online degree programs

Selasa, Maret 31, 2009

Monopoli

Dadu, berbentuk kubus enam sisi. Di masing-masing sisi dadu tersebut terdapat semacam noktah merah berjumlah satu sampai enam. Karena terdapat dua dadu yang dilempar, maka akan terlihat pasangan sisi kubus dadu pertama dan kedua, dengan masing-masing noktah merah berjumlah tertentu di permukaannya. Bisa satu dan dua, enam dan enam, empat dan tiga, atau banyak kemungkinan lain, yang jika dihitung terdapat tiga puluh enam kemungkinan.

Penjumlahan noktah merah hasil pelemparan kedua dadu akan menjadi acuan berapa langkah bidak bisa berjalan. Bidak berjalan mula dari kolom start. Demikian perjalanan selanjutnya akan melalui Indonesia, Afrika, Kanada, dan banyak lagi negara lain. Atau bisa masuk penjara jika berhenti di kolom ”go to jail”.
Dalam lembar kertas permainan tersebut, masing-masing kotak negara digambarkan dengan maskot tertentu. Di Indonesia ada Candi Borobudur, Afrika bergambar hewan Singa, Amerika dengan patung Liberty, dimana setiap (kolom) negara diberi harga tertentu—sehingga bisa dibeli—entah berdasarkan kriteria apa pemberian harga tersebut. Yang termurah adalah Indonesia, dengan seribu enam ratus dollar, dan Amerika Serikat diberi harga termahal dengan empat ribu dollar.

Permainan itu bernama Monopoli. Sebuah permainan yang, seperti permainan lain, mempunyai peraturan; rule of game. Dan uraian di atas adalah deskripsi permainan disertai dengan beberapa peraturan dalam permainan tersebut. Barangkali salah satu yang tertinggal, di awal permainan, semua pemain—maksimal empat orang—diberi modal lima belas ribu dollar, dan setiap melalui kotak ”start” pemain akan mendapat semacam gaji dari bank sebesar dua ribu dollar.

Permainan satu ini adalah permainan dengan peraturan yang memperbolehkan pemainnya membeli sebidang tanah (atau sebuah negara). Dan karena permainan ini sekedar pengandaian, tentu bidang tanah tersebut juga sekedar pengandaian. Si pemain sebenarnya tidak benar-benar mempunyai sebidang tanah. Sehingga pemain yang baik adalah pemain yang paham benar peraturan permainan, seraya tahu batas-batas permainan yang dimainkannya. Inilah yang disebut ”bermain dengan serius”.

Segala hal dalam bahasan-yang-terkait-dengan-manusia, tak terkecuali permainan monopoli, mempunyai kapasitas definitif, batasan dan cakupannya masing-masing. Kapasitas definitif adalah semacam kesadaran akan batas (definisi=pembatasan). Hal ini mengandung maksud sesuatu yang datang dari dalam, tetapi berkait dengan sesuatu yang di luar. Demikian kurang lebih, sehingga kapasitas definitif selalu berupa sebuah pertanyaan, selalu ”belum sudah”, selalu belum selesai, dan oleh karena itu seakan menunggu untuk dibahas (bukan dianggap selesai). Kapasitas definitif bersifat terbuka. Barangkali mempunyai akhir, namun akhir yang terbuka (open ended).

Demikian halnya dengan organisasi kemahasiswaan kampus. Dalam beberapa kampanye yang pernah saya lihat dan ikuti (materi pamflet, jargon, dan atribut lain sebagainya), kampanye pemilihan Presiden Mahasiswa tempo lalu, atau baru-baru ini dalam kampanye pemilihan Ketua BEM di salah satu Fakultas yang saya sering sambangi.

Dari sedikit merasakan dan mengikuti cerita jalannya organisasi, rasa-rasanya seperti ada yang terlalu disana. Ber-laku dan ber-tutur atas nama diri sendiri, tetapi mengklaim atas nama orang banyak. Berhadapan dengan realitas kampus—dengan ”keunikannya” tertentu, tetapi melihatnya dengan kacamata lain yang meleburkan keunikan tersebut. Juga menyikapinya dengan menggunakan teknik yang diplagiar dari kasus lain yang berbeda secara substansial (kasus kenegaraan, misalnya).
Bisa jadi karena habisnya energi setelah terlalu boros dikeluarkan dalam berkampanye. Pun tak menutup kemungkinan faktor kesunyian visi sehingga menurunkan misi yang terasa ganjil.

Atau yang terjadi, barangkali, setiap kontestan dan simpatisan belum paham benar peraturan dan kapasitas definitif dari organisasi yang akhirnya menuliskan namanya sebagai ketua organisasi, sehingga, dalam ketidaktahuannya berbelok menjadi seperti bermain Monopoli tetapi merasa benar-benar memiliki sebidang tanah.


Ahmad Fahmi Mubarok

Jumat, Maret 27, 2009

MELAWAN POSITIVISME*

PENGANTAR ARTIKEL


Dalam postingan kali ini saya alamatkan untuk menanggapi artikel Saudara A. Aziz beberapa waktu yang lalu----yang nyaris penuh membela Positivisme Comte. Walaupun tidak dapat digeneralisasi, apa yang diyakini Akedemisi muda kita yang satu ini, dapatlah kita anggap sebagai keyakinan filosivis zaman ini. Sebagai seorang akademisi muda yang cerdas, brilian dan memiliki semangat tinggi dalam belajar, di tangan orang-orang seperti saudara Aziz-lah masa depan perkembangan pengetahuan dan pendidikan dapat kita potret arah dan nasib-nya.


Tulisan ini pun masih belum sempurna. Karena keterbatasan kemampuan, penulis hanya mampu menyuguhkan salah satu alternatif metodologi non-Comteisme. Berdasarkan beberapa pertimbangan dan masukan, penggarapan tulisan ini akan diulas secara serius di Komunitas Embun Pagi setelah penggarapan "Embun Pagi Nglindur". Bagi yang bersedia membantu (dalam bentuk apapun) dapat mengirim email ke pagiembun@gmail.com. Artikel ini juga terbit di sini. Selamat menikmati!


Apabila dilihat secara jeli, ada kesan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah menuju pada kematian. Dalam banyak seminar dan diskusi, kadang terdengar keluhan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah tersub-ordinatkan oleh pengetahuan alam. Hal ini memang disayangkan dan, bahkan, menurut saya, tidak terjadi secara kebetulan. Keluhan tersebut sering timbul sebagai reaksi terhadap berbagai kebijakan-kebijakan politik pendidikan ataupun kebijakan lain yang terkait dengan kepentingan kebutuhan-kebutuhan praktis (misalnya dalam “mencetak” tenaga-tenaga teknis terdidik).

Apakah benar landasan pemikiran di balik kebijakan-kebijakan semacam itu? Sejauh mana pengaruh ilmu pengetahuan alam telah menyilaukan para pakar ilmu sosial? Dan siapakah yang bertanggungjawab atas keyakinan filosofis dari penyimpangan yang terjadi sekarang ini?

Adalah Auguste Comte pihak yang bertanggungjawab di sini. Comte memberi kita visi tentang idealitas keilmuwan; tentang ilusi keagungan penerapan prosedur eksperimen dalam penyelidikan sosial; tentang pentingnya “memajukan” masyarakat untuk lepas dari belenggu pemikiran teologis serta metafisis menuju masyarakat positif yang “ilmiah”. Ironisnya, pandangan ini sekarang telah menjadi satu-satunya norma ilmiah–sebuah norma yang tanpa pernah dipertanyakan, telah menjadi tradisi untuk mengklaim diri paling ilmiah dan yang lain sebagai tidak ilmiah. Atas visi yang keblalasan tersebut, cabang ilmu yang pada awalnya murni logika, misalnya ekonomi dan ilmu sosial, telah ikut-ikutan mengadopsi visi filosofis Auguste Comte. Setiap pernyataan atau proposisi, menurut klaim positivis, tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya apabila tidak melalui prosedur eksperimen yang empiris.

Monopoli terhadap klaim bahwa prosedur kaum positivistik sebagai satu-satunya prosedur yang paling ilmiah merupakan satu bentuk kebebalan akademik. Positivisme dalam ranah epistemologi mensyaratkan bahwa ilmu tindakan manusia harus menerapkan prosedur yang sama seperti yang dilakukan dalam ilmu alam.

Dalam ranah aliran psikologi, kaum positivis terjelma dalam aliran behaviorisme, atau sering disebut neopositivisme. Dalam bidang budaya dia muncul dalam kritik sastra serta kritik seni. Dalam bidang politik dia tampil dengan pemberlakuan hukum positif dsb. Karena keterbatasan ruang serta kemampuan, di sini saya akan menunjukkan beberapa kesalahan dari sudut pandang epistemologi ilmu pengetahuan terhadap keyakinan-keyakinan filosofis kaum positivis.

“Teori” Positivisme

Dalam The Positive Philosophy, tujuan utama Comte adalah menelaah sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan masyarakat ilmiah menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif. Dalam penafsirannya, penemuan ajaran Bacon, konsep Descrates dan pandangan Galileo ialah salah satu bentuk semangat perkembangan masyarakat positif dalam melawan sistem skolastik. Untuk itu Comte mengajukan sebuah cabang ilmu yang, menurut dia, seharusnya memiliki keteraturan yang sama seperti ilmu alam, ia menyebutnya fisika sosial (Social Physics).

Alih-alih menelaah sifat manusia secara utuh, dalam karyanya Comte malah lebih banyak mengulas Matematika, Astronomi, Statistik, Geometri, Fisika, Kimia. Konon, menurut Comte, hal itu dimaksudkan untuk mencari prasyarat bagi tahap-tahap menuju masyarakat positif. Di sini Comte cukup “sukses”. Kita sekarang telah dibingungkan oleh ajaran Comte yang sesat. Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat mendekatkan kita pada objek observasional.

Prasyarat kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan objek faktual—dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah, atau dengan kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa. Sekali lagi, di sini Comte mengalami kesuksesan. Dan sekarang sistem pendidikan kita melaksanakan dengan konsisten usulan ajaib dari Auguste Comte!

Ketiga, bagi Comte, masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang ilmu. Baginya, kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting. Ia mencontohkan bahwa kimia seharusnya dipadukan dengan fisiologi—seperti kebodohan kita dalam mengubah manusia menjadi sekedar ilmu statistik atau melihat trend-trend saat ini munculnya kajian ekonomi perilaku, ekonomi fisika dsb. Kesalahan Comte di sini sangat fatal. Ia tidak menyadari bahwa setiap cabang ilmu itu terkait cara berfikir. Setiap disiplin ilmu memiliki logika formalnya sendiri-sendiri. Ada perbedaan antara yang ada dalam pikiran dengan kenyataan luar.

Terakhir, masih menurut Comte, untuk mengatasi krisis masyarakat, hanya pandangan filsafat positivisme-lah yang mampu mengatasi krisis sosial. Dengan filsafat positif anarkisme intelektual, yang biasanya melewati jalan rumit untuk diperdebatkan dalam mencari kebenaran, harus dilenyapkan. Pandangan ini jelas-jelas memberi jalan panjang bagi kematian karya-karya klasik. Bagi Comte, ide-ide masa lalu yang mengarah pada anarkis adalah musuh keteraturan masyarakat. Anggapan tersebut jelas keliru. Musuh keteraturan bukanlah anarkisme intelektual tetapi imoralitas perilaku.

Permasalahan Epistemologi Positivisme

Kesalahan Comte yang paling mendasar adalah memperlakukan setiap fenomena seperti hukum ilmu alam—yaitu memiliki sifat yang tak berubah serta beroperasi melalui sebab-sebab konstan. Dia menganalogikan setiap fenomena harus mengikuti jalan yang sama bagi penemuan teori ilmu alam, khususnya ilmu fisika. Ini kebodohan tingkat tinggi. Comte mengatakan:

The first characteristic of the Positive Philosophy is that it regards all phenomena as subjected to invariable natural Laws. Our business is,—seeing how vain is any research into what are called cause, whether first or final,—to pursue an accurate discovery of these Laws, with a view to reducing them to the smallest possible number. By speculating upon cause, we could solve no difficulty about origin and purpose. Our real business is to analyze accurately the circumstance of phenomena, and to connect them by natural relations of succession and resemblance. The best illustration of this is in the case of the doctrine of Gravitation.[1]

Tujuan utama ilmuwan yang berpandangan positivis ialah mencari keteraturan dari sebuah fenomena. Senjata pamungkasnya: statistik. Alasannya, hanya statistiklah yang dapat menguji fenomena sosial layaknya pengujian ilmu alam. Bagi kaum positivis, sebuah teori yang tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman empiris—yang biasanya melalui data statistik—tidak akan dapat dianggap sahih. Bahkan sebuah pernyataan tanpa dukungan analisa statistik tidak bisa disebut “ilmiah”.

Dapat dipahami tentang penekanan penggunaan statistik dalam ilmu sosial disebabkan oleh kesilauan ahli ilmu sosial terhadap prosedur induktif yang digunakan dalam ilmu alam. Dengan prosedur induktif, para ahli ilmu sosial berharap akan menemukan hukum-hukum sosial seperti layaknya hukum fisika; sehingga penggunaan prosedur yang kaku, dengan berbagai varian metodologi kuantitatifnya, telah berhasil membuat sebagian besar akademisi kita sudah merasa “paling ilmiah”.

Doktrin tersebut, tidak dapat dipungkiri, menyiratkan pandangan yang kacau. Statistik tidak menggambarkan keteraturan. Dia hanya sebuah kumpulan kejadian-kejadian yang beragam, yang kemudian direduksikan menjadi angka-angka. Dengan demikian, kejadian-kejadian tersebut bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi kejadian di masa depan. Fenomena yang telah direduksi ke dalam angka statistik pastilah fenomena masa lalu. Dia merupakan sejarah masa lalu; sehingga sangat musykil untuk membangun teori dari data statistik.

Sekarang ini ilmu sosial seolah-olah telah menjadi cabang dari ilmu matematika ataupun statistik. Kita hampir tidak pernah diberikan telaah tentang problem epistemologi. Dalam hal prosedur penelitian, hampir semua kurikulum perguruan tinggi telah mengajarkan filsafat ilmu—bukannya epistemologi ilmu. Sebagai akibatnya, telah menjadi keyakinan umum bahwa tanpa prosedur metodologis, sebuah temuan yang ‘hanya’ berdasar reflektif tidak akan pernah dianggap sahih.

Dampak lebih jauh dari pandangan tersebut ialah matinya sensitifitas serta kemampuan refleksi filosofis para ahli ilmu sosial. Mahasiswa dan calon sarjana ilmu sosial, atau secara umum bidang manusia, telah benar-benar menjadi positif. Mereka hampir-hampir tidak memiliki kemampuan analisis logis yang mumpuni terhadap problem sosial. Sarjana-sarjana kita telah menjadi robot-robot akademik yang mudah untuk ditakut-takuti oleh wajah seram metodologi ilmu.

Entah berapa banyak lagi buku-buku metodologi penelitian sosial yang sekarang terserak di toko-toko buku mengasumsikan hal yang sama. Asumsi filosofis yang sejak zaman Locke, Hume serta Berkley hingga memuncak menjadi filsafat Positivis Auguste Comte, menganggap akal manusia hanyalah ‘tabula rasa’, yang hanya tunduk pada rangsangan inderawi. Mereka tidak mempercayai bahwa manusia memiliki benak yang aktif. Anehnya, determinisme filosofis yang semakin berlarut-larut saat ini tidak pernah dipertanyakan ataupun diresahkan oleh kalangan akademis kita.

Dengan demikian apabila ditelusuri secara logis, determinisme filosofis akan mengarah ke empirisme, dan apabila ditambah dengan prasyarat perlunya verikasi dan falsifikasi dia akan menjelma menjadi keyakinan positivis. Dengan kata lain, positivisme merupakan bentuk ekstrim empirisme serta bagian besar dari pandangan determinis. Determinisme adalah kakek positivisme. Begitu juga empirisme; dia anak determinisme, serta bapak dari positivisme.

Artinya, ketiga pandangan tersebut adalah keluarga besar yang menyamakan manusia seperti batu. Bagi determinisme, manusia adalah hasil endapan serta bentukan dari budaya, sejarah ataupun pengaruh perubahan iklim, seperti bebatuan yang berasal dari sedimen yang tererosi oleh iklim di luarnya (dalam derajat tertentu pandangan ini memang dapat diterima). Sementara, para empiris tidak cukup yakin bahwa yang dihadapi adalah batu, maka mereka belum puas apabila belum “meng-indera-I” sang batu. Positivisme jauh ingin lebih meyakinkan, dengan membawa sang batu ke laboratorium untuk mendapatkan pengujian hingga benar-benar dibuktikan bahwa yang ditelitinya adalah batu yang lapuk karena tererosi oleh perubahan iklim.

Satu hal yang dilupakan bagi kaum determinist empirist positivistic adalah bahwa manusia sesungguhnya mampu belajar. Mereka bukan sekumpulan bebatuan, atom-atom, molekul-molekul, serta agregat-agregat angka yang dengan sederhana dapat dirumuskan menjadi teori melalui kalimat; jika Y, maka X. Tapi sebaliknya, manusia adalah makhluk yang bertindak, berpikir, menilai dan memilih. Kehendak bebasnya merupakan sarana untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan hidup yang telah menjadi kodrat kehidupan. Manusia akan dapat belajar baik dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan bagi kepuasan serta eksistensinya. Singkatnya manusia bukanlah materi fisikal yang tak bertindak, sekali lagi, dia adalah makhluk yang bertindak.

Jadi, jika mayoritas kalangan akademik sekarang masih berkutat melalui asumsi-asumsi positivistik yang keliru, maka tidak ada cara lain kecuali mengkaji ulang asumsi-asumsi tersebut. permasalahan tentang apakah suatu bidang ilmu bisa dikatakan ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah terletak pada penggunaan model matematis dan analisis statistik yang canggih maupun yang tidak canggih. Tapi pada kesesuaian asumsi-asumsi dalam epistemologisnya dalam melihat objek material ilmu tersebut—yang tentunya dalam ilmu-ilmu sosial berbeda jauh dengan asumsi epistemologis ilmu alam.

Kembali pada Logika Tindakan

Untuk melawan positivisme salah satu jawaban alternatifnya ialah kembali kepada kajian logika, logika tindakan (praksiologi) atau membuka kembali keran perdebatan metafisis. Teori ilmu sosial tidak akan dapat dihasilkan melalui prosedur eksperimen. Alasannya: manusia bukanlah batu, atom, molekul, planet bahkan tikus ataupun anjing. Setiap eksperimen yang dilakukan oleh peneliti sosial tidak akan dapat menjamin munculnya tanggapan yang sama pada masing-masing manusia.

Sebaliknya, Manusia adalah makhluk yang bertindak. Artinya, manusia akan selalu bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya. Tindakan tersebut akan selalu berbentuk cara-cara yang terbatas serta berbeda-beda bagi setiap individu. Atas dasar itulah basis tindakan manusia dapat dipahami.

Oleh karena itu pemahaman terhadap basis ‘nilai’ manusia menjadi sangat penting. Sebuah penilaian manusia tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu yang cardinal. Penilaian manusia akan selalu berbentuk ordinal. Sebuah nilai tidak akan dapat direduksi ke dalam agregrat-agregat melalui bahasa matematis dan juga statistik. Tetapi sebaliknya, nilai adalah sebuah prioritas. Dia tidak dapat menjadi A sekaligus dalam waktu yang sama menjadi B. Manusia akan selalu dibatasi untuk memilih—melalui penilaiannya—prioritas antara A atau B, ataupun memprioritaskan B daripada A.

Akan tetapi, kaum positivis barangkali akan tetap menolak dengan mengatakan bahwa logika, dan juga logika tindakan, tidak dapat disebut sebagai pengetahuan tentang realitas. Alasan mereka adalah karena pernyataan-pernyataan logika maupun praksiologi tidak dapat dibuktikan secara empiris. Dengan demikian, menurut anggapan yang berpandangan positivis, logika dan praksiologi hanya bersifat analitis dan bukan sintetis.

Untuk melawan argumen ini kita boleh saja mempertanyakan kesasihan kesimpulan non empiris dari 2 + 2 = 4. Apakah untuk menyimpulkannya kita memerlukan pengujian empiris? Jawabnya jelas tidak. Tapi kemudian pertanyaannya adalah, justifikasi apakah yang menyebabkan kesimpulan tersebut sahih baik secara empiris maupun logis? Yang pasti melalui hukum-hukum epistemologis dengan menyelidiki cara kerja akal, tentang refleksi melalui hukum non-kotrakdiksi, kausalitas, hukum identitas, dsb. Dalam ranah ini maka sangat penting bagi setiap ahli ilmu sosial untuk mempelajari epistemologi ilmu.

Namun cara kerja epistemologi bidang kajian ilmu manusia berbeda dari matematika. Dia beroperasi berdasarkan hukum-hukum logika tindakan. Walaupun preposisi apriori matematis berbeda dengan preposisi apriori dalam logika tindakan, keduanya mengkarakteristikan hal yang sama, bahwa kedua proposisi apriorinya tidak mungkin lagi dianalisis menjadi lebih kecil lagi. Artinya, dia menjadi batas akal/rasio dalam bekerja. Proposisi apriori matematis seperti; +, -, /, x adalah kaidah-kaidah yang membatasi hukum-hukum berfikir tentang realitas (yang dalam hal ini bukan ranah tindakan), yang apabila diuji secara empiris akan membawa pada kesimpulan yang sahih—dengan syarat tidak terjadi kesalahan logis dalam pendeduksiannya. Dengan demikian, dia sahih baik secara apriori maupun riil.

Begitu juga dalam logika tindakan. Kaidah-kaidah tentang identitas dan kontradiksi ialah kaidah yang membatasi dalam memandang realitas. Kategori-kategori logika seperti “ada”, “semua” serta implikasi-implikasinya seperti “dan”, “tidak”, “atau”, “jika-maka” merupakan batas-batas yang tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Dia akan begitu dan tetap seperti itu, baik secara logis maupun riil.

Walaupun karakter apriori logika tindakan serta karakter apriori matematis memiliki karakteristik yang sama, akan sangat keliru bagi kaum positivistik, yang menekankan fungsi prediktif, dengan cara menggunakan perhitungkan matematis dalam menggambarkan realitas tindakan. Alasannya, kerena proses pendeduksian matematis tidak dapat ditarik dari aksioma tindakan. Dalam perspektfi ini, maka sebenarnya positivisme tidak memiliki basis epistemologi apapun.

Di sinilah pentingnya kajian praksiologi atau logika tindakan. Pencarian kebenaran dalam logika tindakan tidak dilakukan dengan cara mengukur; dia hanya dapat ditelaah melalui identifikasi reflektif. Identifikasi tersebut mengisyaratkan bahwa setiap tindakan manusia sepenuhnya subyektif. Jadi memprediksikan sebuah tindakan adalah sesuatu yang muskil, karena ketika kemarin saya bangun jam 6 pagi, hal tersebut tidak akan menjamin bahwa saya besok akan bangun pada jam yang sama seperti kemarin; secanggih apapun metode statistik yang Anda gunakan, Anda tidak akan mampu memprediksikan jam berapa besok saya akan bangun. Karena sebab-sebab konstan dalam sebuah tindakan tidak akan pernah ada sama sekali.

Kemudian kaum positivis mungkin akan bertanya-tanya, untuk apakah science jika tidak memiliki fungsi prediktif? Yang jelas tanpa memiliki fungsi prediktif suatu ilmu tetap akan dapat memberi petunjuk bagi manusia untuk memahami dunianya. Dengan tujuan yang lebih sederhana, tugas ilmu pengetahuan adalah menguak realitas-realitas yang masih terhalang. Sains tentang manusia tidak dapat membangun ide-ide apapun; dia hanya dapat menguak realitas—-setidaknya agar kita tidak selalu dibohongi oleh ahli propanda serta menjaga peradaban dalam menciptakan individu-individu yang bebas, bermoral, kritis, kreatif serta inovatif.

Hanya melalui strategi perubahan cara pandang—atau setidaknya kembali mengkaji—epistemologi-lah krisis kemanusiaan dapat diperbaiki. Tanpa ada usaha perubahan tersebut maka kita akan selalu dihadapkan pada problem-problem sosial yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam memahami fenomena realitas manusia. Entah sampai kapan kita meyakini anggapan bahwa alat tukar/uang ialah hasil ciptaan pemerintah, atau bahwa harga barang seharusnya dapat dikontrol oleh politisi, atau menganggab hasil belajar pesertadidik harus dievaluasi serentak melalui Ujian “Nasional”. Tanpa disadari, dengan klaim jubah ilmiah oleh kalangan akademis, kita telah menciptakan bencana kemanusiaan yang berasal dari kesalahan pemahaman atas ilmu-ilmu tentang manusia itu sendiri!


[1] Lihat dalam pendahuluan karya Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harriet Martineau (London George Bell & Son, 1986), hal. 31.


*Giyanto: sedang mendalami Praksiologi sekarang tinggal di Semarang.

Kamis, Maret 26, 2009

Cinta; Peredam Konflik


Cinta; Peredam Konflik1

Oleh : Awaludin Marwan, SH2



Cinta kepada hidup memberikan senuyuman abadi, walau hidup kadang tak adil, tapi cinta lekat di kita (Laskar Pelangi, 2008)

Cinta adalah kunci kedamaian, keindahan, kenikmatan, dan yang memberi manusia akan kebahagiaan yang sesungguhnya dan sebenarnya. Cinta menyiram kehidupan manusia yang kering dan gersang. Membuat seseorang masih memiliki harapan dalam hidup. Minimal harapan untuk dapat memiliki cinta sejati.

Melampaui zaman pencerahan, cinta memberikan cahaya yang luar bisa di dalam hati dan pikiran. Sehingga cinta sejati bukan sekadar keinginan untuk memiliki, bukan pula keinginan untuk mengurung sang kekasih dalam kekuasaan otoriternya, melainkan kesadaran untuk saling memberi, berkorban, dan berbuat apa saja hanya untuk kebahagiaan kekasih.

Ketika cinta itu bersemai, pertanyaan dasarnya, bagaimana dengan petengkaran dan perceraian yang terjadi dalam rumah tangga atau hubungan dua sejoli. Ternyata, pada kasus ini, cinta itu telah hilang. Pertengkaran yang terjadi telah membuktikan rasa cinta diantara mereka telah pupus, hancur, dan hilang.

Cinta bisa meredam pertikaian sedahsyat apapun. Karena bila cinta itu masih ada, seseorang tak akan sanggung melukai, berusaha menekan ketegaan, sehingga melakukan apa pun untuk mempertahankan cinta itu.

Kekuatan cinta melebihi batas-batas ruang dan waktu. Jika cinta itu lekat di hati, maka sampai kakek-nenek pun dua sejoli tetap akan membawa suasana romantisme. Bahkan kematian terkadang tak menyurutkan cinta, orang bersedia menduda atau menjanda seumur hidup demi cintanya pada kekasih yang telah meninggal.

Tak akan mungkin ada konflik, jika cinta itu tumbuh subur di dalam kehidupan manusia. Cinta melahirkan inspirasi kehidupan bagi manusia, menciptakan malaikat jelita penjaga jiwa dan hati manusia. Suatu cinta yang tegak laksana cahaya mercusuar biru menunjukkan jalan yang membimbing manusia tanpa sinar yang tampak.

Tak kan ada pertikaian, tak kan ada permusuhan, tak kan ada perkelahiran, tak kan ada pertarungan, semuanya jika cinta masih dimiliki oleh manusia.

Ternyata cinta sejati tak hanya kepunyaan dua sejoli yang berpadu kasih saja, melainkan ia dimiliki oleh sebuah keluarga. Kecintaan bunda pada anak, tak akan bisa diuraikan dengan bahasa apapun. Tak ada bahasa yang mewakili untuk menggambarkan betapa kasih sayang dan rasa cinta bunda pada anak begitu besarnya.

Beliau memberikan cintanya setulus ia mencintai dirinya, bahkan lebih. Mulai dari kita dilahirkan di dunia, kita disusui, dibesarkan dengan kasih. Beliau dengan alasan yang tak jelas menyekolahkan kita, mendidik kita, berusaha membimbing kita. Bunda, terkadang engkau otoriter, jauh di hati, tetapi kasihmu tetap terasa bagi orang-orang yang mampu melihat betapa besarnya jasa seorang bunda pada kita.

Sahabat, pacar, guru, dan orang-orang yang berlalu-lalang di kehidupan kita, mereka adalah orang-orang yang sementara membantu kita. Temen SD lulus berpisah, teman SMP lulus berpisah juga, temen SMU lulus berpisah. Hanya faktor kebetulan dan ketidak-sengajaan saja, mereka satu sekolah lagi dengan kita. Tetapi orang-tua, bunda selalu ada dan orang yang paling sedih ketika kita sakit. Orang yang menanggis ketika kita kesusahan. Dan orang yang merasa paling bertanggung-jawab atas kehidupan kita.

Orang yang selalu menginginkan kita jadi yang terbaik tanpa menaruh rasa iri. Itulah, bunda. Cintanya sedalam samudra dan setinggi langit, bahkan melewati perbatasan semesta alam ini.

Cinta ita pada saudara juga cukup mendasar. Orang tak merasakan betapa berharganya soudara, tetapi jika ia jauh, ia kesusahan, kita adalah orang yang paling peduli akan kondisinya. Adik dan kakak, kita sangat mencintaimu.

Inilah kisah-kasih singkat tentang cinta. Pendeknya, konflik tak akan mungkin terjadi, jika kita mencintai orang yang lebih tua sebagaimana cinta kita pada orang tua dan mencintai orang yang sebaya atau lebih muda sebagaimana kita mencintai saudara kita.

Konflik Rasa Psikologi

Tenyata di dalam psikologi, ditemukan sebuah konflik diri. Umpamanya jika pendapat Freud tentang psikoanalisis, ternyata manusia memiliki ”konflik di dalam dirinya sendiri”. Freud menyebutkan, perception about human behaviour. Freud states that human behaviour is determined by the irrational power which is not aware of biological motivation and motivation of certain psychological sexual. Freud menyatakan perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan tidak logis yang mana tidak peduli akan motivasi biologi dan motivasi dengan seksual psikologis, the structure of human personality consists of idea, ego and superego; Struktur dari kepribadian manusia terdiri dari ide, ego dan superego; Consciousness and unconsciousness kesadaran dan keadaan tidak sadar; worries kekuatiran; mechanism how to defend ego, mekanisme bagaimana caranya mempertahankan ego; dan terakhir, the development of individuality pembangunan dari ciri khas.3

Berdasarkan ajaran kunci Freud di atas, maka pertautan antara alam sadar (conscience mind) yang selalu menekan alam bawah sadar (unconscience mind) adalah konflik tersendiri di dalam diri manusia. Alam bawah sadar (unconscience mind) yang terdiri dari impuls-impuls, insting yang letaknya terdalam selalu di halang-halangi oleh alam sadar manusia (conscience mind). Proses penghalangan ini tak hanya dipengaruhi oleh watak logis-rasionalistik manusia, melainkan juga determinasi lingkungan sosial manusia. Masyarakat beserta hukum sosialnya selalu menghalang-halangi kemunculan alam bawah sadar manusia (unconscience mind).

Itulah konflik di dalam diri, yang memperlihatkan dua kubu alam bawah sadar (unconscienc mind) dan alam sadar (conscience mind). Biasanya orang menyebutnya secara sederhana dengan bahasa perang antara rasio dengan batin, keinginan dengan kewajiban, nalar dengan intuisi, dst. Bahkan di Filsafat ada hukum pertentangan: dialektika Hegel, diskursus Foucault, logika Aristotelian, dst.

Dengan kata lain, konflik ternyata bukan berada di mana-mana, melainkan juga ada di dalam diri, pikiran.

Beranjak dari gagasan Freud menuju ke konsepsi psikologi sosial. Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin4 berangkat dari pemikiran Darwin, Freud, dan Marx mengungkapkan bahwa terdapat tiga kabar gembira dari kemunculan konflik. Pertama, konflik sebuah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Kedua, konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Dan ketiga, konflik dapat mempererat tali persatuan kelompok.

Perubahan seperti apa yang di kemukakan oleh Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin memang harus berjalan. Namun bukan konflik konfrontasi dalam skala tertinggi dan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan revolusi etis bisa dimaknai sebagai perubahan radikal tanpa anarkhisme dan pengebirian kelompok ideologi tertentu dengan kelompok lain, melainkan sebuah usaha menolak kemapanan dengan sikap intelektualis dan reformis. Ada dua efek yang secara bersamaan timbul dalam aksi perubahan, yakni pengbongkaran dan penciptaan. Dengan dibingkarnya rezim yang telah mapan dalam rangka mencari kebenaran, di saat yang bersamaan secara alamiah penciptaan (rekontruksi) berlangsung. Bukan tidak mungkin perubahan bisa terjadi mengalami kemunduran ketimbang hasil yang lebih baik. Namun perubahan dengan tanpa eskalasi konflik yang di mungkinkan bisa di jadikan pedoman guna menyusun perubahan yang signifikan tanpa aksi kekerasan dan pemaksaan.

Masih dalam kerangka Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin kita menyaksikan pernyataan keduanya, memang cukup rasional jika konflik otomatis akan menggambarkan peta politik dan tatanan sosial. Peta politik dan tatanan sosial yang dikonstruksi berdasarkan kesamaan kepentingan dan kebutuhan kelompok yang bersangkutan. Namun tidak ada jaminan bahwa konflik tanpa penyelesaian bisa merekonsiliasikan kelompok-kelompok yang bersengketa. Yang ada hanyalah kemungkinan konflik yang kian meluas, bertahan dalam waktu yang lebih lama, dan menguras energi tanpa kemanfaatan utilitarianis. Ini juga menyangkut pernyataan Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin dalam item ketiganya yang tak dapat dimungkinkan apabila kelompok bersatu erat lantaran adanya sebuah konlik yang mendahuluinya, justru malah konflik-konflik baru yang muncul dari konflik awal, memisah dan memecahkan persatuan dan solidaritas sosial masyarakat.

Dalam termnologi psikologi sosial, dipahami bahwa konflik dalam masyarakat berangkat dari sistem kesadaran kolektif sebagai faktor pemicu spiral kekerasan dan konfrontasi.

Teoritik Sidikit-lah.

Menurut Teori Konflik, tindakan manusia yang terlibat dalam peristiwa sosial dan politik, sosial ekonomi dan bidang-bidang lainnya selalu ada konflik. Matindale5 mengatakan bahwa Teori konflik adalah ciptaan manusia yang mengalaminya. Teori konflik sebenarnya merupakan teori yang berusaha untuk mengkritisi Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons yang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang seimbang (equiliribium) yang cenderung statis dan tertutup. Para pengamat politik dan sosial menekankan pentingnya konflik dalam kehidupan manusia. Pada abad 18-an para pemikir ekonomi menjadikan konflik sebagai pusat teori mereka. Konflik antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dijadikan dasar penciptaan Teori Ekonomi oleh Adam Smith.

Ralf Dahrendorf6 membangun teori hubungan antara konflik masyarakat dan perubahan. Dahrendorf mengatakan bahwa seluruh kreativitas, inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelomoknya dan masyarakatnya, disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok, antara individu dan individu serta antara emosi dan emosi di dalam diri individu. Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Inti pemikiran Dahrendorf adalah sebagai berikut:

Pertama, Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan; perubahan terjadi di mana saja. Kedua, Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat di mana-mana. Ketiga, Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya. Keempat, Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota yang lain.

Secara ringkas Dahrendorf mengatakan bahwa konflik kelas menyebabkan perubahan struktural dan merembes sehingga terjadi di mana-mana.

Teori resolusi konflik antara lain sebagai berikut : teori identitas, teori hubungan masyarakat, teori negosiasi prinsip, teori kesalah-pahaman, teori tranformasi, teori kebutuhan manusia.7 Teori identitas menekankan bahwa penyebab konflik bermula dari sekelompok orang yang merasa identitasnya terancam oleh kelompok lain. Sehingga untuk menyelesaikannya harus melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antar wakil-wakil kelompok yang mengidentifikasi ancaman-ancaman hingga pada pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak. Dengan demikian, jika teori ini di aplikasikan ke dalam duduk persoalan yang kita geluti maka pelaksanaannya haruslah menuntut para aktor konflik bersedia menanggalkan identitas sementara yang sebenarnya telah ditunggangi kepentingan politik untuk mencapai sebuah kesepakatan damai. Janganlah sampai identitas yang berasal dari heteroginitas yang harmonis dijadikan kedok tersembunyi bagi kepentingan-kepetingan yang hendak merusak ketentraman masyarakat adat. Padahal konflik yang berkepanjangan justru malah banyak merugikan masyarakat, pemerintahan lumpuh, energi terbuang sia-sia, pembangunan terhambat dst.

Selanjutnya, teori hubungan masyarakat melihat konflik yang disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, adanya ketidakpercayaan dan revitalitas kelompok dengan masyarakat. Inilah yang kita saksikan dalam konteks pertikaian pilkada Maluku Utara, semula masyarakat yang terfragmentasi dalam lingkup etnis, ras, sistem kepercayaan yang sangat berbeda, setelah fragmen itu mapan, eksistensinya diperkuat oleh fragmen yang ditambahkan lagi melalui perpecahan akibat proses politik, yakni pilgub, masyarakat adat terbagi ke dalam kubu-kubu pendukung pasangan calon yang saling berhadap-hadapan. Maka dengan demikian, konflik tersulut dengan sangat mudah apabila sentimen-sentimen antarkelompok ditumbuhkan di balik kedok politik busuk para elitnya. Pengembangan toleransi agar masyarakat mau menerima keberagaman adalah suatu hal yang sebelumnya dikuatkan terlebih dahulu.

Sementara, teori negosiasi prinsip disebabkan posisi yang tidak seimbang antarkelompok masyarakat yang menciptakan struktur hirarkhis tertentu. Teori kesalah pahaman menjelaskan adanya ketidak cocokan dalam berkomunikasi di antara orang-orang yang memiliki latar-belakang yang berbeda-beda. Sedangkan teori tranformasi disebabkan oleh ketidak-adilan sosial oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan sosial. Terakhir adalah teori kebutuhan manusia yang menerangkan penyebab konflik berasal dari kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi. Kesemua teori resolusi konflik ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan ”komunikasi”, entah itu dengan mediasi, negosiasi, loby, dst.

Sedangkan, bagaimana menyikapi konflik yang terjadi antarnegara dengan masyarakat. Mengingat betapa banyaknya lembaga negara yang saling menunjukkan eksistensi mereka, sementara masyarakat berada di antara perhelatan kepentingan dan tak jarang mereka melontarkan protes dan kekecewaan antara satu sama lain. Kebiasaan negara menjalankan sistem kebijakan top down sangatlah berimplikasi buruk pada hubungan negara dengan masyarakatnya. Sehingga bukannya bottom up, melainkan dengan kekuatan memaksa (coercive power) menjadi modus operandi yang selama ini keliru besar. Untuk menjaga keharmonisan relasi antara negara dengan masyarakat, negara perlu mengindentifikasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat, sehingga bahan-bahan identifikasi dapat dipergunakan untuk merumuskan keputusan yang tidak bermuatan konflik dengan masyarakat lokal.

Hukum; Peredam Konflik Sementara

Maka teori yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah Teori Bekerjanya Hukum yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman.8

Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions), Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosietal Personal (Societal Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture)9 serta unsur-unsur Umpan Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.

Sehingga dengan demikian, elemen-elemen yang menjadi komponen penting dalam hukum akan mengejawantahkan ketertiban dan keteraturan.

Bentuk lain dari produksi ketertiban dan keteraturan itu adalah peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Dalam konteks demikian peraturan perundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba pula. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Saat ini sudah berkembang suatu cara pandang kritis terhadap hukum atau Critical Legal Study (CLS). Cara pandang ini didorong oleh suatu Gerakan Studi Hukum Kritis (GSHK) sekitar tahun 1970-an yang salah satu tokohnya adalah Roberto M. Unger. Kalangan CLS berangkat dari titik tolak yang berbeda dengan teori hukum liberal. Gerakan CLS berpandangan bahwa “law is as negotiable, subyejective dan policy-dependent as politics.”10 Hal ini adalah realitas bahwa hukum dalam praktik pendayagunaannya tidak selalu bertolak dalam premis normatif yang telah selesai disepakati bersama, baik dalam pembentukan undang-undang positif (in abstracto) maupun dalam penerapannya (in conreto). Menurut CLS tidak mungkin memisahkan politik dan pilihan-pilihan etik dengan hukum berdasarkan argumen obyektifitas dan netralitas hukum, sebagaimana dikembangkan oleh teoritisi hukum liberal. Melalui pendirian ini, kalangan CLS ingin mengedapankan analisis hukum yang tidak hanya bertumpu pada segi-segi doktrinal semata—yang mengandalkan metode deduktif (lewat silogisme logika formal), tetapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor luar doktrin hukum seperti pengaruh faktor sosial, politik dan ekonomi dalam proses pembuatan dan penegkan hukum. Dengan titik tolak seperti ini tampak sangat sulit untuk mengatakan bahwa hukum itu bersifat netral dan obyektif, baik dalam proses pembuatannya maupun proses aplikasi (interpretasinya). Jauh lebih dapat diterima memandang hukum sebagai suatu produk yang tidak netral karena senantiasa ada konflik kepentingan-kepentingan---bahkan perebutan kepentingan---tersembunyi yang difasilitasi hukum.11

Ya, pada akhirnya, tetap saja hukum berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial (as a tool of social control) hukum kata Roscou Pound.12

Simpulan Ngawur

Apalah arti dari semua teori, kesalahan dalam paper ini menampilkannya, tetapi hanya untuk pra-syarat kalau di dalam paradigma sains positivistik model itu di dewa-dewakan, dikultuskan, dan di agung-agungkan. Tetapi sesungguhnya hanyalah “cinta” yang mampu menangulangi konflik.



1 Di sampaikan di pelatihan kepemimpinan HIMA Psikologi UNNES, pada hari Kamis, 26 Maret 1986.

2 Penulis di Komunitas Empun Pagi, tolong kunjungi blok kami, www. komunitasembunpagi.co.cc

3 Sigmund Freud. 1923. A General Introduction to Psycoanalysis. Penguin Book. London. p 253

4 Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin. 2000. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar. Yogjakarta. Halm. 13-15

5 Don Matindale, The Nature and Types of Sociological Theory, Boston, Hougnton Mifflin Co, 1960, hlm.142.

6 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Sosiety, Standford University Press, 1959, hlm. 208.

7 M. Mukhsin Jamil. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Strategi, dan Implementasi Resolusi Konflik. Walisongo Media Centre. Semarang. Halm. 155-156

8 William J. Chambliss and Robert B. Seidman, Law, Power and Order, Addison-Wesley Publishing Company, Philipine, 1971, hlm. 12.

9 Lihat, Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, hlm. 14-15.

10 Lihat Ifdhlm Kasim, Mempertimbangkan “Critical Legal Studies” dalam Kajian Hukum di Indonesia dalam Wacana-Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 6 Tahun II 2000, Yogyakarta, hlm. 25.

11 Paling tidak dikenal adanya empat dasar atau akar konflik sebagaimana dikemukakan oleh Dorcey (1986) yaitu: (1) Perbedaan pengetahuan dan pemahaman; (2) Perbedaan nilai; (3) Perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian; dan (4) Perbedaan karena latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan. Lihat, Harry Eckstein, “Theoritical Approaches to Explaining Collective Political Violence”, dalam Ted R. Gurr (ed.), Handbook of Political Conflict : Theory and Research, (New York : The Free Press, 1980), hlm. 135-140. Lihat juga, Konrad Lorenz, On Aggression, (New York : Harcourt, Brace & World, Inc., 1966)

12 Ronny Hanitijo Soemitro, Perpektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, CV Agung, Semarang, 1989, hlm.23

Rabu, Maret 25, 2009

Sesuatu



Barangkali............
Apabila ada salah satu orang gila di dunia ini,
Adalah aku
Tergila-gila akan senyum dan rayunya

Barangkali.............
Apabila ada salah satu pengemis di dunia ini,
Adalah aku
Mengemis cinta dan kasih sayangnya

Barangkali............
Apabila ada salah satu gelandangan di dunia ini,
Adalah aku
Menggelandang jiwaku demi bertemu dengan jiwanya

Tapi kenapa tak pernah dapat aku menemuinya,
Walau sekarang aku dihadapnya
Padahal............
Tak dapat ku bilang tak tahu
Sesuatu dibalik sorot matanya yang indah itu
ck..ck...ck..ck..aku heran................

(N. A. El Insiyati)

Senin, Maret 23, 2009

Teenlit: Tonggak Baru Kemerdekaan Sastra Indonesia



Teenlit merupakan sebuah perkembangan baru yang cukup penting dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dalam perkembangannya teenlit telah menciptakan ‘dunia’nya sendiri mulai dari penulis, pembaca, percetakan, pasar hingga juga melahirkan komunitas-komunitas penggemar yang cukup fanatik. Perkembangan tersebut merupakan sebuah fenomena kebudayaan yang harus di’baca’ dan dicatat karena barangkali dapat memperkaya pengalaman kesusastraan kita yang selama ini masih berkutat pada polemik seputar sastra dan masyarakat.

Teenlit atau biasanya ditulis Teen-Lit merupakan kependekan dari Teen Literature. Dari namanya saja kita tahu bahwa teenlit merupakan genre sastra yang banyak dikonsumsi oleh kaum muda, khususunya perempuan. Teenlit terkadang juga disebut Chick-Lit. Kedua istilah tersebut sebenarnya mengacu pada sebuah genre yang sama. Adapun perbedaan keduanya sangatlah tipis, yaitu jika teenlit ditulis oleh dan untuk kaum remaja sekolahan dan anak-anak ABG maka chicklit lebih berorientasi ke pasar wanita muda, dewasa, mandiri, karir dan lajang (atau katakanlah wanita komopolit).

Teenlit atau chicklit dapat dikenali dengan mudah, seperti yang bisa kita lihat di toko-toko buku semacam Gramedia. Di sampul depannya, biasanya tertera tulisan kecil “ChickLit” atau “TeenLit”. Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna yang mencolok yang menggambarkan keremajaan, keceriaan dan hidup yang penuh dengan warna-warni ala kaum remaja. Kita tidak akan menemui sampul buku yang berwarna kelam, sepi dan serius ala novel-novel serius yang selama ini menghuni toko-toko buku. Judul-judul yang digunakan pun menonjolkan sifat keremajaan yang santai, tidak serius, dan tentu saja harus bahasa yang sehari-hari. Judul-judul tersebut menggambarkan tema-tema keremajaan (kemudaan). Sebut saja seperti Me versus High Heels (Aku vs Sepatu Hak Tinggi), Fashionista, Dealova, Cintapuccino dan Confessions of a Shopaholic (Pengakuan si Gila Belanja).

Dalam teks atau isi di dalamnya, teenlit biasanya menggunakan ukuran font yang cukup besar. Lebih besar dibanding ukuran font dalam novel-novel biasanya. Di samping itu, ciri yang paling penting dari teenlit adalah bahasa yang digunakan merupakan bahasa gaul, yaitu bahasa sehari-hari yang sering dipakai di kalangan anak muda. Demikianlah kira-kira beberapa karakteristik yang menonjol dari teenlit. Karakteristik tersebut bias jadi menjadi penyebab semakin digemari teenlit oleh masyarakat khususnya kaum muda. Bahkan beberapa judul teenlit telah diangkat di layar lebar, sebut saja Dealova, Cintapuccino, dan beberapa judul lain. Beberapa catatan seperti yang dicatat menyebutkan bahwa "Cintapuccino" dalam sebulan saja sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan, sedangkan "Dealova" sejumlah 10.000 eksemplar, juga setelah sebulan dirilis; "Fairish" yang sampai 2005 sudah terjual 29.000 eksemplar. Belum lagi beberapa judul baru yang kian menjamur di toko-toko buku di Indoenesia. (Lihat catatan R.S. Kurnia dalam tulisannya yang berjudul Teenlit ebagai Cermin Budaya Remaja Perkotaan Masa Kini yang diposting di http://pelitaku.sabda.org/teenlit_sebagai_cermin_budaya_remaja_perkotaan_masa_kini)

Beberapa pengamat sastra mengatakan bahwa teenlit merupakan perkembangan sastra yang berakar dari Barat. Dikatakan bahwa lahirnya genre baru bernama teenlit ini dipelopori novel Bridget Jones’s Diary yang ditulis oleh Helen Fielding yang juga sudah difilmkan. Novel setebal 271 halaman itu memang merupakan sebuah fenomena. Buku tersebut, menurut ABCNEWS, sempat meraup lebih dari $71 juta Dollar atas penjualannya! Demikianlah sejarah kecil teenlit yang bisa kita baca. Sedikitnya referensi tentang teenlit Indonesia bisa kita maklumi dikarenakan sifat kebaruan teenlit atau chicklit itu sendiri.

Sebagaimana halnya pendatang baru yang sangat fenomenal, teenlit tidak terlepas dari polemik atau kontroversi yang mengikuti perkembangannya. Beberapa pihak mendukung sedang sebagian lagi menggugat keberadaannya. Pihak pertama beragumentasi bahwa teenlit merupakan sebuah perkembangan yang wajar dikarenakan kebebasan berekspresi yang semakin dijamain oleh negara terlebih di era pasca reformasi. Sedang pihak kedua memandang teenlit sebagai ‘bukan sastra’. Pihak kedua ini biasanya berasal dari kalangan kritikus sastra yang selama masa periode pra-reformasi berkutat dengan karya-karya sastra serius (meskipun soal serius atau tidak serius ini sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat subjektif-positivistik, sesuatu yang sudah ditinggalkan dalam ere posmodern seperti sekarang ini). Golongan kedua ini biasanya adalah penguasa status quo dalam rezim sastra Indoenia, tidak hanya kritikus, juga kalangan penulis dan juga penerbit. Akhirnya, perdebatan seputar kehadiran teenlit tidak bisa lepas dari polemik besar dalam kesusastraan kita yaitu hubungan antara sastra dan masyrakatnya.

Sastra dan Masyarakat
Ketegangan hubungan antara sastra dan masyarakat merupakan masalah pokok dalam sosiologi sastra. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U (2005:283) dalam Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta bahwa masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam; (1) masyarakat yang merupakan latar belakang produki karya, (2) masyarakat yang terkandung dalam karya, dan (3) masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.

Ratna (2005:284) melanjutkan, masyarakat pertama dihuni oleh pengarang, keberadaannya tetap, tidak berubah sebab merupakan proses sejarah. Masyarakat yang kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan, sebagai manifestasi subjek pengarang. Oleh karena itu, keberadaannya memiliki dua dimensi yang berbeda. Di satu pihak, sebagai bentuk fisik, sebagai naskah bersifat tetap, sedangkan di pihak lain sebagai kualitas psike, sebagai teks berubah secara terus menerus. Masyarakat terakhir dihuni oleh (para) pembaca. Sebagai proses sejarah keberadaannya sama dengan masyarakat pertama. Perbedaannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan pembaca itu sendiri, yang berganti-ganti sepanjang zaman. Ketiga macam masyarakat seperti yang dikemukakan tersebut, dalam tulisan ini, yang akan digunakan untuk memotret hubungan antara sastra teenlit dan masysrakat yang melahirkannya, masyarakat yang dituliskannya, dan masyarakat yang membacanya.

Perkembangan sosisologi sastra tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dalam teori-teori sastra sendiri. Diawali dari keruntuhan teori strukturalisme yang dibangun oleh Ferdinand de Saussere dan yang telah dikukuhkan dengan meta-strukturalisme (atau yang juga disebut sebagai meta-narasi) oleh Levi-Strauss. Strukturalisme menobatkan bahwa ada struktur yang berpola universal di dunia ini. Bahwa sebuah tanda hanya terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda diandaikan tidak mempunyai sebuah ‘nomenclature’, yaitu semacam acuan ke realitas objektif. Dalam bahasa, sebuah bahasa diandaikan hanya terdiri dari dua hal, yaitu langue (pengetahuan dan kemampuan bahasa) dan parole (perwujudan langue pada individu).

Gagasan sstrukturalisme ini tidak dapat dipertahankan lagi setelah didobrak oleh gagasan post-strukturalisme. Beberapa gagasan post-strukturalisme (dan posmodernisme) dapat disebutkan di sini; semiotika Pierce yang mengakui adanya interpretant—sebuah acuan raealitas objektif di luar penanda dan petanda, dekontruksi yang dikumandangkan oleh Derrida yang mengakui adanya ‘aphoria’ (undecidebility)---semacam sesuatu yang tak terumuskan yang tak terduga yang bisa saja datang di luar penanda dan petanda, dan juga Foucault dengan relasi pengetahuan dan kuasa. Bagi Foucault khususnya, sebuah struktur bukanlah hanya sebuah struktur, melainkan adalah sebuah struktur yang dibangun oleh kepentingan pihak-pihak tertentu (siapa), kepentingan tertentu (apa), dan di sebuah ruang tertentu (dimana).

Kemerdekaan Sastra Indonesia
Dalam perspektif sosiologi sastra seperti yang dituturkan di atas, polemik sastra teenlit menemukan momentumnya karena lahir di era keterbukaan pasca reformasi. Banjirnya produki sastra teenlit bisa jadi merupakan sebuah gelombang perayaan kebebasan dari belenggu sensor rezim-rezim yang selama pra-reformasi menguasai ruang-ruang kebebasan berkepresi di tanah air. Bisa jadi rezim tersebut adalah rezim politik, yaitu rezim orde baru yang dikenal dengan pola represifnya dalam memberangus kebebasan berekspresi. Juga, bisa jadi berupa rezim sastra yang selama ini menguasai ruang-ruang publik kebudayaan dalam khasanah kesusastraan Indoenesia.

Sebut saja, pusat-pusat kebudayaan semacam Taman Ismail Marsuki (TIM) di Jakarta, (para) redaktur sastra di koran-koran nasional, kritikus-kritikus sastra dari departemen sastra di perguruan tinggi terkemuka, (para) sastrawan terkemuka yang sudah terlanjur mempunyai reputasi nasional, dan masih banyak lagi pihak-pihak yang merasa paling memiliki (menguasai) sastra Indonesia.

Tulisan ini tidak hadir untuk membela apalagi mempromosikan sastra teenlit di Indonesia. Lebih tepatnya, tulisan ini tidak ingin masuk ke dalam polemik tentang isi/substansi dari gambaran masyarakat yang dilukiskan dalam novel-novel teenlit yang ada sekarang (masyarakat golongan kedua—menurut Ratna). Melainkan tulisan ini hanya ingin menjadikan polemik sastra teenlit ini sebagai tonggak baru kebebasan (kemerdekaan) masyarakat yang melahirkan karya sastra (golongan pertama) dan kebebasan masyarakat pembaca (golongan ketiga) di pentas sastra Indonesia. Dengan demikian, kemerdekaan masyarakat sastra tersebut dapat menjadin picu lahirnya sastra-sastra alternatif yang lebih kaya dan lebih tak terduga di luar ‘mainstream’.

Akhirnya, lahirlah apa yang diimpikan sebagai demokratisasi sastra di Indonesia. Meskipun kita tahu selalu ada bahaya laten yang mengintai di setiap demokrasi yang berpotensi membunuh demokrasi (dan ujung-ujungnya---kebebasan) itu sendiri; kapitalisme? Tentu tulisan yang ada di hadapan pembaca ini merupakan sebuah tulisan yang belum selesai.

Salam setengah merdeka!, demikian kata kang Putu.


Muhammad Taufiqurrohman
Bukan Penikmat Teenlit

Sumber Gambar:
http://www.indonesiaindonesia.com/attachments/download/1312d1221798939-sinopsis-novel-teenlit-unbelieveable-love-novel-teenlit.jpg

POLITIK SASTRA: SASTRA SEBAGAI BARANG BIASA



Sastra adalah sebuah produk kebudayaan ‘biasa’. Ia adalah makhluk biasa-biasa saja yang lahir dalam sebuah rentang peradaban umat manusia. Sebagaimana produk-produk kebudayaan yang lain ---sebut saja politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya--- ia datang ke dunia dengan segala karakteristik, kodrat, keperluan, kepentingan, kelemahan juga kekurangan yang dibawanya. Juga saya pikir, sebagai barang ia tak ubahnya tempe penyet, busway, batu-nya ponari, dan laptop. Ia sepenuhnya biasa-biasa saja yang bisa disukai, bisa juga dibenci. Ia dalam berbagai bentuknya—puisi, cerpen, teater, film--- hanyalah sebuah benda dengan segala sifat-sifat yang melingkupinya. Juga sebagai benda, pasti ia tak berwajah tunggal. Ia bisa berwujud realisme, surealisme, kontekstual, pedalaman, pesantren, religi, populer, kuno, kontemporer, dan lain-lain.

Saya menemukan nada yang sama tentang sastra dengan pendapat Emha Ainun Nadjib. Meskipun pendapat Cak Nun (panggilan akrab Emha) hanya berbicara tentang puisi, tetapi saya kira pendapat tersebut mewakili pendapatnya tentang sastra secara keseluruhan. Dalam sebuah tulisannya, Cak Nun—demikian ia kerap disapa—menyatakan seperti ini;

‘Puisi itu barang bikinan manusia. Barang mainan, seperti halnya ketapel atau sepotong pisau. Sebagai mainan ia mungkin saja dianggap sebagai kebutuhan wajib, produksi yang termasuk pokok, bahkan mungkin sakral, religius, penuh cinta-kasih, dan terlalu romantis untuk diabaikan. Ia demikian pentingnya, tapi mungkin juga hanya agak penting, atau tak penting sama sekali. Tetapi pasti, seperti juga barang-barang mainan lain, ia hanyalah diadakan. Jadi sebenarnya ia tak ada. Kenyataan ruang dan waktu akan mengungkapkan bahwa ia sesungguhnya memang tidak ada. Yang ada hanyalah puisi yang tak bisa dibikin menjadi sebuah wujud, yang tak bisa diucapkan dan ditulis. Dengan kata lain ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan itu bukanlah puisi yang sesungguhnya. Melainkan dongeng saja. Analoginya juga segala perbincangan tentangnya hanyalah dongeng tentang dongeng belaka. Dan dongeng itu semu’.


Saya tidak tahu persis apakah Cak Nun membaca karya-karya posmodernisme atau tidak. Namun, saya pikir apa yang dikatakannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Derrida tentang Dekonstruksi, oleh Lyotard tentang the decline of grand narrative, oleh Foucoult tentang relasi kuasa (power relation) yang menjadikan segala hal adalah biasa-biasa saja. Simak saja Lyotard yang mengungkapakan akan keretakan pemisahan antara narasi besar dan narasi kecil. Tidak penting lagi apakah sesuatu berasal dari narasi besar atau narasi kecil. Segala sesuatu dalam pandangan postmodern menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang adi luhung, juga tidak ada yang luhur atau tidak luhur.

Foucault bahkan menambahkan bahwa segala hal di bawah tilam peradaban umat manusia merupakan hasil sebuah konstruksi. Sebagai sebuah kontruksi, segala hal hanyalah produk sebuah konspirasi. Everything is conspired, demikian lugasnya. Segala sesuatu adalah hasil sebuah konspirasi tertentu dengan kepentingan tertentu dan oleh orang-orang tertentu. Aliran konstruksionisme ini menyangsikan pandangan bahwa si a adalah luhur dan si b adalah buruk. Sebab, dalam sebuah kehidupan yang dianggap biasa, sebuah barang dianggap bagus/luhur/buruk didasarkan atas sebuah kepentingan; baik/luhur/buruk adalah menurut apa dan siapa. Lagi-lagi saya menemukan nada yang tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cak Nun tentang sastra;

‘Persoalan pertama dalam kesusastraan ialah apakah karyamu dan karyaku bagus atau tidak. Ini berlaku untuk bagian sejarah manapun serta tempat tinggal manapun. Tanpa karya baik segala ucapan kita tidak berbicara meskipun bisa berkata-kata. Persoalan kedua ialah bagus dan tidak menurut apa atau siapa. Artinya menurut ukuran apa, dan akhirnya (hukum psikologimasyarakat) siapa yang menilai. Kemudian seberapa bijak dan demokratis sebuah iklim lingkungan mampu mengakomodasi percaturan apa dan siapa itu’.


Politis
Sastra dalam pandangan konstruksionisme ini kemudian menjadi sesuatu yang politis. Ia, sesuatu yang dainggap suci oleh modernisme, ternyata tidak bisa lepas dari jeratan politik. Sebab, posmodernisme menguak ternyata di dalam sastra juga ada politik kepentingan, apa dan siapa itu. Sastra kemudian tidak bisa menyangkal dirinya untuk menerima label ‘politik sastra’. Inilah zaman kembalinya politik (the return of politics) seperti yang dinyatakan oleh Slavoj Zizek. Inilah zaman ketika sastra adalah pilitik dan politik adalah sastra.

Kata-kata John F. Kennedy yang termasyhur tentang sastra yang lebih suci/bersih ketimbang politik sepertinya sulit diberlakukan lagi. Kata Kennedy, “jika politik itu kotor maka sastralah yang membersihkan”. Saya tidak mengerti benar apa yang dimaksudkan Kennedy dengan sastra dalam kalimat tersebut. Mungkin yang diandaikan Kennedy adalah sastra sebagai isi/susbtansi atau sastra sebagai sastra. Dalam hal ini, semua sastra adalah panggilan atau jeritan hati nurani yang sangat bersih nan suci. Atau dalam kata lain, sastra dalam pandangan Kennedy adalah sastra yang idealistik. Namun, bisakah sastra steril. Sebagai produk kebudayaan ia hidup dan berinteraksi dengan segala produk kebudayaan yang lainnya. Ia harus berkompromi dan kadang-kadang harus masuk terjebur dalam selokan tinja. Ia tidak selalu lahir di masjid atau gereja atau istana yang wangi. Sebagai benda biasa, ia bisa lahir dimana-mana yang dapat bertemu dengan apa saja dalam peradabana umat mansuia. Ia bisa bertemu politik, ekonomi, hukum. Ia bisa berjumpa dengan nurani, keserakahan, cinta, kedengkian bahkan dosa. Ia sepenuhnya biasa-baisa saja.

Jika benar anggapan kita tentang politik dalam sastra atau sastra yang tidak bisa mengelakkan politik maka determinan apakah yang paling penting dalam politik sastra tersebut. Apakah determinan itu bernama politik, ekonomi atau apakah?

Pernah kita mencatat dalam sejarah kesusastraan kita bahwa politik telah menjadi determinan penting dalam sastra. Ketika itu polemik antara Lekra dengan realisme sosialis-nya dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dengan humanisme universal-nya mewarnai dunia kesusastraan kita. Politik, kala itu dimaknai sebagai apa-apa yng berhubungan dengan penguasa dan kekuasaan—katakanlah kekuasaan presiden, partai dominan, atau kekuasaan politik dalam bentuk aparatus-aparatus negara. Secara sederhana digambarkan, Lekra mendukung kekuasaan politik Sukarno sedangkan Manikebuis (sebutan untuk pendukung Manikebu) melawannya. Namun, ketika itu memang pengertian tentang politik masih sangat terbatas pada kekuasaan yang tampak oleh mata semacam itu.

Yah, ketika itu belum lahir istilah politik sastra. Ketika itu apa yang dinamakan politik hanyalah apa yang dilakukan Lekra dan apa yng dilakukan Manikebuis tidak disebut sebagai politik. Politik tidak seperti apa yang dimengerti sekarang. Politik adalah segala hal yang tersebar dimana-mana. Segala mekanisme pemenuhan hasrat kepentingan dan akan kekuasaan tentang apa, siapa saja dan dimana saja adalah politik. Politik tidak terpusat berada pada pusat tertentu,melainkan berada dimana-mana alias terdesentralisasi. Ternyata kemudia kita tahu bahwa di dalam sastra juga ada pertarungan kepentingan (politis), di dalam kebudayaan juga ada pertarungan kepentingan (politis), di dalam cara kita berpakaian dan apa yng kita makan juga ada kepentingan (politi), di dalam penghargaan-penghargaan (awards) baik skala lokal maupun internasional ternyata juga ada kepentingan.

Yah, dimana-mana ternyata ada kepentingan politik. Hampir selalu ada yang mau menguaai (baik dalam bentuk dominasi atau hegemoni) dalam setiap ruang kehidupan yang bernama apa saja. Memakai pemaknaan politik seperti sekarang ini maka apa yang dilakukan Manikebuis sebenarnya juga adalah politik, yaitu politik sastra atau politik kebudayaan pada umumnya. Bahwa soal menjawab pertanyaan untuk apa atau kepentingan (politis) yang paling hakiki dalam kehidupan ini merupakan ususan pribadi kita masing-masing. Saya tidak mempunyai ilmu dan kompetensi untuk menjawab untuk apakah sesungguhnya hidup ini bagi anda? Juga untuk menjawab bahwa jika ternyata everything is conspired, lalu siapakah yang mengcospire langit, air mata, getaran-getaran dalam hati, dan juga siapakah yang mengkonspirasikan segala conspirator (designer, constructer, atau apa saja lah namanya) terhandal dalam segala bidang politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya?

Bahwa jawaban tentang siapakah the ultimate conspirator of conspirators diantara kita bisa sangat berbeda, itu adalah kewajaran. Tetapi setidaknya hal ini menumbuhkan kesadaran di antara kita bahwa segala produk kebudayaan dalam tatanan peradaban umat manusia---dari hukum, ekonomi, politik, sastra, pakaian, bahasa, dsb--- sesungguhnya adalah hasil sebuah kospirasi kepentingan tertentu, orang tertentu, dengan kata lain politik tertentu. Sekali lagi, bahwa untuk apa kepentingan politik itu? Itu adalah soal kita masing-masing tapi pada saat yang sama juga menjadi soal kita bersama. Saya pribadi sesjujurnya juga masih bersoal dalam hal itu.

Titik Tekan
Persolannya kemudian adalah soal titik tekan nada dalam pengucapan (artikulasi). Dan yang paling sulit untuk dijawab adalah soal titik tekan apakah yang paling penting dan paling benar dalam sastra khusunya, dan kehidupan ini pada umumnya. Sebut saja beberapa istilah berikut ini; politisasi sastra dan sastranisasi politk. Apakah titik tekan dalam kata-kata tersebut sama. Menurut penulis, titik tekan dalam kedua frasa tersebut jelas sangat berbeda.

Determinan penting dalam ‘politisasi sastra’ adalah politik—dalam pengertian tradisonal. Sedangkan titik tekan sastranisasi politik—dalam pengertian tradisonal-- adalah sastra. Pada soal apakah dan dengan alasan apakah kita memilih yang pertama ketimbang yang kedua atau sebaliknya adalah sepenuhnya soal selera dan latar belakang masing-masing pengucap. Pada titik inilah kita bisa menjelaskan polemik yang terjadi antara lekra dan manikebu. Lekra lebih berselera kepada politik sedangkan Manikebuis lebih berselera kapada sastra. Jika persoalannya adalah murni selera, bisakah selara dipaksakan? Mungkinkah latar belakang setiap manusia disamakan?

Titik tekan ini merupakan jantung persoalan polemik kesusastraan kita. Ada dua orientasi besar dalam bentuk blok sastra Indonesia, yaitu blok sastra otonom dan blok sastra terlibat (bertendens). Yang pertama percaya bahwa sastra mempunyai dunianya tersendiri yang terpisah dan lepas dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Sedangkan yang kedua percaya bahwa sastra, sebagaimana produk sebuah sejarah kehidupan, harus terlibat dalam pergolakan kehidupan. Emha Ainun Nadjib dengan sangat baik melukiskan perkembangan ini;

'Pertama, sastrawan yang pendekatannya terhadap kesusastraan bersifat intelektual, spesialistis dalam arti ia mengaitkan dirinya dengan sastra sebagai suatu forma ekspresi yang otonom, yang berbeda dengan disiplin lainnya…. Kedua, ialah sastrawan yang meletakkan sastra tidak sebagai titik tolak, melainkan lebih sebagai salah satu pilihan ekspresinya saja. Bingkai atau perspektif kegiatannya bukan perspektif kesusastraan belaka, melainkan perspektif kehidupan yang menyeluruh'.


Polemik antara dua orientasi besar ini akan sia-sia jika kita menanyakan tentang manakah yang benar di antara keduanya. Saya lebih memilih untuk memepertanyakan tentang kelebihbermanfaatan keduanya dalam konteks keindonesiaan. Artinya, dalam perspektif kesejarahan Indonensia bagaimanakah sebenarnya posisi sastra Indonesia. Setelah mengetahui letak posisi startegisnya, dimanakah sastra dapat memberikan kontribusi kebermanfaatan bagi Indonesia?

Privat vs Publik
Saya melihat persoalan polemik tersebut lebih sebagai kebelumjelasan kita dalam soal ruang privat vs publik. Pada agenda besar tentang polemik privat dan publik ini kita sebagai bangsa belum merumuskan benar tentang definisi atau batasan keduanya. Katakanlah begini; sastra otonom mewakili keberpihakan terhadap ruang privat sedangkan sastra terlibat lebih condong pada arah ruang publik.

Polemik dari luar yang kita adopsi secara mentah-mentah tentang art for art dan art for life merupakan bagian dari polemik tentang privat dan publik tersebut. Art for art (seni untukseni) yang merupakan pangkal dari sastra otonom adalah wakil suara dari ruang privat, sedangkan art for life (seni untuk kehidupan) yang merupakan sumber sastra terlibat/bertendens mewakili ruang publik. Privat dan publik, otonom dan terlibat, seni dan kedidupan, apakah kita sebagai bangsa benar-benar mempunyai pola kesejarahan yang memisahkan benar-benar antara oposisi biner (binary opposition) tersebut?

Sedangkan kita tahu, konsep seni (art), tidak benar-benar kita kenal dalam khasanah kebudayaan kita. Memang mungkin ada baiknya kita melakukan sebuah rekonstruksi sejarah atas privat dan publik dalam konteks keindonesiaan kita. Sebab, konon kata orang sebuah pohon yang kokoh hampir selalu mempunyai akar yang kokoh pula. Memang kita bukan pohon tentu saja, kita adalah manusia yang tidak begitu saja ada dan yang tidak bisa memilih untuk menjadi ini atau menjadi itu. Kita adalah manusia yang bisa berusaha dan memilih untuk menjadi apa kita nantinya; menjadi sekuat pohon jati, selemah rumputan, seberguna kelapa ataukah sesederhana bonsai?

Saya kira, pada titik inilah kita perlu serius untuk menjawab tentang privat dan publik dalama masyarakat kita, khususnya dalam dunia seni budaya. Jika tidak, persoalan-persolan lain semacam kasus undang-undang pornografi, kebebasan pers, sensor film, dan lain sebagainya hanya akan menjadi sebuah kasus yang hampir selalu tergantung-gantung tak jelas soalnya.

'Jumbuh'
‘… tidak berarti bahwa apa yang dimakud dengan ‘art’ itu tak terdapat pada wajah kebudayaan kita, melainkan forma ‘art’ sebagai suatu term intelektual, bukanlah merupakan tradisi kita. Kita sangat memiliki ‘art’ itu, tetapi dalam posisi yang ‘jumbuh’ dengan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai unur-unsur ‘lain’, umpamanya religi, adat, dan lain-lain.’


Saudara, tahukah kau betapa indahnya kata ‘jumbuh’ itu di telingaku. Jumbuh adalah kesatuan, ketunggalan, ketidakterpisahan segala aneka unsur dalam kehidupan ini. Demikian juga dalam seni, setidaknya menurut Cak Nun bahwa tidak ada tradisi pemisahan seni dari unsur-unsur lainnya. Unsur-unsur ‘lain’ itu bisa kita inventarisir lebih luas; sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan, moral, dan sebagainya. Lihat saja saudara; adakah tradisi tari kita, wayang, lagu-lagu tradisonal kita, dan sebagainya yang lepas dari konteks kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan?

Jangan-jangan memang benar bahwa kita sebagai bangsa (Nusantara) memang tidak pernah mempunyai tradisi biner dalam segala hal, juga dalam soal biner privat vs publik ini. Saya teringat pernah membaca sebuah buku yang saya lupa judul dan pengarangnya yang menyatakan bahwa dalam khasanah nusantara khususnya Bali, tidak pernah ditemukan tradisi oposisi biner. Hitam dan putih tidak dianggap sebagai hubungan perlawanan/oposisi, melainkan adalah hubungan kausalitas/sebab akibat. Yang satu menyababkan yang lain atau yang satu disebabkan oleh yang lain. Adanya putih menyebabkan adanya hitam atau adanya hitam disebabkan oleh putih.

Lagi, tidak ada bodoh vs pintar, melainkan bodoh menyebabkan pintar atau pintar disebabkan oleh bodoh. Apa artinya, jika benar ternyata bahwa memang kita tidak mempunyai tradisi pemisahan antara ‘privat vs publik’ maka apa yang kita polemikkan selama ini di tv-tv, Koran, jurnal dan seminar tentang batasan antara ‘privat vs publik’ khususnya dalam seni misalnya pornografi, film, lukisan, dll akan tidak banyak membantu menyelesaikan persoalan. Sebab, kita memandang persolan dengan sebuah kacamata yang tidak cocok untuk sitausi kita. Kita menggunakan kacamata biner, sedangkan (mungkin) kita tak mengenal biner. Apa boleh buat?

Multidisipliner
Sastra, dengan segala keterbataannya, lalu tidak bisa menafikan dirinya dengan yang ‘lain’ alias sastra multidisipliner. Sebab, bahkan sejak sebelum dilahirkan memang mungkin begitulah sifat segala benda biasa di dunia ini. Dengan kesadaran multidisipliner tersebut, sastra akan lebih mempunyai bentangan alternatif-alternatif bentuk maupun isinya yang lebih beragam dan ---ini yang lebih penting--- lebih tak terduga. Sastra bisa bergumul dengan politik (dalam pengertian tradisonal), bisa menghadapi hukum, bergaul dengan ekonomi, persoalan-persoalan ketidakadilan, korupsi, selera makan, kapitalisme-neo liberalisme, hobi, percintaan, dan segala hal. Sastra akan menjadi lebih tak terduga. Dan oleh karenanya, mungkin lebih menggairahkan.

Dikarenakan perbenturannya dengan disiplin-disiplin lain tersebut, sastra juga akan menemukan berbagai macam bentuknya yang lebih kontekstual. Sebab, konteks setiap disiplin ilmu/kajian/bidang sangatlah mempunyai kebenarannya sendiri sesuai dengan konteks (here and now) masyarakatnya sendiri. Misalnya, disiplin politik dalam konteks masyarakat jawa dan batak sangat berbeda. Oleh karenanya, sastra yang bergumul dengan persoalan politik di Jawa dan Batak dapat menemukan bentuknya yang sangat berbeda. Juga, misalnya soal ketidakadilan dalam konteks masyarakat desa dan kota yang berbeda. Maka sastra yang menghadapi bentuk ketidakadilan yang berbeda itu juga melahirkan bentuk karya sastra yang berbeda. Kita bisa menginventarisir perbedaan konteks dalam masyarakat kita yang dapat melahirkan kemungkinan lahir-lahirnya bentuk-bentuk alternatif sastra yang lebih tak terduga. Inilah kira-kira dampak multidisiplin dalam kalangan praktisi sastra (penulis, sastrawan, aktor, dsb).

Di kalangn peminat, kritikus maupun pecinta sastra, dengan kesadaran multidispiliner ini diharapkan akan lebih dewasa dalam membaca dan menilai bahkan mengahakimi sebuah karya satra. Sebab, sastra tidak dipandang dengan hanya sebuah kacamata kuda melainkan dengan sebuah pandangan yang menyeluruh dari seluruh aspek kehidupan ini.

Saya kira ini dulu dari saya. Semua kutipan Emha saya ambil dari buku lamanya ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’ cetakan Pustaka Pelajar tahun 1995. Tentu anda tahu polemik sastra yang saya nyatakan dalam tulian ini merupakan sebuah polemik usang. Tetapi barangkali sedikit membantu untuk meraba-raba apakah ada determinan baru dalam polemik kesusastraan kita? Mungkin, tidak melulu politik-ideologis lagi seperti dulu. Siapa tahu?


Muhammad Taufiqurrohman
Penikmat Sastra

sumber gambar:
http://www.manizone.co.uk/images/Mustika_Embun_Biru2813.JPG

Sabtu, Maret 21, 2009

METAMORFOSIS KETERPELAJARAN*

Catatan Gunawan Budi Susanto

"Celaka, riwayat mesum itu adalah juga potret generasi saya, generasi yang terlahir tahun 1960-an, tetapi berharap hidup kaya dan bahagia sampai kapan pun zaman menjelang. Itulah potret kegagalan, yang tak pantas dibanggakan.

Maka, potong generasi. Era baru butuh pemikiran baru, penggerak baru, pemimpin baru, untuk mengubah keadaan ke arah kehidupan yang lebih manusiawi, lebih beradab dan berkeadilan. Salam setengah merdeka!"

seperti anak-anak lain, ketika bocah, saya suka main gambar umbul, kelereng, sepak tekong, petak umpet, layang-layang, pengantin-pengatinan, pasaran, pedang-pedangan. Namun yang paling saya sukai adalah perang tulup atau ceplokan. Perang tulup, satu lawan satu atau antarkelompok dan antardesa, berperalatan bambu seperti sumpit dengan peluru kacang hijau dan biji-bijian lain atau lempung. Permainan yang murah, meriah, dan… sangar! Ceplokan serupa tulup, tetapi dengan gagang seperti pada pompa, dengan peluru pentil buah jambu air atau jenang kertas. Asyik!

Saya cukup titis membidik lawan. Saya bersorak begitu peluru mengenai lawan, yang serentak berseru kesakitan. Saya merasa jadi jagoan, pahlawan pembasmi kejahatan – sebagaimana acap saya baca dari komik-komik dan saya tonton dari satu-satunya stasiun televisi saat itu: TVRI, “penjalin persatuan dan kesatuan”. Saya tak peduli benar jika Batman, Gundala, Pangeran Mlaar dan kawan-kawan tak bersenjata tulup dan ceplokan.

Rada besar, saya suka bal-balan, sepak bola. Sebab, diam-diam bisa nggares lawan – menyepak, menendang, atau mengadu tulang kering (gares). Peluang yang terbuka: lawan terjatuh dan mengaduh kesakitan atau saya meringis seraya terpincang-pincang (karena tulang lawan lebih keras). Tentu, ketika malam tiba, bersama kawan sebaya saya acap menyambangi sawah atau ladang siapa pun di tepian desa. Pulang membawa jagung, kacang, atau singkong (hasil kerja, tanpa banyak bicara alias) colongan.

Kegemaran lain adalah tukaran, gelut, berantem. Makin besar saya kian kerap berantem. Itulah salah satu bahasa dari sedikit pilihan untuk mempertahankan diri dari pelecehan, penghinaan, intimidasi. Ya, paro kedua 1970-an, ketika berusia belasan tahun, saya makin tak gampang menerima segala pengerdilan. Mula-mula pengerdilan itu berupa ejekan fisik, lalu meningkat ketika saya abaikan. Ketika ejekan berubah lebih menyakitkan, tak ada pilihan lain kecuali berantem. Ya, orang-orang – biasanya lebih gede, lebih tua – acap mengejek atau memaki saya, “He, dasar anak PKI! Anak Gerwani! Mula mbejijat!

Nah, kalau kalimatnya sudah secanggih itu, kalah atau menang bukan lagi peluang. Melainkan, konsekuensi logis dari kecerdikan dan kekuatan versus kelemahan dan ketakutan. Karena tak mau dibelenggu ketakutan, dikerangkeng kehinaan, saya berupaya segenap daya memenangi setiap perkelahian.

Terlampau kerap berkelahi membuat saya tak sabar mengikuti latihan bela diri silat, pencak, atau karate karena harus “langkah demi langkah”. Itu terlalu lama untuk sekadar bisa menempeleng, meninju, memukul, menendang, atau menyerimpung. Ajian sakti berapal lebih menarik. Berbekal ajian penuh rapal, saya bisa kesetanan berkelahi, tanpa rasa sakit, tanpa rasa takut. Saya seperti trance, ndadi, hilang kesadaran.

Namun karena ajian sakti menuntut kedisiplinan menaati pemali -- misalnya tak boleh makan kodok, tak boleh kencing sambil jongkok, atau tak boleh merokok – saya beralih modus: menenggak arak, ciu, tuak. Ya, mabuk memutus urat takut saya, mabuk mengubah saya (seolah-olah) jadi lebih sakti, lebih terampil berkelahi.

Hasilnya? Saya lebih sering babak belur, lebih kerap tersungkur. Saya hancur: sekolah berantakan, dikucilkan dalam pergaulan, jadi manusia asosial. Memang, ketika sendirian di kamar saya tetap belajar, tetap membaca apa saja: dari Anny Arrow, Nick Carter, Kho Ping Hoo, Gan KL, sampai SH Mintardja. Saya menulis pula catatan harian atau sajak-sajak cinta – yang saya kirim dan diudarakan dalam rubrik sastra di Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Gagak Rimang, Blora, dengan nama samaran.

Itulah sepenggal masa dalam kehidupan saya yang terformulasikan secara indah dalam unen-unen: urip kuwi amung mampir ngombe. Itulah masa ACT: arak, ciu, tuak. (Sampai sekarang saya masih menyimpan sebuah monumen kebodohan: sebotol wine oleh-oleh kawan yang menyangka saya masih doyan menenggak minuman keras, sembilan tahun lampau.)

Tahun 1982, saya diterima di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Sejak saat itulah saya tinggal di kota ini, sampai sekarang.

Awal tahun 1980-an adalah masa puncak kebekuan atau pembekuan kehidupan kampus. Katanya sih, kehidupan kampus perlu dinormalisasikan -- akibat kegencaran gerakan moral golongan putih (golput) Arief Budiman dkk (1971), Peristiwa 15 Januari 1974 Hariman Siregar dkk, dan kerusuhan anti-Cina (1980).

Kampus, yang saya bayangkan sebagai kawah candradimuka, ternyata tak lebih dari tempat pencetakan manusia melek huruf, tetapi tak melek persoalan. Melek gelar, tetapi tak melek kecerdasan. Melek pangkat, tetapi tak melek harkat dan martabat kemanusiaan.

Bukankah omong ini-itu dilarang, baca ini-itu tak gampang? Namun larangan itu justru jadi tantangan. Larangan disertai ancaman hukuman pidana justru jadi medan pertempuran baru bagi saya: menyalurkan naluri kekerasan; bukan lagi melawan kawan sebaya, melainkan pemerintah, penguasa militer. Jagoan bukan?

Ya, bukankah larangan membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, justru jadi promosi gratis agar kita mencari dan menggumuli karya eksponen “Universitas Waingapu, Pulau Buru” itu – meminjam istilah ki dalang Tristuti Rachmadi. Bukankah komunisme, marxisme-leninisme, maoisme, dengan segala varian makin menantang untuk diselami ketimbang indoktrinasi Pancasila, justru ketika dilarang-larang?

Kalau dulu, saat remaja saya berantem dengan okol, selanjutnya pada paro kedua 1980-an saya (merasa) perlu berkelahi dengan akal. Saya pun menciptakan musuh imajiner: dosen, penulis buku, rezim penguasa, konsep, pemikiran, aliran filsafat, semua-mua jadi sasaran naluri berkelahi.

Tak cukup? Turun ke desa-desa, dolan ke mana saja, bertemu banyak orang, banyak pemikiran, banyak kesaksian. Aksi, demonstrasi, pun jadi salah satu modus pilihan. Mula-mula bermain di seputar isu kampus: tolak kenaikan SPP sampai melawan kesewenang-wenangan PR III. Lalu, tolak penggusuran PKL depan kampus, tolak SDSB, tolak pembangunan Waduk Kedungombo, kritik pencemaran Kali Tapak, kasus tanah Blangguan, Rancamaya, sampai mengampanyekan golput.

Pada fase itu, kucing-kucingan dengan polisi, dengan tentara, adalah medan permainan yang mengasyikkan sekaligus menumbuhkan keyakinan: mahasiswa, kaum terpelajar, harus hidup secara total di masyarakat, belajar bersama dan menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Sementara itu, saya pun kian getol menulis: puisi, cerpen, esai, pamflet, selebaran. Saya menulis di sembarang media, yang mau memuat: majalah dan koran kampus, media massa di luar kampus, newsletter, media di bawah tanah. Juga di stiker-stiker dan kaus.

Motif di balik penulisan itu: cari duit untuk biaya hidup dan (sekaligus berkesan gagah) memberikan pencerahan (pada pembaca). Lalu, suatu saat, saya kumpulkan tulisan (provokatif) itu menjadi buku, Kesaksian Kluprut (Semarang: Yayasan Sastra Merdeka, 1996). Itulah, konon, buku pertama karya individual mahasiswa Undip pada masa itu. Hebat bukan? Gagah bukan?

Cuma, sementara itu, kuliah saya berantakan dan hidup makin tak berpengharapan: masa depan jadi mimpi-mimpi yang menakutkan.




Tahun 1995 akhirnya saya lulus juga, setelah 13,5 tahun kuliah, setelah diusir-usir oleh Rektor Undip, saat itu Prof Dr Muladi SH. Lalu, bekerja, menjadi kuli bahasa, jurnalis, di sebuah media massa sembari sekali-kali jadi pengecer jasa bicara – seperti saat ini.

Sebelumnya, saya menghayati kehidupan dari perspektif urip kuwi amung mampir ngombe, lalu urip kuwi amung mampir dolan. Kini, penghayatan saya berubah: menghayati kehidupan dari ke hari, dari masa ke masa, dari perspektif pelaku nyata. Perubahan paling sederhana: pada masa bocah dan remaja tak perlu memikirkan ongkos hidup (karena masih di bawah tanggungan orang tua) beralih ke masa (harus mencari ongkos untuk) hidup mandiri.

Begitulah, saya bekerja, menikah, beranak-pinak. Perubahan bioritme terjadi. Juga orientasi serta visi. Prioritas pun berubah. Contoh kecil: sebelum menikah, begitu punya duit, borong buku, buku, dan buku. Setelah punya anak: punya duit, beli susu, susu, dan susu. Sadar tak sadar, sengaja tak sengaja, kini saya berpikir dan bersikap lebih realistis, lebih pragmatis.

Karena pekerjaan menuntut saya lebih banyak di jalanan, perspektif saya pun mendangkal. Saya acap memandang, menimbang, melakoni hidup berbekal perspektif jalanan: sepintas lalu, tanpa kedalaman, tanpa pengendapan. Maka, jika suatu saat mesti mengedepankan daya analisis, simpulan saya hampir pasti banal, dangkal. Bukankah saya terbiasa melihat dan berhadapan dengan serakan informasi, yang celakanya kian terfragmentasi, sekarang ini?

Saya memang tetap menulis dan terus menulis. Namun, sungguh, jujur harus saya katakan: motif di balik penulisan itu adalah harapan bakal mendapat insentif, memperoleh bayaran. Apalagi menulis adalah tuntutan pekerjaan saya bukan?

Menulis pun kehilangan nilai esensial sebagai kontribusi keterpelajaran, tetapi berubah sekadar menjadi perluasan (ekstensi) reputasi pribadi. Menulis, seperti juga berbicara di berbagai forum, tinggal jadi olahraga mulut dan gigi.

Namun toh saya tak kekurangan malu untuk menerbitkan tulisan saya jadi sebuah buku, Edan-edanan pada Zaman Edan (Semarang: CPNS, 2008). Buku itu toh bisa menjadi suvenir atau penanda bahwa saya bukan bagian dari massa yang bebal? Ciamik kan?

Cuma, kemudian, saya menyadari makin hari kian tak terbiasa berpikir secara sistematis, tak mampu menakar persoalan secara komprehensif. Bagi saya, masa lalu tinggal jadi arsip, artifak berdebu yang menguning, dimakan rayap. Masa kini adalah banjir informasi, yang harus segera dimutakhirkan dari jam ke jam, sehingga tak sempat membuat saya merenung-renung.

Refleksi diri menjadi kemewahan. Kalah oleh tenggat, kalah oleh irama kerja dari jam ke jam, dari hari ke hari. Maka, dalam perspektif ini, masa depan adalah medan ketakpastian yang menggelisahkan. Hidup jadi sekadar hidup, urip amung mampir urip, tanpa arti.

Lalu, saya pun mencari suaka yang menyamankan, suaka yang mengamankan: bekerjalah sebaik-baiknya (di mata majikan) agar tetap berpenghasilan, sehingga bisa tetap memberi pangan, sandang, dan papan pada anak-istri. “Tak perlu mengkritik perilaku korup di sekelilingmu, karena sebenarnya diam-diam kau pun bakal korupsi jika kesempatan terbuka, jika beranian ada, jika kemampuan punya,” ujar Kluprut di relung hati saya.

Kini, perubahan menemu makna paling banal: jika saat ini kau masih mengendarai motor butut inventaris dari kantor, usahakan agar esok hari bisa naik mobil lebih bagus milik pribadi. Sekalipun untuk memenuhi hasrat tampil perlente itu kau mesti mempergunakan fasilitas kredit dari bank. Tak apa-apa. Jangan malu. Bukankah kata seorang ahli finansial, kredit adalah kekayaan kita pada masa datang?

Ya, ya, ternyata saya telah mengalami metamorfosis. Bukan dari ulat, kepompong, lalu kupu-kupu. Melainkan metamorfosis yang terbalut kecemasan: kalau saya begini, jangan-jangan anak saya tak bisa makan…. Kalau saya begitu, jangan-jangan ibu-bapak mertua bakal malu….

Nah, dengan riwayat seperti itu, masih layakkah saya mendaku diri sebagai bagian dari kaum terpelajar, kaum intelektual? Bukankah kaum terpelajar, sebagaimana pernah dinyatakan Pramoedya Ananta Toer, mesti bersikap adil bahkan sejak dalam pikiran? Padahal, saya cuma bisa bersikap adil bagi diri sendiri dan keluarga saya, dan acap tak peduli apakah keadilan juga berlaku bagi orang lain.

Celaka, riwayat mesum itu adalah juga potret generasi saya, generasi yang terlahir tahun 1960-an, tetapi berharap hidup kaya dan bahagia sampai kapan pun zaman menjelang. Itulah potret kegagalan, yang tak pantas dibanggakan.

Maka, potong generasi. Era baru butuh pemikiran baru, penggerak baru, pemimpin baru, untuk mengubah keadaan ke arah kehidupan yang lebih manusiawi, lebih beradab dan berkeadilan. Salam setengah merdeka!



Gebyog, Gunungpati, Maret 2009



*) Prasaran untuk Diskusi Terbuka “Intelektual dan Masyarakat (Intelektualisme Semarang: Apa Kabar?)” yang dihelat Komunitas Embun Pagi di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Selasa, 17 Maret 2009, bersamaan dengan peluncuran buku Embun Pagi Nglindur.