiwa intlektual juga mempunyai proyek berupa penyadaran bagi mahasiswa lainnya untuk ikut atau mendirikan sebuah komunitas. Anggota komunitas cukuplah terdiri dari 4 sampai 5 orang saja, karena lebih efektif. Komunitas yang mengandalkan jumlah anggota yang banyak itu hannyalah komunitas tim sukses suatu calon ketua BEM atau DPM. Dan semua itu akan sirna setelah pemira selesai..

*Mahasiswa Fakultas Hukum Semester 5/Sekretaris Jendral Bem Fakultas Hukum*
Said_muhtar@yahoo.co.id

Dari Sumpah Pemuda Ke Sumpah Pocong

Dari Sumpah Pemuda Ke Sumpah Pocong
*Muhtar Said C.S.H*

Sumpah Pemuda
Sumpah pemuda sudah luntur ditelan oleh keadaan zaman, para pemuda sudah mulai berpikiran praktis demi kepentingan dirinya sendiri, oleh karenanya Bertepatan dengan hari sumpah pemuda, berarti mengingatkan kita tentang kekuatan yang dimiliki para pemuda sangatlah besar, maka harus dijadikan renungan. Sudah saatnya pemuda ikut unjuk gigi dalam hal keiktusertaannya membangun bangsa.
Sejarah mengatakan pada tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978 dan 1998 pemuda menjadi alat penggerak dalam pergerakan. Khususnya pada tahun 1928 tanggal 28 Oktober terjadi suatu peristiwa yang dipelopori oleh para cendikiawan muda dengan mendeklarasikan sumpah pemuda, untuk menyatukan sinergritas pergerakan. Sumpah pemuda merupakan salah satu dari pergerakan yang dipelopori kaum muda, yang bertujuan membangkitkan rasa nasionalisme bangsa ditengah penindasaan kaum penjajah.
Mahasiswa
Pemuda identik dengan mahasiswa, karena mahasiswa agen perubahan. Akan tetapi, sekarang terbalik 180 derajat. Mahasiswa sebagai kaum muda yang diharapkan mampu membangun negara yang masih terpuruk ini, terjebak dalam kehidupan yang egoistis atau individualistik. Mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Dalam pikiran mereka hanya terdapat perkataan “setelah lulus saya mau melamar pekerjaan”. Itu menandakan mereka mementingkan dirinya sendiri, hanya sedikit mahasiswa yang berfikir “setelah lulus saya akan membuat lapangan pekerjaan”.
Penerapan Sifat individualisme sungguh bertolak belakang dengan para seniornya dulu, Tahun 1998 mahasiswa hanya mampu menjadi pendobrak, belum bisa menjadi pengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh orba, karena mereka belum siap menerima suasana baru. Mahasiswa yang hidup pada zaman sekarang diharapkan bisa mengisi kekosongan tersebut tapi mereka tidak menyadarinya, hal ini menunjukana rasa nasionalis mereka berada dibawah kepentingan individualis.

Sumpah Pocong
Nasionalisme yang dibangun oleh mahasiswa pada tahun 1928, hanya dijadikan sebagai hari-hari nasional, Subtansi sebuah sumpah pemuda tidak dihayati dan dilaksanakan di zaman sekarang. Dulu pemuda-pemuda bersatu untuk membangun bangsa, sekarang pemuda malah bercerai berai. sedangkan organisasi Mahasiswa sepeti BEM/DPM-alat perjuangan mahasiswa-, sekarang identik dengan sekumpulan panitia kegiatan yang tidak mempunyai rasa kerakyatan. Organ ekstra kampus menjadi harapan terakhir, tapi mereka malah saling bermusuhan tidak mau bergerak dan berjuang bersama-sama. PMII, LMND, HMI, KAMMI dan GMNI sibuk dengan kepentingan masing-masing kelompoknya. Yang jadi pertanyaan “apakah perlu para pemuda disumpah POCONG” agar bisa bersatu kembali dan bergerak bersama-sama untuk menerapkan rasa nasionalisme berada diatas individualisme ditengah penindasan para kaum kapitalis. Karena sumpah pocong merupakan ritual yang paling disakralkan di masyarakat, ketimbang sumpah-sumpah yang lainnya.
Kapitalis sudah menjadi hantu yang berkeliaran bebas, bangsa Indonesia dijadikan buruh dirumahnya sendiri. Maka jika boleh meminjam ajaran Karl Marx hanya ada dua kata “rebutlah perubahan”. Dimulai dari menanamkan jiwa nasionalis didalam dirikita sendiri dan berjuang membangun bangsa bersama-sama tanpa memandang golongan, ras, suku, ormas dan agama. Jadikanlah cinta tanah air sebagai patokan untuk persatuan.

*Mahasiswa Hukum*
Said_muhtar@yahoo.co.id

Senin, Oktober 27, 2008

HEGEMONI BRITISH ENGLISH DAN AMERICAN ENGLISH DI INDONESIA (II)

oleh: Muhammad Taufiqurrohman

HEGEMONI BRITISH ENGLISH DAN AMERICAN ENGLISH
Demikianlah sekilas tentang teori hegemoni Gramsci, mulai dari inspirasi, konteks yang melatabelakangi kelahirannya, perkembangan yang menyertainya dan juga konsep dialek yang meneguhkan bahwa pembentukan sebuah entitas dialek baru sangatlah wajar bahkan sesuatu yang mestinya tak dapat dihindarkan.

Dalam konteks perkembangannya sekarang yang sudah memasuki ranah budaya (yang sering disebut sebagai "imperialisme budaya"), konsep hegemoni seringkali digunakan sebagai pisau analisis. Ranah kebudayaan yang sangat luas justru semakin memperlihatkan urgensi konsep hegemoni Gramsci, terlebih jika dikaitkan dengan globalisasi. Salah satu aspek budaya yang sangat terkait dengan globalisasi seperti yang diuraikan di pengantar di atas adalah bahasa. Dalam konteks globalisasi inilah, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional mau tidak mau tidak bisa melepaskan dirinya dari relasi kuasa dan hegemoni yang berada di dalamnya.

Namun, tulisan ini tidak ingin mempersoalkan terlalu jauh tentang hegemoni bahasa Inggris di dunia internasional (dan khusunya di Indonesia) karena relavansinya sudah tidak dianggap begitu penting lagi. Hal ini dikarenakan konsekuensi logis penerimaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah menemukan perkembangan yang tak terduga sebelumnya. Mengikuti teori subaltern, lahirnya bahasa Inggris versi India, versi Malaysia, versi Singapura dan versi-versi yang lainnya telah meruntuhkan hegemoni bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika di dunia. Artinya, sebagai bahasa milik dunia semua versi bahasa Inggris di seluruh dunia dianggap sama, sederajat dan sah untuk digunakan sebagai alat komunikasi. Terlebih jika kita memang benar bahwa terdapat korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dengan produksi bacaan dan pengetahuan suatu masyarakat, juga tingkat daya saing dalam pergaulan internasional.

Bertolak dari pandangan tersebut, tulisan ini ingin memfokuskan pada hegemoni British English dan American English di Indonesia. Bagaimanakah pisau analisis hegemoni membedah kerja kekuasaan British English dan American English di Indonesia?
Sebagaimana kita ketahui bahasa mempunyai berbagai macam struktur; grammar, lexical, fonologi, morfologi, dialek, aksen, intonasi, dsb. Kajian dalam tulisan ini tidak akan membahas bidang grammar dan lexical dalam British English dan American English. Kajian akan difokuskan pada fonologi, khususnya dalam dialek yang meliputi aksen dan intonasi. Hal ini dikarenakan dalam wilayah grammar dan lexical tidak terdapat banyak perbedaan dalam berbagai macam varian bahasa Inggris di dunia. Lain halnya dalam ranah fonologi, bentuk bahasa Inggris versi India, Malaysia dan Singapura bisa menjadi contoh betapa perbedaan dalam ranah fonologi bahasa Inggris---ketika berhadapan dengan kekayaan kekhasan lokalitas masing-masing masyarakat atau etnis--- bisa menjadi demikian beragam. Jadi, fokus kajian tulisan ini adalah membedah hegemoni British English dan American English dalam wilayah fonologinya di Indonesia.

Menurut teori hegemoni Gramsi, kekuasaan adalah sesuatu yang dapat memproduksi kepatuhan atau pengaruh dalam wujud konsensus (consent) bersama. Oleh karenanya, sifat kekuasaan bukanlah semata-mata sesuatu yang harus dimiliki di tangan tetapi sifatnya dapat diketahui dari bentuk-bentuk kepatuhan atau kesepakatan pihak-pihak yang terkena efek kekuasaan tersebut. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sesuatu yang netral yang dapat diperebutkan oleh pihak-pihak yang menginginkannya.

Dalam konteks pembicaraan kita, sesuatu yang diperebutkan tersebut bernama cara atau versi bahasa Inggris. Sedangkan pihak-pihak yang memperebutkan adalah British English, American English dan (semestinya) Indonesian English (bahasa Inggris versi Indonesia). Bahkan mungkin juga peserta yang turut berkompetisi adalah bahasa Inggris versi Jawa, versi Padangm versi Batak, bersi Sunda atau bahkan mungkin versi Irian. Hal ini dikarenakan oleh aksentuasi berbahasa dalam ranah fonologi yang sangat beragam di masyarakat kita. Keragaman aksentuasi inilah yang berpengaruh dalam pembentukan versi berbahasa Inggris di masing-masing wilayah.

Mengikuti perspektif hegemoni Gramsci, British English dan American English mestinya adalah peserta biasa yang harus berkompetisi untuk memeperebutkan kekuasaan yang bernama versi bahasa Iggris tersebut. Jadi, British English dan American English mestinya tidak secara otomatis menjadi pemenang atau pemegang kekuasaan tersebut. Satu-satunya yang bisa menyebabkan perolehan kekuasaan tanpa kompetisi adalah tidak adanya lawan yang mestinya adalah bentuk baru bahasa Inggris versi Indonesia. Pentingnya konsep hegemoni adalah membongkar keadaan tanpa persaingan yang menjadikan British English dan American English dengan mudah menghegemoni cara berbahasa Inggris di Indonesia. Penggunaan versi berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang memang begitu adanya (taken for granted) melainkan sesuatu yang terkonstruksi oleh struktur-struktur hegemoni tersebut.

Kekuasaan dalam perspektif hegemoni selalu mempunyai dua unsur, yaitu dominan (penguasa) dan subordinat/subaltern (pihak yang dikuasai). Kekuasaan dalam wujud cara berbahasa Inggris di Indonesia dengan demikian dipegang oleh British English dan American English sebagai dominan dan Indonesian English (kita andaikan dia ada) sebagai subordionat. Mungkin bisa dimasukkan dalam versi Indonesia adalah cara berbahasa Inggris dengan dialek jawa yang masih sangat kental. Kita bisa melihatnya pada bahasa Inggris beberapa tokoh nasional kita, seperti Gus Dur dan Amin Rais. Cara berbahasa Inggris kedua tokoh ini oleh pemegang “standard English” di Indonesia dianggap sebagai tidak layak (subordinate). Meskipun tanpa adanya subordinat pun posisi British English dan American English sebagai dominan tetap sah bahkan justru semakin legitimate.

Kesadaran akan konstruksi tersebutlah yang menjadi obsesi terbesar teori hegemoni. Bahwa penggunaan bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika bukanlah sesuatu yang memang seharusnya diterima tetapi masih bisa dipertanyakan bahkan bisa dilawan dengan bahasa Inggris versi baru, yakni versi Indonesia.

Dalam pengertian ini, fonologi British English dan American English telah memegang kekuasaan karena dia dipatuhi dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkena efeknya. Dalam pembahasan kita, pihak yang terkena efek kekuasaan hegemoni British English dan American English tersebut adalah masyarakat pengguna bahasa Inggris di Indonesia.

Bagaimanakah mekanisme hegemoni British English dan American English bekerja di Indonesia? Hegemoni British English dan American English dipertahankan setidaknya melalui beberapa institusi. Pertama dan yang palingutama adalah sekolah dan perguruan tinggi. Acuan yang dipakai oleh kurikulum bahasa Inggris adalah British English dan American English. Hal ini bisa kita lihat dari pakar-pakar pembuat kurikulum yang hampir semuanya adalah lulusan Amerika atau Inggris. Juga, secara otomatis melalui kewajiban memakai kamus versi British English dan American English yang masih sangat resmi semacam Oxford Dictionary. Kedua, kelas menengah dan atas masyarakat Indonesia. Yang termasuk kelas ini adalah mereka yang seringkali berkunjung ke luar negeri. Terakhir adalah melalui media, khususnya media elektronik. Hal ini bisa kita lihat dari British English atau American English yang wajib digunakan oleh para pembawa berita atau presenter musik seperti VJ di beberapa media elektronik Indonesia. Beberapa institusi inilah, yang disadari atau tidak, telah mengukuhkan hegemoni British English dan American English.

Pemertahanan hegemoni “standard English” semacam ini juga terjadi di beberapa negara Amerika Latin yang menggunakan bahasa Inggris. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fought (2006:74), bahkan dia menyangsikan konsep “standard” tersebut:

“Standard English”. I put the word “standard” in quotes because the concept itself is so difficult to define; entire books are available on this topic (e.g., Bex and Watts 1999). However, it is definitely the case that, for example, middle-class Latinos in the communities that have been studied often use a variety that contains few or no vernacular grammatical structures. Also, there is pressure to use a standard variety in the school setting, and at least some children will use a different variety there than they do at home.

Demikianlah fakta akan hegemoni British English dan American English di Indonesia sudah kita ungkap beserta bagaimanakah hegemoni tersebut dipertahankan. Di sisi lain, kita tahu bahwa kemampuan berbahasa Inggris juga berhubungan dengan tingkat produksi bacaan dan pengetahuan sebuah masyarakat. Oleh karena itu, mestinya hegemoni British English dan American English di Indonesia harus segera diimbangi (untuk tidak menyebutnya ditumbangkan) dengan penemuan bahasa Inggris versi Indonesia. Apakah mungkin terbentuk bahasa Inggris versi Indonesia tersebut? Jawabannya ada di tangan intelektual Indonesia.

Penulis sadar akan keterbatasan tulisan ini. Banyak sekali bahan yang belum digali, terutama yang paling penting adalah (1) sejarah perkembangan hegemoni British English dan American English di Indonesia, (2) detail penjelasan mengenai bentuk-bentuk dialek di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai second language, khususnya negara yang tidak pernah dijajah Inggris tetapi menemukan versi bahasa Inggris baru sebagai second language, dan (3) teori dan data tentang korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan bahan untuk sebuah tema yang sangat besar dan luas ini. Penulis berharap dapat mengembangkan penelitian ini secara lebih ketat di lain kesempatan.


REFERENCES
During, Simon (2005), Cultural Studies: A Critical Introduction, Routledge, New York
Fought, Carmen (2006), Language and Etnicity: Keys Topics in Sociolingustics, Cambridge University Press, Cambridge.
Simon, Roger (1991), Gramsci’s Political Thought: An introduction, Lawrence and Wishart, London.
Strinati, Dominic (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London.

HEGEMONI BRITISH ENGLISH DAN AMERICAN ENGLISH DI INDONESIA (I)

Oleh: Muhammad Taufiqurrohman

Bahasa Inggris diakui oleh dunia sebagai bahasa internasional. Hal ini menjadikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang paling memungkinkan dalam relasi internasional. Modernismelah yang memungkinkan hal ini terjadi. Perkembangan teknologi telah mempermudah umat manusia untuk saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi tersebut bisa terjadi antar berbagai latar belakang suku , negara, bahkan benua yang sangat berjauhan secara geografis dan berbeda dalam penggunaan bahasa.

Konsekuensi modernisme tersebut juga membuat bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling populer di dunia. Hal ini dikarenakan bahasa inilah yang paling banyak digunakan oleh penduduk bumi. Sejarah Inggris sebagai negara penjajah terbesar di dunia menjadi faktor dominan perkembangan tersebut. Di negara-negara bekas jajahan Inggris kita bisa melihat penggunaan bahasa Inggris sebagai second language setelah bahasa resmi mereka seperti bisa kita lihat di India, Malaysia, dan Singapura (Singlish).

Lain halnya Indonesia yang tidak pernah mengalami penjajahan Inggris. Hal inilah mungkin yang menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak bisa menjadi second language seperti di ketiga negara tetangga kita tersebut. Faktor historis ini juga mungkin yang menjadi faktor mengapa perkembangan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan di ketiga negara tersebut.

Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia dengan demikian telah menjadikannya sebagai milik warga dunia. Dengan kata lain, bahasa Inggris tidak hanya monopoli Inggris atau Amerika saja. Implikasi jauh dari perkembangan ini adalah tidak ada otoritas (juga termasuk Inggris dan Amerika) yang paling berhak mengatakan bahwa bahasa Inggris di negara X bukanlah bahasa Inggris karena berbeda dengan bahasa Inggris versi Inggris atau Inggris versi Amerika. Dengan demikian, perkembangan bahasa Inggris yang menemukan berbagai macam bentuknya hasil dari perkawinan dengan masyarakat dunia yang beragam tidaklah bisa dielakkan lagi.

Model perkembangan bahasa Inggris di India, Malaysia dan Singapura sangatlah menarik untuk dijadikan model perkembangan tersebut. Dalam perspektif kajian subaltern, perkembangan bahasa Inggris di ketiga negara tersebut telah berhasil menemukan bentuk baru bahasa Inggris yang telah berubah dari bentuk pakem (resmi) bahasa Inggris yang dibawa oleh bekas penjajah (colonizer) mereka (Inggris). Meskipun tidak berubah seratus persen, perubahan tersebut mengindikasikan penciptaan yang baru dalam arti mengadakan suatu bentuk yang sebelumnya belum pernah ada. Bentuk baru tersebut sangat identik dengan masing-masing kekhasan dari kekayaan lokalitas masyarakat mereka. Bentuk-bentuk baru tersebut belumlah pernah ada dalam tradisi bahasa apapun. Di India misalnya, bahasa Inggris telah menjadi sangat India dengan pemertahanan terhadap dialek India yang sangat kental. Hal yang serupa juga terjadi di Singapura dan Malaysia meski dengan bentuk yang berbeda.

Pertanyaan yang jarang sekali diajukan adalah mengapa di Indonesia bahasa Inggris tidak (atau mungkin belum) menemukan bentuk barunya. Mengapa Inggris versi Inggris (British English) dan versi Amerika (American English) masih dapat bertahan dengan sangat baik bahkan telah menjadi semacam ukuran berbahasa Inggris yang paling baik (“standard English”) di Indonesia? Padahal kita tahu kekhasan berbahasa dalam ranah fonologi (intonasi, aksen, dialek, dll) masyarakat Indonesia sangat berbeda dengan masyarakat Inggris dan Amerika. Apalagi jika kita melihat beragamnya kekhasan berbahasa masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke dalam ranah fonologi tersebut. Perbedaan dialek orang padang sangat berbeda dengan orang batak, misalnya. Bahkan dalam satu suku bisa terjadi perbedaan dialek yang sangat tajam. Pada suku jawa misalnya, dialek orang jawa tegal akan sangat berbeda dengan dialek orang jawa jepara apalagi jawa solo. Demikianlah di negara yang sangat kaya akan keberagaman kekhasan berbahasa inilah mengapa bahasa Inggris tidak menemukan bentuk barunya?

Hal yang tidak kalah penting dari alasan penemuan bentuk baru bahasa Inggris versi Indoneisa tersebut adalah kenyataan bahwa terdapat korelasi positif antara pemakaian bahasa Iggris masyarakat dengan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Contoh yang menarik kita bisa lihat dari produksi film-film India yang mampu menembus pasar internasional karena kemampuan bahsa Inggris pemain film India yang sangat baik. Hal serupa juga bisa kita lihat di Singapura dan Malaysia. Salah satu faktor kemajuan Singapura dan Malaysia disinyalir adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai second language.

Faktor historis Indonesia yang tidak pernah dijajah Inggris mungkin bisa menjadi alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Tetapi, apakah dengan demikian kemungkinan penemuan bentuk baru (hybrid) dari perkawinan bahasa Inggris asli dengan konteks lokalitas masyarakat Indonesia tidak bisa terjadi? Jika India, Malaysia dan Singapura bisa mengapa kita tidak? Untuk memulai usaha pembongkaran ini bolehlah kita curiga dengan memulai memeriksa apakah benar British English dan American English telah melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni atas cara berbahasa Inggris di Indonesi?. Jika memang benar ada, bagaimanakah mekanisme hegemoni ini bekerja dalam masyarakat kita?


TEORI HEGEMONI GRAMSCI
Teori hegemoni pertama kali disampaikan oleh Antonio Gramsci. Pria yang lahir di Sardinia, Italia, pada 22 Januari 1881 ini menyelasikan studinya di Universitas Turin di Fakultas Sastra. Penulis Letters From Prison ini adalah seorang Marxian sejati. Oleh karenanya, sebelum membicarakan Gramsci kita tidak bisa melewatkan pembicaraan mengenai pandangan-pandangan Karl Marx. Dengan memasuki pandangan Marx kita akan lebih mudah memahami pandangan Gramsci, khususnya mengenai teori hegemoni.

Marx tersohor dengan teori determinisme ekonomi-nya. Teori ini menyatakan bahwa segala hal yang melingkupi proses sosial tidak bisa terlepas dari ekonomi sebagai determinan utamanya. Dengan ini Marx menyatakan bahwa kapital sebagai struktur ekonomi adalah faktor utama perubahan-perubahan dan cara pandang masyarakat terhadap sesuatu.

Marx membagi struktur masyarakat menjadi dua, yakni base-structure dan super-superstructure. Base-structure adalah hal-hal yang kasat mata yang bersifat materiil yang bisa kita panca indrai, seperti uang, modal dan produksi yang melingkupinya. Kapital di bawah struktur ekonomi merupakan salah satu wujud base-structure yang paling nyata. Sedangkan superstructure adalah hal-hal yang bersifat abstrak seperti nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan dan ideologi. Tesis utama Marx atas pembedaan ini adalah bahwa base-structure membentuk superstructure. Oleh karenanya, Marx menganggap ekonomi---tempat perkembangan kapital--- sebagai faktor utama yang membentuk politik dan kebudayaan sebagai tempat bersemainya nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi. Kapital menentukan nilai-nilai dan ideologi.

Konsekuensi pandangan Marx ini adalah bahwa kapitalisme yang dikuasai oleh kaum borjuasi akan berusaha terus melanggengkan kekuasaannya. Satu-satunya cara pertahanan mereka adalah eksploitasi kaum buruh (proletariat) yang semakin kuat. Dari titik inilah Marx percaya bahwa eksploitasi yang semakin hari semakin keras akan melahirkan perlawanan atau revolusi proletariat dalam bahasa Marx. Jadi, pandangan Marx adalah bahwa revolusi proletariat ini akan terjadi dengan sendirinya seperti hukum alam lainnya. Oleh karena itu, tidak diperlukan usaha apapun untuk mewujudkan revolusi proletariat. Sebab, menurut Marx perlawanan oleh kaum proletariat dengan wujud perjuangan kelas pastilah terjadi dengan sendirinya. Hal ini seperti yang diungkapkannya dalam Manifesto Komunis-nya yang terkenal:

“The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”- (The Communist Manifesto, Chapter 1)

Benarkah ramalan Marx dengan teorinya ini? Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar Gramsci atas teori Marx. Konteks pemikiran Gramsci lahir saat menyaksikan revolusi proletariat yang tak kunjung tiba di masyarakat Eropa yang semakin kapitalis. Mestinya jika mengikuti alur pandangan Marx semakin kapitalis masyarakat semakin kuatlah gerak menuju revolusi proletariat. Tetapi kenyataan yang dilihat Gramsci adalah kaum proletariat justru semakin terintegrasi dengan kelas yang memeras mereka yaitu kaum kapitalis borjuis. Gramsci memandang kekuatan kaum proletariat semakin hari justru semakin melemah dan patuh kepada kaum borjuis walaupun kaum borjuis tidak menggunakan cara-cara kekerasan (coersive) dalam memeras tenaga mereka. Kepatuhan tanpa kekerasan kaum proletariat kepada kaum borjuis yang luput dari ramalan Marx inilah yang oleh Gramsci dinamakan sebagai hegemoni. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh During (2005:21) bahwa:

For Gramsci, hegemony helped to explain why class conflict was not endemic despite the fact that power and capital were so unevenly distributed and the working class (in Italy, particularly the southern peasantry) led such confined lives. Gramsci argued that the poor partly consented to their oppression because they shared certain cultural dispositions with the rich.

Hegemoni adalah konsep terpenting Gramsci. Berbicara tentang hegemoni berarti berbicara tentang kekuasaan dan pengaruh, pihak yang menguasai (dominant) dan pihak yang dikuasai (subordinate). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Strinati:

“…Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the ’spontaneous consent’ of subordinate groups, including the working class, through the negotiated construction of a political and ideological consensus which incorporates both dominant and dominated groups.” (Strinati, 1995: 165)

Pada mulanya ketika kita berbicara tentang kekuasaan akan diidentikkan dengan ranah kekuasaan militer, negara dan kerajaan. Era globalisasi yang melahirkan kapitalisme telah menggeser pengertian tersebut. Kapitalisme, dalam hal ini para kapitalis dan sistem itu sendiri, telah menjadi sebuah institusi kekuasaan tersendiri. Perkembangan selanjutnya adalah ketika kekuasaan telah beroperasi dalam ranah kebudayaan yang biasa disebut sebagai imperialisme budaya. Institusi-institusi kebudayaan semacam gereja, ulama, dan pakar-pakar bidang keilmuan tertentu adalah contoh kekuasaan dalam ranah budaya di sekitar kita. Roger Simon menyebut hegemoni sebagai:

“…the practices of a capitalist class or its representatives to gain state power and maintain it later.” (Simon, 1982: 23)

Lalu bagaimanakah kekuasaan dan pengaruh diperoleh? Ada dua cara memperoleh kekuasaan, yaitu melalui kekerasan (coercive) dan melalui kesepakatan (consent). Cara yang pertama adalah cara klasik merebut kekuasaan yang sering dipakai dalam ranah militer, negara dan kerajaan pada zaman dulu. Sedangkan cara yang kedua lebih banyak dipakai dalam ranah ekonomi dan budaya. Meskipun perkembangan terkini tidak bisa disederhanakan mempunyai alur yang selalu demikian. Negara-negara modern saat ini juga menggunakan cara-cara kesepakatan sebagai senjata mereka dalam merebut kekuasaan dan pengaruh negara lain, misalnya Amerika. Sedangkan institusi-institusi budaya terkadang justru menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperebutkan pengaruhnya. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai macam gerakan separatis yang mengarah pada tindakan terorisme yang terjadi beberapa dasawarsa ini.

Inti konsep hegemoni Gramsci adalah penekanannya terhadap consent dari pada coercive. Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuasaan yang dijalankan tanpa paksaan dan menekankan kesepakatan terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan seperti yang disampaikan Strinati:

“It can be argued that Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values and leadership of the dominant group not because they are physically or mentally induced to do so, nor because they are ideologically indoctrinated, but because they have reason of their own.” (Strinati, 1995: 166)

Mekanisme hegemoni bekerja dengan cara membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Oleh karena itu, definisi hegemoni lebih dekat sebagai upaya mencapai kekuasaan, apakah politik, ekonomi atau budaya, melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.

Konsekuensi logis dari konsep hegemoni Gramsci ini adalah penekanannya pada peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang terabaikan dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “base-superstructur”. Kerangka ini menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik.

Gramsci melihat kekuatan kaum borjuasi di negara-negara barat sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini oleh Gramsci disebut sebagai “blok historis (historical bloc)”, yaitu semacam konstalasi utuh di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Inilah alasan yang dilihat Gramsci mengapa revolusi sosialis tidak jua terjadi. Kelas borjuasi telah berhasil menghegemoni kelas-kelas lain dalam masyarakat. Sehingga masyarakat (khususnya kelas proletariat) menganggap situasi kekuasaan hegemoni kelas borjuis tersebut sebagai sesuatu yang memang demikian adanya. Oleh karena itu, rekomendasi Gramsci adalah konsep ’blok historis’ inilah yang harus digunakan sebagai strategi perebutan dan pertahanan hegemoni.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara mewujudkan konsensus (consent) dalam wujud ’blok historis’ ini? Ada dua cara yang ditawarkan oleh Gramsci yaitu, melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement”(perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan merebut posisi-posisi kepemimpinan intelektual, moral, buadaya, agama dan ideologi. Perang ini dilakukan dengan cara menguasai semua institusi-institusi yang berperan dalam membentuk kekuasaan budaya. Sekolah-sekolah, kampus, institusi agama, rumah sakit, lembaga-lembaga kebudayaan dan institusi-institusi sosial lainnya harus dikuasai. Sebab, di ruang-ruang inilah kebudayaan (nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi) terbentuk. Oleh karenanya karakteristik perang posisi adalah jangka waktu lama yang membutuhkan kesabaran, kesetiaannya terhadap perjuangan dalam sistem, dan selalu diarahkan pada dominasi budaya (imperialisme kultural). Sedangkan perang pergerakan lebih mengarah pada perang secara frontal (langsung) dengan melakukan aksi-aksi pengerahan seperti demonstrasi. Biasanya perang pergerakan dilakukan setelah perang posisi berlangsung sesuai rencana. Setelah merasa siap dengan posisi-posisi yang sudah direbut melalui perang posisi barulah perang pergerakan dilakukun walaupun tidak selalu demikian dalam prakteknya.


DIALEK DAN ETNISITAS
Dalam Language and Etnicity, Fought memberikan penekanan bahwa terjadinya perkawinan dua dialek dari dua etnis yang berbeda sangatlah sah. Bahkan terkadang memang tidak bisa dihindarkan. Semakin banyak pertemuan antar dialek dari berbagai macam etnis justru semakin memperkaya konvergensi dialek yang terbentuk. Fought (2006:133) menyatakan:

One issue that has frequently been raised in research on dialect contact is the question of convergence or divergence. That is, are the varieties in an area influencing each other in such a way that they become more alike, are they influencing each other in such a way that they become more different, or do they develop and change as two (or more) completely independent entities?

Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan terhadap konvergensi atau divergensi dialek ini. Salah satunya dalah penelitian tentang isu American Speech oleh Fasold (1987) dan Baily dan Mayor (1989). Pertanyaan yang diajukan adalah apakah ada konvergensi dialek antara waraga European America dengan African America. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terjadi adanya kontak dialek yang memunculkan konvergensi yang sangat beragam antar dua dialek tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan antar dialek hingga akhirnya menemukan bentuk-bentuk baru dialek sangatlah mungkin terjadi. Dari penelitian ini kita juga bisa bertanya, jika di Amerika sendiri sudah terjadi berbagai macam dialek (tidak hanya “standard American”) mengapa justru di Indonesia kita mempertahankan American English sebagai salah satu “standard English”. Hal yang sama juga terjadi dalam British English dengan adanya dialek Scotish, Irish, dll.

Sabtu, Oktober 25, 2008

Melintas Batas, Menghapus Sekat


Tulisan saya ini gak tau entah kenapa masuk dalam buku "All You Need is Love: Cak Nur di Mata Anak-anak Muda" yang diluncurkan pada malan Nurcholish Madjid Memorial Lecture (23/10) kemarin (saya datang sama gus Taufik dan temen2nya dari UI, kemudian kita nginep di kontrakan temen saya yang pernah kena schizophrenia, hah...malam yang aneh...), essai pendek ini satu di antara 30 essai lain yang memang semuanya "mesti" (karena ini dikompetisikan) menceritakan pengalaman pribadi bersentuhan dengan Cak Nur (walaupun tidak langsung), ya...kata Stephen King, bahwa penulis adalah manusia dan editor adalah dewa, maka jadilah tulisan di bawah ini dalam versi bukunya dipadatmampatkan dan beberapa bagiannya dibuang, ya gak apa-apalah, silakan membaca versi asli -manusia- yang belum diedit para "malaikat2" itu, .....

Saya mungkin termasuk orang yang telat membaca Cak Nur. Kali pertama saya membaca Cak Nur ketika semester-semester awal perkuliahan di Semarang. Suara Merdeka, sebuah koran lokal Jawa Tengah kala itu terdapat kolom khusus ulasan Cak Nur tiap hari Sabtu. Sebuah telaah yang begitu komprehensif atas persoalan kontemporer khas perspektif seorang Guru Bangsa, bagi saya yang masih awam waktu itu, begitu mencerahkan!

Terpikat dengan alur logika tutur Cak Nur dalam menjelaskan, mengurai, menganalisis, dan memberikan alternatif solusi yang begitu sistematis, runtut, dan memahamkan, maka saya mulai mencari dan membaca karya-karya Cak Nur lainnya, mulai dari Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), Islam Kemodernan, dan Keindonesiaan (1988), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994), dan lainnya. Selain itu juga buku-buku dan karya yang membahas mengenai pemikiran dan sepak terjang Cak Nur.

Waktu itu saya kemudian dianggap aneh, karena saya berlatar Nahdlatul Ulama (NU) dan saat itu menjadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat al-Ghazali, Semarang. Sebagaimana lazimnya PMII yang masih memiliki ikatan dengan NU secara kultural, maka dalam kajian pemikiran kontemporer rata-rata akan lebih dekat ke Gus Dur yang dianggap sebagai intelektual yang “sealiran” dengan Cak Nur dalam pemahaman keislaman kontemporer, lagi pula Cak Nur berasal dari Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) yang dulu berafiliasi ke Masyumi. Mestinya saya membaca Gus Dur, bukan Cak Nur, kata teman-teman. Namun jujur bahkan sampai sekarang saya tidak memiliki satu koleksi pun bukunya Gus Dur, selama ini saya hanya membaca dari perpustakaan atau pinjam teman-teman lainnya. Memang dari kajian kritis di PMII-lah saya berkenalan dengan tokoh dan pemikiran Islam kritis, liberal, progresif dan lainnya, tapi melalui Cak Nur-lah saya menemukan –semacam- kedamaian intelektual dan tuntunan jalan hidup.

Membaca lebih banyak pemikiran Cak Nur menjadikan saya kian sreg (cocok) dengan beliau. Tak sekadar alur pemaparan tulisan yang sistematis, mengalir, dan memahamkan awam, tapi kuatnya referensi yang digunakan Cak Nur menjadikan kualitas intelektualnya di mata saya kian nyata. Terlebih dengan argumentasi, ketajaman analisis, keluasan wacana, yang tak lepas dari konteks sosio-historis; ketepatan mencari titik temu dalam mengawinkan tata nilai kemanusiaan universal dengan nilai-nilai ketuhanan dan menjadikannya sebagai dasar argumentasi yang sahih dalam membahas pelbagai ranah kehidupan; keberanian membahas hal-hal yang dianggap tabu dalam konteks kajian Islam klasik, saya rasa tidak ada yang tertinggal oleh Cak Nur. Dan beliau sangat skriptural sekaligus liberal bagi saya, karena banyak referensinya langsung bersumber pada al-Quran, hadits, dan khasanah Islam klasik lain, namun dengan interpretasi kritis-progresif. Begitu luas cakupan kajian Cak Nur yang kemudian dapat dibagi dalam tiga besar, keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.
Saya menjadi lebih dekat secara personal dengan Cak Nur ketika mendapati bahwa beliau adalah intelektual lintas batas, melampaui sekat-sekat sentimen agama, ras, budaya, dan politik. Dengan karier intelektual yang sangat brilian bersanding dengan suksesnya karier di HMI sebagai ketua umum dua kali (walau beliau menyatakan bahwa itu adalah kecelakaan sejarah) serta banyak organisasi yang beliau ikuti, namun ternyata beliau tidak terlalu terobsesi untuk terjun dalam politik praktis, telah menjadikan apa yang beliau tegaskan dalam pemikirannya juga adalah apa yang beliau lakukan, konsisten dan istiqamah di jalan sunyi dunia intelektual. Di sisi lain saya secara personal memang tidak terlampau berminat dengan politik, tapi lebih berat pada intelektualisme dan pendekatan kultural lainnya.

Dalam keasyikan membaca Cak Nur, saya mulai menulis isu-isu yang juga dibawa oleh Cak Nur, mulai pluralisme, sekularisme, kebebasan beragama, demokrasi dan Islam, dan lainnya di media kampus maupun umum, termasuk di dunia maya. Maklum waktu itu saya mulai semester awal sudah masuk dan belajar jurnalistik di pers mahasiswa Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes), sehingga saya relatif punya akses untuk menulis lebih besar di media kampus dibanding mahasiswa lain. Dalam banyak tulisan saya yang berkaitan dengan ihwal keagamaan dan kajian humaniora lainnya, banyak mengutip dan mengambil pemikiran Cak Nur dan beberapa tokoh pembaharuan Islam lainnya yang memang sudah saya baca mulai pertama masuk di PMII.

Hingga pada suatu ketika saya terang-terangan dicap antek Cak Nur dan Jaringan Islam Liberal (JIL) ketika saya mengulas perjuangan tokoh Islam Liberal Farid Esack pada majalah mahasiswa kampus saya, padahal waktu itu ke Utan Kayu, ke Paramadina atau bertemu Cak Nur langsung saja belum pernah sama sekali. Sebelum itu sepertinya saya sudah ditengarai sebagai eksponen gerakan Islam liberal oleh para aktivis Islam Kanan ketika berani membedah buku Islam Liberal dalam diskusi di pers mahasiswa serta menulis di buletin PMII. Apalagi ketika itu saya juga membuat Komunitas Kajian Agama dan Filsafat (Kom-KAF) di kampus bersama sahabat-sahabat di PMII dan aktivis mahasiswa kritis lainnya, dan pemikiran Cak Nur adalah salah satu bahan diskusi kami.
Pada awal kuliah ketika masuk seleksi tutorial Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai program resmi kampus dalam mem-back up perkuliahan PAI, saya menggugat tutorial yang hanya dikuasai oleh satu harakah Islamiyah saja, yakni al-Ikhwan al-Muslimin termasuk KAMMI. Walaupun saya berhasil menjadi tutor, tapi agaknya mulai saat itulah saya di-black list oleh para ikhwan aktivis Tarbiyah tersebut dalam hal gerakan dan pemikiran keislaman. Lebih dari itu ketika menjadi ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Penelitian (UKMP) Unnes, rupanya sudah tersebar pemahaman pada hampir semua aktivis Islam kampus bahwa saya Kiri, hingga ada yang melarang adik kostnya ikut UKMP karena khawatir ikut-ikutan Kiri.

Karena Cak Nur pula paradigma pemikiran saya mengenai peran dan sikap sebagai seorang intelektual berubah. Dari Cak Nur pula saya berani lintas batas pergaulan di luar organisasi dan komunitas yang berkultur NU. Terutama pada akhir masa studi, dalam penelitian skripsi saya membuka diri dan berupaya menjalin hubungan dengan teman-teman di HMI Dipo dan MPO, Gema Pembebasan, termasuk KAMMI. Dari situ saya menjadi lebih terbuka untuk ingin tahu lebih banyak akan semuanya, termasuk Islam Kanan yang selama ini seakan-akan memusuhi saya. Motivasi saya setidaknya adalah mencari kebenaran, bukan pembenaran. Pada akhir studi pula bersama tema-teman mahasiswa yang ingin mengembangkan intelektualisme membentuk Komunitas Embun Pagi yang multikultural, lintasbahasan, dan mewadahi semua kegelisahan intelektual. Diskusi dilakukan seminggu sekali, mulai pukul 09.00 malam sampai subuh, dengan satu tema utama yang akan mengalir pada banyak bahasan. Salah satu yang menarik adalah ketika mengundang teman-teman dari Gema Pembebasan, rupanya mereka tertarik dengan komunitas kami karena memang multiperspektif, yang bagi mereka bahkan tidak ada dalam kajian-kajian mereka selama ini. Walaupun dalam diskusi tidak dapat lepas dari tradisi defensif mereka, namun mulai dari situ saya secara personal dan teman-teman di komunitas belajar lintasperspketif, berani terbuka, tanpa tendensi, untuk belajar dan mencari kebenaran yang bisa terdapat pada apa dan siapa saja.

Cak Nur dengan keluasan dan kedalaman intelektualitasnya, ketinggian kearifan dan kebijakannya menjadi panduan bagi saya untuk membangun sebuah komunitas yang egaliter, plural, intelek, dan religius di Semarang bersama teman-teman lain. Lintas batas pergaulan saya di luar PMII, di luar NU, bahkan kadang ke Kiri, kadang ke Kanan yang inspirasinya datang dari seorang Guru Bangsa, Nurcholish Madjid, menjadikan saya terbuka terhadap apa dan siapa saja, bahkan saya tidak terlalu risau dikatakan berkhianat pada PMII, karena bagi saya adanya saya dan hidup saya bukan hanya untuk PMII, tapi untuk semua. Ada nilai-nilai universal yang saya pelajari dari Cak Nur, yang lebih tinggi dan luas yang mesti dipegang dan perjuangkan ketimbang semangat primordialisme yang sentimen dan sektarian. Intelektualisme Cak Nur-lah yang menginspirasi saya untuk tetap terus teguh di jalur kultural-intelektual ketika sahabat-sahabat di PMII lebih memilih jalan struktural yang lebih dekat pada politik praktis. Dan saya cukup berbangga, sedikit benih yang saya semai telah bergayung sambut dari adanya semangat baru intelektual muda kampus, terutama di Komunitas Embun Pagi.

Ketika saya datang ke Jakarta awal 2008 salah satu niat saya adalah lebih dalam membaca, memahami, dan melakukan jalan kehidupan Cak Nur dalam jalan intelektual. Dengan kesadaran inspirasional dari Cak Nur, saya menjadi lebih merasa bebas, tak terkekang dan terbuka untuk belajar di STF Driyarkara, Paramadina, Utan Kayu, Freedom Institute, UIN, UI, tentang filsafat, keagamaan, politik, dan ranah sosio-humaniora lainnya, tanpa terbelenggu sekat-sekat rezim intelektual yang ada di antara mereka. Ketika membaca Cak Nur bagi saya adalah membaca kesederhanaan, intelektualitas, kebesaran jiwa, yang melampaui sekat-sekat itu, maka sudah selayaknya dalam belajar dan mencari kebenaran kita tidak terkungkung dalam paradigma yang terkotak-kotak dengan dalih kebenaran semu. Saatnya kita belajar dari semuanya, untuk semua, melampaui sekat-sekat keangkuhan intelektual itu.

Edi Subkhan, penulis....

Jumat, Oktober 24, 2008

Setelah Modernitas dan Posmodernitas



Sebuah karya besar yang patut kita apresiasi dan menjadi bahan rujukan dalam cultural studies adalah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), terutama terbitan paling akhir oleh Jalasutra. Dalam pengantarnya, penerbit Jalasutra menyatakan bahwa, “...banyak pemikir kontemporer yang diulas cukup panjang dan ‘cair’ pemikirannya oleh Yasraf, ternyata nyaris ‘tak tersentuh’ dan ‘tak diulas detail’ oleh penulis kebudayaan lainnya” (2004: 34).

Dunia yang Dilipat berangkat dari realitas baru, yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan percepatan dunia. Betapa tidak, merunut pada logika Yasraf, berjilid-jilid buku yang dulu memenuhi satu lemari, sekarang dimampatkan dalam sebuah flash disk seukuran jari kelingking kita; mengirim surat dari Demak ke Denmark tak perlu menunggu berhari-hari, dalam hitungan detik lewat e-mail, surat kita sudah sampai; kita pun tak perlu berdesak-desakan mengantre tiket film di bioskop, karena film-film bermutu telah dimampatkan dalam bentuk home theatre (VCD, televisi). Dengan kata lain batas-batas kebudayaan itu kini seakan runtuh, dan kita sekarang hidup dalam dunia yang telah kehilangan batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulakrum, antara seni dan kitch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminin dan maskulin. Batas-batas tersebut telah didekonstruksi, dan meninggalkan sebuah dunia dengan segala hal yang berada di dalamnya tumpang tindih, campur aduk, bahkan seakan-akan kemampuan untuk membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004: 37).

Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (teka-teki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas, dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke masa lalu.

Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme, eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard, sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negara-negara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negara-negara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga, industrialisasi budaya, dan sebagainya.

Di titik inilah Yasraf bergerak melewati posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah; lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli, tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan, penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup.

Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim.

Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan media dan informasi seperti televisi dan internet yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer (bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx). Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan hiperealitas media dan informasi.

Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah, realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi. Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain, kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan. Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraan-citraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh alarm system modern dan pintu otomatis, ternyata tidak aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas, mengemas, dan merepdoduksi bencana alam, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan, kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan, ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara simultan membawa dan menghadirkannya di atas panggung tontonan rumah.

Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain, modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang bergantung pada produksi secara terus menerus yang dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan arah tujuan, dan semata menggantungkan serta menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana. Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga.

Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan.

Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah. Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi, teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan. Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan irasional, pada agama. []

* Edi Subkhan, penulis.

Selasa, Oktober 21, 2008

Peran Besar Perempuan Berantas Korupsi


Pemberantasan korupsi selama ini dilakukan dan dipandang dari perspektif laki-laki saja. Dalam model konseptual pemberantasan korupsi di masyarakat tak terdapat klausul yang menyertakan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang mestinya juga punya peran yang sama –bahkan lebih- besar dengan kaum laki-laki dalam pemberantasan korupsi.

Mengangkat isu perempuan dalam pemberantasan korupsi patut untuk dicermati secara serius ketika melihat bahwa pemberantasan korupsi selama ini tak pernah terselesaikan secara mendasar. Korupsi di Indonesia sudah menjadi sebuah sistem budaya yang dianggap sah dan wajar-wajar saja, oleh karenanya penyelesaian secara mendasar atas korupsi mesti menyentuh ranah –meminjam istilahnya Bourdieu (1930-2002)- modal budaya. Dalam “modal budaya” korupsi menjadi habitus personal yang selalu diperkuat-memperkuat situasi-kondisi sosio-kultural masyarakat.

Pada pendekatan pemberantasan korupsi selama ini yang masih jauh dari menyentuh modal budaya termasuk konsep carrot and stick ala Kwik Kian Gie, akhirnya hanya dapat diharapkan efektifitasnya dalam jangka pendek. Yakni mendapatkan koruptor untuk diadili dan diminta mengembalikan duit, belum sampai menjadikan paradigma antikorupsi sebagai habitus yang akhirnya menjadi modal budaya positif masyarakat. Oleh karena itu sudah semestinya upaya pemberantasan korupsi secara preventif tak sekadar kampanye bagi-bagi buku panduan berantas korupsi, stiker, pamflet, dan sekian banyak seminar serta pelatihan antikorupsi, tetapi juga mengupayakan pembudayaan antikorupsi.

Satu konsep “pembudayaan” antikorupsi lewat pertunjukan budaya semacam wayang, teater, sinetron, film, pun serasa tak ada hasil, karena memang yang lebih dominan dan dirasakan adalah usur “seni”-nya, bukan substansi pesannya. Hal ini karena pada masyarakat sekarang -bahkan para penikmat budaya- dalam Abad Bisnis Pertunjukan –kata Neil Postman (1985)- cenderung menjadikan media sebagai pesan itu sendiri (medium is message) sebagaimana dikatakan Marshall McLuhan.

Dalam hal ini perlu diingat bahwa proses pembudayaan yang paling ampuh adalah pendidikan. Dalam konsep tri pusat pendidikan dinyatakan bahwa yang utama dan pertama adalah keluarga sebelum lingkungan masyarakat dan sekolahan, karena usia anak-anak adalah usia emas untuk membentuk karakter dan kepribadian. Di keluarga inilah perempuan menempati posisi strategis sebagai guru yang “sempurna”.

Ia sempurna karena tak sekadar memberikan pembelajaran hidup secara cuma-cuma dan ikhlas, tapi juga secara otomatis mempunyai ikatan emosional seorang Ibu pada anaknya, yang sudah pasti pendidikan yang diberikan dilandasi oleh rasa cinta yang tulus. Posisi perempuan inilah yang jarang disadari begitu strategis untuk menanamkan dan membudayakan antikorupsi sejak dini pada anak-anak mereka. Dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini tersebut, pada hakikatnya merupakan upaya pemberantasan korupsi secara mendasar sampai pada upaya membangun modal budaya dan habitus baru yang antikorupsi.

Memang hal ini takkan dapat dirasakan sekarang, tapi efeknya adalah dalam jangka panjang ketika anak-anak tersebut sudah besar dan mengambil peran sosial serta berada pada institusi sosial tertentu untuk secara bersama meruntuhkan sistem budaya korup. Walaupun begitu tak dapat dikatakan bahwa perempuan dalam kedudukan strategisnya di keluarga tersebut tak dapat memberi kontribusi pada penanganan korupsi saat ini. Justru karena perempuan berperan sebagai ibu rumahtangga yang berada pada wilayah domestik keluarga, maka ia menjadi dominan mengurusi rumahtangga lebih dari suami.
Peran penting tersebut dalam upaya mencegah korupsi tak sekadar dalam urusan keuangan keluarga tapi juga dengan posisinya sebagai pendamping, motivator, dan orang yang paling berperan di balik “kesuksesan” suami. Pameo bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki ada seorang perempuan banyak terbukti, karena riwayat sukses suami dalam pekerjaan kebanyakan karena ia tak terlalu terbebani memikirkan urusan domestik yang sudah dapat ditangani istrinya dengan baik. Sebaliknya –walaupun dalam perspektif jender- harus diakui bahwa pekerjaan suami juga dapat gagal bahkan tersandung korupsi karena istri gagal menangani urusan domestik rumahtangga.

Daoed Joesoef (2007) bahkan mengatakan, bahwa di balik keajaiban pertumbuhan ekonomi Jepang, ibu rumahtangga merupakan faktor penting yang tak dapat diabaikan. Peran kerumahtangan perempuan Jepang adalah sebagai kyoiku mama atau education mama, yakni peran perempuan dalam menanamkan nilai-nilai sosial, tradisi, budaya disiplin, dan etos kerja tinggi pada anak-anak.

Dengan konsepsi tersebut, maka perempuan dalam rumahtangga di Indonesia tak sekadar dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi pada anak-anaknya saja, lebih dari itu mereka dapat berperan mencegah suami berbuat korupsi dengan menunjukkan empati, kasih sayang, dan pengurusan rumahtangga yang baik, yang tak banyak menuntut pemenuhan materi.

Pengikutsertaan perempuan dalam mengatasi korupsi ini memang lebih bersifat substansial karena posisi strategisnya yang jarang diakui dalam bingkai budaya patriarki, oleh karenanya konsep ini merupakan pendekatan kultural melalui institusi sosial terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga berdasarkan pada hakikat pendidikan sebagai proses pembudayaan yang utama. Oleh karena itu, secara praksis diperlukan penjabaran prosedural untuk mengkampanyekan pendekatan ini.

Agenda yang perlu dilakukan adalah penyadaran ibu rumahtangga akan posisi strategis dan potensi terpendam mereka. Forum arisan, majlis ta’lim, PKK, dan lainnya merupakan institusi sosial yang bagus untuk memulai pendekatan kultural berperspektif jender dalam pemberantasan korupsi ini.

Edi Subkhan, penulis ajah...

Senin, Oktober 20, 2008

Hukum Anti Pornoasyik dan Pornogratis


Menghangatnya diskursus rancangan undang-undang pornografi tetap mempersitegangkan kubu pro dan kontra di mana satu sama lain tak mau di perdamaikan. Inilah sinetron kehidupan demokrasi yang menarik di tonton, asyik dan gratis.


Beberapa waktu lalu, maraknya pembahasan rancangan undang-undang ini disinyalir sebagai peredam dan pembelokkan isu kenaikan harga BBM. Ternyata prakiraan tersebut menemui kenyataannya, setelah kenaikan harga BBM berkumandang dari kabinet, pembahasan RUU tersebut pun meredum dan hilang sudah. Namun kontroversi RUU ini lahir kembali seolah-olah menyulut persoalan yang tak pernah tuntas.

Persoalan yang tak kunjung tuntas menandakan ketidak-dewasaan elite pemangku Negara, bahwa keseriusan memberikan kepastian pada publik cukup rendah. Misalnya saja, jikalau RUU ini di syahkan, kinerja pansus pun sudah selayaknya optimal hingga publik benar-benar menerima. Jika tidak jadi di syahkan, maka RUU ini patutlah dihapuskan dalam program legislasi nasional (prolegnas), agar supaya kontroversi seperti RUU ini tidak menjadi persoalan di kemudian hari.

Dengan dihapuskannya RUU tersebut dalam prolegnas –apabila RUU tidak jadi di syahkan, menutup kemungkinan berulang-kalinya pembahasan yang di warnai pro-kontra cukup keras. Masyarakat sudah cukup resah dengan dialektika yang tak kunjung tuntas, sementara banyak agenda lain yang lebih penting untuk dikerjakan.

Tontonan paling menarik adalah kelompok yang menamakan diri sebagai kaum critical legal study, barisan penolak keras RUU. Barisan ini ditandai dengan “munculnya peraturan, bukannya solusi tapi masalah”. Dengan demikian, barisan ini akan berjuang mati-matian guna menggagalkan RUU yang konon tanpa melalui obrolan publik. Energi yang dipakai pun sebesar-besarnya kekuatan yang di miliki, hingga tak melihat disekelilingnya bermunculan isu privatisasi BUMN, Pemilu, dan kebijakan Ekonomi neoliberalisme yang jauh lebih penting untuk dikritisi.

Kita sudah melihat dengan seksama, kristalisasi dan besarnya penolakan terhadap RUU ini, jika tetap dipertahankan untuk syahkan oleh pemerintah, maka betapa otoriternya Negara ini yang ditandai dengan pengesahan RUU Pornografi setelah kenaikan harga BBM kemarin. Jadi penyimpanan energi perlu di lakukan oleh kelompok penekan (preassure group) –NGO, Ormas, Mahasiswa, dan Pers– supaya lebih sensitive terhadap isu lain yang lebih penting.

Hukum yang Seharusnya

Perbincangan selanjutnya diarahkan kepada bagaimana hukum yang seharusnya (ius contituendum), karena finalisasi debat kusir ini nantinya akan diakhiri dengan syah atau tidaknya suatu RUU. Untuk menjawab hal ini, terlebih dahulu kita selami dialektika yang sedang perkembang saat ini. Bagi pemrakarsa RUU, adanya peraturan akan membuat sebuah upaya demi perubahan sosial (social engineering) dan pengontrol sosial (social control).

Hukum sebagai instrument perubahan sosial (social engineering) dipandang berguna bagi pengubahan cara hidup masyarakat yang di nilai masih terancam dengan ramainya aktivitas porno. Sedangkan hukum sebagai intrumen pengontrol sosial (social control) diprediksikan mampu mengawasi masyarakat dari bahaya perilaku dan tontonan porno. Sehingga dengan asumsi ini, pemrakarsa RUU berniat menjadikan hukum represif yang dicarikan legitimasinya dari moral, etika, agama, dan budaya, semuanya itu untuk merubah, mengontrol dan melindungi masyarakat dari sindrom porno.

Namun bagi mereka kelompok penolak RUU, memiliki kegelisahan semacam kriminalisasi perempuan dan anak-anak, pembonsai-an kehidupan pekerja seni, dan perampasan hak-hak privat. RUU ini di analogikan seperti orang membunuh lalat dengan sebuah bom martil, spontan lalat mati, namun bangunan disekitarnya pun hancur porak poranda. Dengan demikian, RUU itu disinyalir tidak hanya memberantas pelaku porno, namun seluruh perempuan, anak-anak, dan sendi-sendi seni budaya Indonesia.

Dari peta argumentasi pro-kontra RUU dapat dipahami bahwa niat untuk melindungi masyarakat dari bahaya laten porno cukup baik, namun tinggal caranya saja belum benar. Baik saja tidak cukup sebelum kebenaran dan ketepatan mendampinginya. Maka perbincangan selanjuntnya menjelaskan tentang bagaimana hukum yang seharusnya mengatur persoalan porno?

Berangkat dari konsepsi yang di ajarkan oleh Phileppe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition: Toward Reponsive Law. Menjelaskan tentang kebaikan hukum responsive, yang dapat menampung rasa keadilan masyarakat hukum, dan menghilangkan keadilan menurut penguasa. Penguasa hanyalah fasilitator yang menampung dan mengadministrasikan pendapat masyarakat. Jadi kehendak masyarakatlah sebagai tolok ukur hukum itu dibentuk.

Dengan demikian, suatu produk hukum patutnya mendapatkan persetujuan masyarakat, jika preferensi publik mengarahkan pada ketidak senangannya pada suatu produk hukum, maka produk ini perlu dihapus atau di gagalkan. Singkatnya, jika RUU porno belum mendapatkan restu publik, maka Negara tak bisa memaksakan RUU tersebut untuk disyahkan.

Senada dengan Nonet dan Selznick, Prof. Satjipto Rahardjo dalam hukum progresifnya mengatakan bagaimana hukum sebagai ilmu mengatur masyarakat dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, mengatur masyarakat juga tidak berarti harus melakukannya secara penuh, total, (full regulation). Pengaturan tidak perlu melakukan intervensi dan penetrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat. Apabila kepedulian kita adalah kepada manusia dan masyarakat, maka pengaturan bisa dilakukan sekadar membuat suatu skema besar, sedangkan proses-proses nyata diserahkan kepada masyarakat. Ini yang disebut mengatur tanpa mengganggu keberlangsungan kehidupan yang sdah berjalan.

Cukup menggembirakan lagi, karena kita sudah memiliki produk hukum yang sudah bisa untuk menjerat pelaku porno. Dengan UU penyiaran, UU perlindungan anak, UU Pers, dan Pasal 282 KUHP pelaku porno dapat saja di jatuhi pidana, tinggal peran aktif masyarakat dan kesadarannya untuk memberantasnya. Dengan ini, hukum nampak lebih indah dan nyaman, bukan sebagai alat bagi pembentukan rasa ketidak-adilan masyarakat.


Awaludin Marwan

Kamis, Oktober 16, 2008

Mahasiswa, Buku, dan Penjualnya


“Cari buku apa Dik?” tanya seorang penjual buku di bilangan Kwitang.
“Metodologi penelitian Mas, pengarangnya Moleong, terbitan tahun kapan aja dech, yang penting ada bukunya”, jawab seorang perempuan, sepertinya seorang mahasiswi.
“Oo, itu, ada..ada.. sebentar ya” kata penjual buku kemudian. Setelah transaksi selesai, giliran saya bertanya kepada penjua buku itu.
“Pak ada buku tentang ideologi gak pak?” tanyaku.
“Judulnya apa Mas?” penjual itu balik tanya.
“Ya..belum tahu Mas, yang penting tentang ideologi lah...” jawabku.
“Wah susah Mas klo gak tahu pengarangnya, penerbitnya apa?” tanya dia lagi.
“Wah...ya belum tahu Pak, khan saya lagi cari bukunya, gak penerbitnya he..he..he...” jawabku.

Ini mungkin pengalaman personal yang mungkin saja dialami oleh kita semua yang senang berburu buku-buku murah, yakni penjual buku ya hanya penjual buku, tak lebih. Ternyata mereka lemah dalam mengetahui genre buku yang mereka jual, baik buku lama maupun baru. Apakah di dalam buku yang ia jual terdapat bahasan ideologi, filsafat, pendidikan, atau apa, dan mereka lebih mengedepankan untuk sekadar tahu judul, pengarang, dan penerbit saja.

Hal ini tak hanya di Kwitang saja, hal yang sama juga terdapat di shopping center Yogyakarta, dan pasar Johar atau Stadion Diponegoro Semarang. Ketiganya merupakan bursa pasar buku murah di wilayahnya masing-masing yang sudah terkenal dan menjadi tujuan utama bagi pemburu buku-buku murah. Penjual tidak lebih tahu dari pembeli soal buku yang ia jual. Dan ini tentu saja menyusahkan pembeli seperti saya yang berharap buku murah dan bermutu; yang datang tidak dengan sebendel data buku yang sudah pasti judul, pengarang, dan penerbitnya, tapi mencari jangan-jangan menemukan buku menarik -tentang ideologi misalnya. Memang kalau kita mencari buku baru dengan pelayanan bagus ya ke Gramedia, Gunung Agung, Merbabu, Social Agency dan lainnya, tapi memang bukan itu yang dicari, tapi yang murah a la mahasiswa.

Di sini terdapat dua jenis pembeli yang datang ke kawasan penjual buku murah, pertama adalah mereka yang mencari buku sebagaimana yang ditugaskan oleh dosen lengkap dengan judul, pengarang, penerbit, bahkan tahun terbitnya. Mereka bukanlah pemburu buku sebenarnya, tapi sekadar memenuhi referensi dari tugas perkuliahan saja. Ini sebenarnya sayang sekali, yakni sampai sekarang ternyata masih banyak mahasiswa yang kuliah sekadar kuliah, membeli buku sekadar membeli buku untuk memenuhi referensi yang diberikan dosennya. Ibarat dokter memberikan resep mujarab pada pasien, maka dosen ibarat memberi resep buku-buku tertentu yang “mujarab” bagi mahasiswa agar dapat pintar dan lulus dalam matakuliah.

Sayang, mereka tidak melihat banyak referensi yang lebih variatif dan mungkin lebih bermutu dari yang diresepkan oleh dosennya. Karena biasanya dosen yang hobi memberi resep buku tersebut adalah dosen golongan tua (konservatif), buku yang dirujuk dan ditugaskan mahasiswa untuk mencari dan memiliki pun biasanya adalah buku-buku lama yang out of date. Dosen tersebut tidak menyarankan buku baru dengan banyak kemungkinan, di antaranya adalah ia enggan mengikuti perkembangan mutakhir di bidang kajiannya, ia merasa cukup dan menganggap bahwa apa yang ia kuasai dari pengetahuan yang lalu, dengan referensi buku “yang lalu” pula lebih unggul dari “yang sekarang”. Padahal mahasiswanya dan ia sendiri tinggal di masa sekarang, hingga akan relatif tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan yang kian cepat.

Kedua, mereka yang datang dengan tujuan untuk mendapatkan buku murah dan bermutu, entah akan mendapat buku apa, tidak tahu. Jenis kedua inilah pemburu buku sejati. Jika jenis pertama setelah mendapatkan buku dengan judul, pengarang sesuai resep dosen ia akan pulang, maka jenis kedua mengharapkan alternatif-alternatif buku sesuai minatnya. Ketika berminat dan sedang memerlukan buku tentang ideologi misalnya, entah itu tugas dari dosen atau tidak, ia tipe orang yang tak terpaku pada pengarang dan judul buku yang telah diberikan dosen sebagai rujukan. Lebih dari itu, ia berupaya untuk mencari buku-buku tentang ideologi secara luas, mencari mana yang bagus dan tidak, di antara alternatif-alternatif itu kemudian ia memebeli yang lebih sesuai dengan keinginannya.

Nah, penjual buku di kawasan penjual buku murah ironisnya sebagian besar “sekadar” penjual saja, belum tahu dan menguasai betul buku yang membahas ini-itu secara mendetail. Jika ditanya, apakah ada buku tentang ideologi, maka sebagian besar akan balik bertanya karangan siapa, penerbitnya apa, tahun terbitnya kapan. Tanpa itu ia takkan dapat memberikan referensi buku-buku tentang ideologi itu. Hal itu jelas menyulitkan pada pemburu buku dengan harapan besar dapat menemukan buku-buku murah dan bermutu di situ. Agaknya kebiasaan mahasiswa yang datang ke situ dengan bertanya judul, pengarang, dan tahun terbitnya sejak dulu telah turut membentuk budaya penjual seperti itu. Jelaslah sekarang betapa budaya melek literatur mahasiswa sebagian besar pun masih rendah sejak dulu sampai sekarang.

Memang sebenarnya sudah dengan sendirinya terjadi segementasi pembeli dan jenis buku, untuk Gramedia dan toko buku lainnya menjual buku-buku baru denga harga yang relatif “mahal”, sedangkan kawasan penjual buku murah menjual buku-buku bekas dan baru –walaupun beberapa di antaranya adalah bajakan- dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan Gramedia Cs. Namun bukan berarti mereka yang datang ke kawasan penjual buku murah hanya berburu buku bekas saja, dengan asumsi mereka sudah lebih dulu mengetahui judul dan pengarangnya. Banyak pemburu buku yang datang dengan harapan dapat menemukan buku yang unik, yang tak terduga, yang bermutu, tanpa “terbebani” mesti mengetahui judul dan pengarangnya lebih dulu.

Kawasan Kwitang, Johar, belakang Stadion Diponegoro, dan Shopping center adalah alternatif dan arena berburu buku-buku murah dan berkualitas. Mungkin saja ketika penjual di situ tidak mau berubah menjadi lebih melek buku secara lebih mendalam, hingga memudahkan para pemburu buku mencari kebutuhannya, maka kawasan tersebut akan sekadar menjadi kawasan penjual buku bekas, yang tak nyaman. Dan pada akhirnya para pemburu buku tak lagi berminat ke situ, tapi ke toko-toko buku yang lebih nyaman. Di sinilah yang lebih penting sebenarnya tak sekadar merevitalisasi sarana prasarana kawasan penjual buku murah, tapi juga merevitalisasi paradigma berpikir mereka dalam memahami buku dan pembeli.

* Edi Subkhan, penulis.