online degree programs

Minggu, Mei 31, 2009

Guru sebagai Gerakan Politik



“…viewing teachers as intellectuals provides a strong critique of those ideologies that legitimate social practices which separate conceptualization, planning, and designing from the processes of implementation and execution. It is important to stress that teachers must take active responsibility for raising serious questions about what they teach, how they are to teach it, and what the larger goals are for which they are striving. This means that they must take a responsible role in shaping the purposes and conditions of schooling.”
(Stanley Aronowitz & Henry A. Giroux, 1986: 31)



Politik Peminggiran Pendidikan
Pendidikan tidak menjadi subjek yang dipentingkan dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Dalam hiruk-pikuk pemilihan presiden dan wakil presiden sekarang, tidak ada satu calon pasangan pun yang menawarkan visi ideologis pendidikan Indonesia. Semuanya konsentrasi pada visi pembangunan ekonomi yang bahkan menimbulkan perdebatan antara ekonomi-politik neoliberalisme melawan ekonomi-politik kerakyatan. Tampaknya mulai dari awal kemerdekaan negeri ini, yang lebih dipentingkan adalah pembangunan struktur dan tatanan ekonomi saja, sedangkan pembangunan pendidikan, kebudayaan, dikesampingkan. Hal ini terlihat dari tiadanya strategi politik kebudayaan bangsa ini, termasuk strategi politik pendidikan yang secara substansial terdapat visi ideologi pendidikan yang dipilih. Beberapa kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah selama ini agaknya pun tidak dilandasi dengan visi ideologis yang jelas. Dalam hal ini pendidikan masih saja diletakkan sebagai subordinasi dari pembangunan ekonomi dan transaksi politik nasional.

Pertama, ia menjadi subordinasi dari pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dari sekian banyak kebijakan pendidikan yanga diambil oleh pemerintah lebih mendasarkan pada pertimbangan ekonomi daripada visi ideologis pendidikan. Beberapa kebijakan pemerintah yang keluar belakang ini bahkan menunjukkan nalar neoliberalisme sebagai basis nalar pikirnya.

Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) misalnya, ia lebih merupakan kebijakan neoliberalisme pendidikan ketimbang sebuah kebijakan pendidikan yang pro rakyat. Penarikan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan publik yang dilegitimasi oleh UU No. 9/2009 tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1) bahwa, “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (2), “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, termasuk juga secara substansial bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dalam tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kebijakan tersebut jelas-jelas visi ideologisnya adalah neoliberalisme.

Kedua, pendidikan menjadi komoditas politik. Saat ini sedang gencar-gencarnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mensosialisasikan pendidikan gratis sekarang ini, yang dibuktikan dengan adanya BOS dan lainnya. Tentu hal ini sangat politis karena dilakukan pada saat-saat pergantian tampuk kekuasaan di republik ini. Demikian juga dengan keputusan tiba-tiba dari Dirjend Pendidikan Tinggi (Dikti) yang menyatakan akan menaikkan gaji dosen dan guru besar 100% beberapa waktu lalu. Kita dapat melihat fenomena serupa juga pada awal-awal 2008 adalah pemenuhan anggaran pendidikan 20%.

Pemenuhan amanat konstitusi itu pun dengan intrik memasukkan anggaran gaji guru ke dalam alokasi 20% anggaran pendidikan, padahal sebenarnya gaji guru sudah dijamin dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 40 ayat (1) bahwa, “pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai...”. Pemasukan anggaran gaji guru ke dalam alokasi anggaran pendidikan 20% yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut justru mempermudah pemenuhan kewajiban memberikan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Pemenuhan tersebut tidak sekadar tarik-ulur yang alot dan lama, namun juga dilakukan menjelang Pemilu 2009 yang tentu cukup strategis digunakan sebagai komoditas politik oleh partai berkuasa.

Mestinya pendidikan menjadi subjek yang dipentingkan dalam pembangunan bangsa. Kebijakan-kebijakan yang diambil dengan pertimbangan ekonomi dan demi transaksi politik merupakan pembodohan bangsa secara sistematis, walau mungkin tidak disadari oleh mereka pengambil kebijakan. Banyak yang sadar bahwa negara-negara seperti Jepang dan Malaysia dapat lebih maju daripada Indonesia padahal waktu tahun 50-an 60-an sama-sama berada dalam kondisi ekonomi dan politik yang amburadul, hal itu karena Jepang dan Malaysia mengutamakan pendidikan. Mereka telah menjadikan pendidikan sebagai subjek utama pembangunan bangsa. Kita belum.

Pendidikan sebagai Modal Budaya & Potensi Guru
Meminjam istilahnya Pierre Bourdieu, pendidikan merupakan modal budaya (cultural capital) bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Pendidikan sebagai sebuah sistem dan dilembagakan dalam bentuk institusi sosial mendidik siswa-siswa terbaik bangsa, dengan membelajarkan siswanya yang terbaik, dengan materi pelajaran yang kontekstual dan mengakomodasi kebutuhan personal, dengan substansi visi ideologis kebangsaan. Pendidikan sebagai modal budaya bangsa Indonesia mesti memiliki visi ideologis tatanan masyarakat Indonesia seperti apa yang ingin dicapai dan manusia Indonesia seperti apa yang ingin dibentuk. Visi inilah yang kemudian ditransformasikan melalui kebijakan pendidikan oleh pemerintah, di antaranya adalah kurikulum, standar pendidikan nasional, dan lainnya.

Namun sayangnya hal ideal tersebut sulit untuk dipenuhi dalam konteks dan kondisi sistem pendidikan Indonesia saat ini, yang sebagaimana dikemukakan di depan berada dalam subordinasi pembangunan ekonomi dan transaksi politik. Logika neoliberalisme dan politik kekuasaan telah menafikan dan meminggirkan pendidikan sebagai subjek yang penting dalam pembangunan bangsa. Dengan demikian kita tidak dapat berhadap banyak pada sistem pendidikan nasional, karena jelas banyak kebijakan yang dikeluarkan kontraproduktif dengan visi ideologis pendidikan bangsa Indonesia yang mestinya kontekstual dengan kondisi sosial masyarakat. Pada sisi ini, yang diperlukan adalah perjuangan untuk terus mengkritik kebijakan-kebijakan tersebut, namun di sisi lain mesti mencari agen-agen perubahan yang dapat menjadikan pendidikan betul-betul sebagai modal budaya dalam membangun bangsa.

Para pemikir pendidikan dan pedagog telah menyatakan bahwa peran penting dari pendidikan adalah pada guru. Di sinilah guru mesti dapat menjadi intelektual (as intellectual) sebagaimana dinyatakan Aronowitz & Giroux, atau sebagai intelektual organik (organic intellectual) dalam istilahnya Gramsci, dan intelektual spesifik (specific intelllectual) dalam istilahnya Foucault. Dalam gagasan Aronowitz dan Giroux terutama, guru memiliki peran besar dalam menggerakkan pendidikan tidak sekadar sebagai aktivitas transfer pengetahuan an sich, lebih dari itu adalah pendidik yang mestinya mampu menjadi motivator bagi perubahan sosial masyarakat. Melihat pada kondisi sosial masyarakat Indonesia sekarang ini, ketika kita tidak dapat berharap terlalu banyak dari sistem pendidikan yang berada dalam subordinasi ekonomi dan politik, maka guru adalah potensi besar untuk melakukan perbaikan pendidikan secara substansial, atau dalam terminologi yang provokatif adalah guru sebagai penggerak revolusi pendidikan!

Hal ini karena semua komponen pendidikan sebenarnya tidak ada artinya tanpa ada sentuhan dari guru. Kurikulum dan kebijakan pendidikan lainnya adalah “teks” mati yang baru dapat “berbicara” ketika “dibaca” dan dihidupkan oleh guru. Perubahan kurikulum pendidikan nasional sampai pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diimplementasikan dengan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada pelaksanaannya mandul, karena guru tidak banyak berubah strategi pembelajarannya, orientasi posisinya dengan siswa dalam paradigma yang berpusat pada siswa (student centered), dan lainnya. Hal ini menandaskan bahwa betapa hebatnya sebuah kurikulum dan kebijakan pendidikan dibuat, jika tidak ada perubahan pada diri guru, maka semuanya akan sia-sia belaka. Demikian juga dalam upaya revolusi pendidikan Indonesia.

Guru sebagai Gerakan Politik
Para pendidik kritis seperti Paulo Freire, Stanley Aronowitz, Henry A. Giroux, Michael W. Apple, dan lainnya telah mengungkapkan bahwa guru semestinya dapat menjadi gerakan politik. Namun bukan politik praktis, atau politik kekuasaan, melainkan politik kebudayaan (cultural politic) sebagai upaya masif untuk melakukan perubahan sosial di masyarakat. Gagasan guru sebagai gerakan politik adalah gerakan melawan subordinasi pembangunan ekonomi dan transaksi politik atas pendidikan. Dengan demikian, guru sebagai gerakan politik harus melawan upaya dari pemerintah atau siapapun yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik seperti yang terjadi sekarang ini. Pendidikan tidak boleh menjadi batu loncatan karier politik oknum tertentu. Gagasan ini mesti menjadikan guru berani melakukan tekanan politik kepada penguasa untuk menjadikan pendidikan sebagai subjek yang utama dalam pembangunan bangsa, di atas determinan politik dan politik.

Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan memanfaatkan organisasi-organisasi guru, baik yang formal maupun nonformal. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam hal ini tentu mesti mereformasi diri, dan semakin mengintensifkan gerakan-gerakan guru pada organisasi nonformal yang relatif tidak terikat pada penguasa, seperti Klub Guru, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan lainnya. Tidak dapat dilupakan adalah kelompok kerja guru mata pelajaran, dan lainnya. Kelompok-kelompok tersebut tidak semestinya sekadar menjadi ajang pengembangan bahan ajar saja, lebih dari itu mesti menjadi blok historis (historical bloc) dalam istilahnya Gramsci, yakni kelompok yang menjadi pioner perubahan, dengan melakukan kajian-kajian intelektual dan kebijakan pemerintah.

Hal paling substansial dalam jangka panjang guru sebagai gerakan politik kebudayaan ini adalah pendidikan guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi institusi pendidikan yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas guru yang diluluskannya. Pada fase pendidikan guru inilah, guru mesti disadarkan mengenai relasi kuasa politik dan modal dalam pendidikan, mengenai subordinasi pendidikan oleh ekonomi dan transaksi politik. Kurikulum pendidikan guru mesti memasukkan lebih banyak materi sosiologi pendidikan baru (The New Sociology of Education) yang memaparkan mengenai ideologi pendidikan, politik pendidikan, gerakan politik guru, dan lainnya dengan mengacu pada gagasan-gagasan besar para pendidik kritis seperti Apple dan Giroux.

Ed Khan, penulis...

Mencermati Pandangan Ekonomi Capres: Kesalahan Mentalitas Anti-Kapitalisme




Neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan telah beradu. Namun keduanya tidak berdiri dalam kursi yang tegas. Dengan penuh kepercayaan diri, ekonomi kerakyatan membangun kredonya untuk komoditi politik. Padahal ekonomi kerakyatan ini lebih cenderung pada ekonomi sentralistik. Di mana pertumbuhan ekonomi sangat lambat, kompetisi pelaku bisnis dikerdilkan, membuat negara jauh terbelakang alias miskin.

Sialnya, neoliberalisme dalam praksis bukanlah pihak yang berani mendeklarasikan diri. Meskipun dalam label dan refleksi kerja, diketahui prioritas kebijakan moneter, penaikan suku bunga, dan intervensi negara dalam pasar. Yang semuanya itu sarat akan arah kebijakan neoliberalisme. Tapi, mereka tak mau dinamai kaum neoliberalisme.

Perang neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan sudah tak terbendung lagi. Mana yang lebih baik?. Sebuah pertanyaan yang cukup sulit di jawab. Tetapi, jika ingin proporsional, maka dua-duanya sama-sama buruknya. Pertama, ada semacam sindrom anti-kapitalistik yang menyesatkan. Kedua, dua-duanya meresmikan diri pada ligitimasi intervensi negara dalam bidang ekonomi. Dua argumentasi ini yang membuat kebijakan ekonomi capres lemah secara teoritis dan etis.

Anti-kapitalisme telah tertanam di banyak benak massa sebagai hantu. Wujudnya tak nampak, tetapi ketakutannya terasa. Padahal sekarang ini, masyarakat telah menjadi masyarakat yang sangat kapitalistik.

Perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat kapitalis di tandai dengan kedaulatan penuh di tangan konsumen.1 Praktek kapitalis telah berlangsung lama. Dengan sistem kapitalis-lah orang-orang dapat mendapatkan kemakmuran. Tetapi justru, citra kapitalis yang terbangun begitu buruk itu, maka melahirkan mentalitas antikapitalis. Begitulah kira-kira yang ditulis Ludwig von Mises, dalam The Anticapitalistic Mentality.

Kapitalis memang bukan system ekonomi yang mampu mengatasi semua persoalan kehidupan ekonomi manusia. Tetapi kapitalis merupakan sistem terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Negara-negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan manusia tercanggih menggunakan sistem kapitalis secara terbuka.

Terakhir, kritik pada pandangan adanya intervensi negara dalam pasar. Dengan dalih, keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan, siapalah yang tidak menyetujuinya. Tetapi jika di cermati kebijakan campur tangan ini, maka akan nampak banyak ketimpangan.
Berbagai kepetingan bermain, pajak-pajak tidak sekadar pemerasan, melainkan pengkerdilan pelaku bisnis. Negara menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi bangsa.

Meskipun neoliberalisme lebih moderat ketimbang ekonomi kerakyatan. Tetapi kedua-duanya masih melegalkan campur tangan negara mengatur pasar. Akibatnya, inflasi tak terkendali hingga bisa mencapai hiperinflasi, pertumbuhan sektor riil dikesampingkan. Persaingan menjadi tidak sehat. Sebab ada wasit gadungan, yang bersembunyi di bawah kedok amanah rakyat, tetapi kelakuannya tak ubah sebagai penghisap dan benalu.

Negara sudah seharusnya hanya menjadi mediasi, ruang pertemuan, atau shelter. Bukan kemudian memanfaatkan ketakutan publik terhadap bahaya kapitalisme untuk masuk dalam percaturan pasar. Negara ideal yang mampu menopang kehidupan ekonominya adalah negara yang memposisikan dirinya sebagai fasilitator. Hayek mengkonstatasikan bahwa negara hendaknya membangun problem ekonomi dengan pengkoordinasian saja, established the central problem of economics as one of coordination.2 Mekanisme selanjutnya adakah dengan menyerahkan pada permintaan pasar. Dengan cara mengatur seperti ini, maka Negara berhasil terlibat tanpa merusak keberlangsungan kehidupan ekonomi yang sudah berjalan.

Pada akhirnya, jika capres masih saja belum memperbaharui visi ekonominya, maka yang terjadi adalah permintaan pada warga untuk mempersiapkan diri atas keterpurukan ekonomi selama 5 (lima) tahun kedepan.



Awaludin Marwan/ Luluk

1. The modern concept of freedom means. Every adult is free to fashion his life according to his own plans. He is not forced to live according to the plan of a planning authority enforcing its unique plan by the police, i.e., the social apparatus of compulsion and coercion. What restricts the individual’s freedom is not other people’s violence or threat of violence, but the physiological structure of his body and the inescapable na-ture-given scarcity of the factors of production. It is obvious that man’s discretion to shape his fate can never trespass the limits drawn by what are called the laws of nature. To establish these facts does not amount to a justification of the individual’s freedom from the point of view of any absolute standards or metaphysical notions. It does not express any judgment on the fashionable doctrines of the advocates of totali-tarianism, whether “right” or “left.” It does not deal with their. Kebebasan yang bukan semacam perilaku kesewenang-wenangan, melainkan kebebasan yang lebih bermakna. Setiap orang bebas memiliki rencana hidupnya masing-masing. Tidak karena paksaan dari kekuasaan yang berdiri di atas otoritas semu. Tidak adanya pembatasan terhadap kebebasan perseorangan. Sehingga dengan kesadaran ini yang terkonstruksi, tak ada lagi orang yang menggunakan instrumen kekuasaan dalam mempengaruhi kebebasan orang lain. Tak ada ancaman kekerasan dan tak ada paksaan. Biarlah struktur psikologis membimbing tiap-tiap orang untuk berpenghasilan dengan keinginan-keinginannya. Pertimbangan-pertimbangan pribadi akan membuat kebijaksanaan untuk menentukan nasibnya sendiri, inilah yang kemudian disebut hukum alam (the law of nature). Ludwig von Mises. 1972. The Anti Capitalistic Mentality. Libertarian Press, Inc.
2. Scott A. Beaulier, Peter J. Boettke, Christopher J. Coyne. 2002. Knowledge, Economics, and Coordination: Understanding Hayek’s Legal Theory.. Journal of Law & Liberty. 2000.

Penulisan buku embun pagi kedua


Komunitas embun pagi setelah penerbitan buku pertama pada Maret 2009 di FBS Unnes, sekarang sedang merancang tiga embrio buku berikutnya. Dalam waktu yang mendesak ini, buku kedua mengambil tema besar “melawan positivisme”.

Outline tentatif dari buku kedua komunitas embun pagi
“Melawan Positivisme”

Pengantar: F. Budi Hardiman

1. Konsep dasar positivisme dan sejarah perdebatannya.
(Giyanto), juragan rental dan pusat HP di sekitar kampus Unnes.
2. Melawan Kuantifikasi Ranah Humaniora: Positivisme dalam penelitian kuantitaif dalam ranah humaniora.
(Fahmi Mubarok), mahasiswa Psikologi Unnes yang dianiaya oleh sistem.
3. Melawan Standarisasi Akademik Positivistik.
(Edi Subkhan), ....nggak jelas!!!
4. Positivisme Budaya dalam Perspektif Cultural Studies.
(M. Taufiqurrohman), mahasiswa S2 Cultural Studies UI.
5. Feminisme Melawan Patriarki: Potret Melawan Positivisme dalam Isu Gender.
(Elin), petualang tanpa tujuan.
6. Melampaui Hukum Positif: Sebuah Refleksi Hukum Progresif.
(Ucok Baba), mahasiswa...
7. Positivisme dalam Demokrasi Prosedural.
(Awang Hernawan), penjaga PS di Sekaran.
8. Positivisme versus Eksistensialisme.
(Awaludin Marwan), direktur eksekutif Dewa Orgasm.
9. Menuntut Dehumanisasi Ekonomi Matematik.
(Andi), mahasiswa..
10. Menusuk Jantung Positivisme: Reviu Pemikiran Fritjof Capra.
(Hariez), penakluk gunung..(?)
11. Kang Yoghas, Kang Malik, silakan mengusulkan menulis apa, kami merasa kesulitan menentukan tema untuk jenengan berdua. Atau menulis untuk embiro buku ketiga dan keempat. Buku ketiga tema besarnya “Intelektualisme” dan keempat “Transformasi Sosial”


Ketentuan penulisan:
1. Penulis dari tiap-tiap chapter tersebut masih tentatif, dapat berganti orang, dapat pula mengusulkan chapter baru. Bagi yang merasa membutuhkan bantuan, dapat satu chapter atau satu tulisan ditulis oleh dua orang.
2. Ditulis font Times New Roman 12 pt, kira-kira 10 halaman spasi satu, sekitar 5000 kata.
3. Format bahasa ilmiah populer, mudah dipahami, dengan footnote dan daftar pustaka ala Turabian.
4. Kutipan langsung dari buku selain berbahasa Indonsia ditulis dalam bahasa asli. Kutipan tidak langsung, masuk dalam paragraf dan sebaiknya dialihbahasakan.
5. Penulisan mulai 25 mei s.d 25 30 Juni.
6. Untuk sementara diskusi outline, referensi, dan sharing lainnya via internet. Setelah semua selesai dibahas dalam focus group discussion di Semarang, yang difasilitasi oleh Komunitas Embun Pagi, Semarang.
7. Editing, editor atau tim editing ditentukan untuk menyelaraskan tata bahasa, frase – parafrase, gaya bahasa, dan lainnya.
8. Terakhir, dalam proses pembacaan ulang dilakukan focus group discussion terbatas menghadirkan reviewer seperti Triyono Lukmantoro (Undip), Martin Surajaya (STF Driyarkara), Ali Formen (Unnes), Doni Danardono (Unika Sugijapranata).
9. Pengurusan ke penulis kata pengantar dan penerbitan.
10. Ketentuan lainnya dapat diusulkan segera...sumonggo!!!


Jakarta, 24 Mei 2009.


ttd


Edi Subkhan, (edi_subkhan@yahoo.com)
M. Taufiqurrohman,
Awaludin Marwan,
Nur Amri El-Insyiati.

Kamis, Mei 21, 2009

Sistemophobia

Dalam suatu ketika saya dihimbau, dengan keras, “Anda ini masih berada dalam sebuah sistem!”. Kemudian saya bertanya-tanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan sistem?

Barangkali sistem adalah tatanan. Bisa jadi sistem adalah sekelompok sesuatu, atau mungkin juga adalah seperangkat benda-benda (baik terlihat maupun tak terlihat, termasuk juga manusia) yang membentuk satu kesatuan tatanan, yang secara aktif mengusahakan penataan atas anasir-anasir yang dicakupi oleh sistem tersebut, dengan cara-cara tertentu, yang terkadang memang harus bersifat imperatif.

Sejauh berkaitan dengan manusia, maka sistem bersifat autopoieses, yang secara harfiah mampu membentuk dirinya sendiri. Sistem autopoietik ini adalah mekanisme ”metabolisme” melalui penyusunan dirinya sendiri serta menyaring keluar masuknya berbagai pengaruh secara selektif. Dengan cara demikian, sistem mengalami perubahan secara struktural secara berkesinambungan, seraya mempertahankan pola-pola yang mirip dengan sebelumnya. Dan juga, manusia tak bisa lepas dari sistem. Karena bahkan seorang dirinya pun adalah sebuah sistem.

Sosok yang memberikan himbauan kepada saya, yang berada dalam suatu sistem tertentu, berbicara atas nama sistem—secara kebetulan melingkupi kami berdua. Sebuah sistem yang juga melingkupi pembaca sekalian, meskipun dengan ”kelas” dengan setiap diferensiasi dan kewenangan yang berbeda ; sistem pendidikan.

Sosok tersebut, telah terlanjur memberikan himbauan dengan keras, dengan atas nama sistem. Tetapi, sebenarnya, bisakah sebuah sistem dijalankan dengan logika representasi, bahwa satu anasir dalam sebuah sistem berkata dan memvonis sesuatu dan seolah-olah dengan demikian sistem telah terwakili (oleh dirinya) secara representatif? Apakah dengan demikian, kata dan vonis yang diberikan adalah yang dari sistem secara keseluruhan dan bukan kata dan vonis dari seorang individu yang secara kebetulan bagian dari sistem?

Sebagai contoh sederhana. ”Ilmiah” adalah satu istilah yang ditelurkan, dan menjadi wajib, dalam sistem pendidikan. Tetapi ”ilmiah” itu sendiri mempunyai pemaknaan dan pemahaman yang begitu beragam. Di satu sisi, ilmiah dipahami sebagai suatu prosedur, yang jika semua prosedur itu telah ditaati, maka sebutan ”ilmiah” sudah layak disematkan. Ilmiah menjadi sama dengan prosedur. Ilmiah prosedural. Di sisi lain, ilmiah berarti rasional, sesuai dengan rasio yang berlaku di bidangnya masing-masing. Di sisi lain lagi, ilmiah adalah merupakan suatu sikap, bukan hanya ucap. Di sisi lain lagi, ilmiah adalah obyektivitas, dan kita akan bertemu lagi dengan keragaman pemahaman mengenai obyektivitas sehingga akan beragam lagi bagaimana cara mencapainya.

Jika dikembalikan kepada pernyataan dalam tanda kutip di atas, maka pernyataan “Anda ini masih berada dalam sebuah sistem!”, adalah suatu pernyataan yang paradoksal dan mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, menyiratkan sebuah ketidakfahaman (atas sistem) yang fatal. Karena, yang pertama, berkait pemaknaan sistem yang beragam. Menyikapi hal tersebut, memaksakan tafsir tunggal dalam sebuah sistem, adalah menyalahi logika sistem itu sendiri, sehingga bentuk dan sikap semacam ini tidak bisa dikatkan ”ilmiah”.

Yang kedua, bermula dari postulat bahwa manusia tidak bisa lepas dan bebas dari sistem, karena bahkan dirinya pun juga sebuah sistem. Dengan demikian, sejauh apapun yang dilakukan oleh manusia, tetaplah berada di dalam sistem dan terlingkupi oleh sistem. Manusia hanya bisa ber-laku atas pemahamannya terhadap sistem tersebut. Manusia tidak bisa bebas. Di sini, yang berperan adalah kebersediaannya untuk membuka pemahaman ”yang lain” dan ”yang tak terduga”, sehingga bersedia berkonsensus karenanya.

Mengingat hari-hari ini di Indonesia, dengan sistem pemerintahan demokrasi, keterhubungannya dengan pemilu, dan tetek bengek prosedural lainnya, di suatu masa ketika kesediaan dan keberanian untuk mendekonstruksi-diri belum lagi disadari. Saya sebut fenomena itu “sistemophobia”.
Salam kebangkitan bangsa.


Ahmad Fahmi Mubarok
Psikologi FIP UNNES.
Pegiat Komunitas Embun Pagi, Semarang.

Rabu, Mei 20, 2009

Mendobrak Paradigma Aktivis Tentang Kesejahteraan Rakyat.....

Indonesia adalah Negara yang gemah ripah loh jinawi kata orang. Sehingga saking suburnya sampai tongkat di tancapkan ke tanah dapat menghasilkan berupa ubi singkong. Itulah yang membuat orang jepang sangat iri dengan bangsa kita.

Tapi mengapa bangsa ini miskin?

Setelah berkelana ke alam nyata, melihat kehidupan nyata (tidak hanya dari buku dan berita) dengan menjajaki pulau seberang di negeri ini saya baru tahu, walaupun yang saya ketahui ini belum dibuktikan dengan ilmiah.

salah satu factor penyebabnya adalah “sumber kekayaan alam kita tidak di olah secara maksimal”. Tanah ini begitu luas tapi terlantar dan hanya ditumbuhi semak, coba kalau di tanam padi, kopi, tembakau, karet, kelapa sawit, tebu dan tanaman-tanaman lain yang menghasilkan daripada hanya semak yang tiada guna. Emas, batubara, timah kita didalam tanah Kalimantan, sulawesi banyak tapi tak di manfaatkan, gas alam kita kurang baik dalam pengelolaannya.

Setelah saya amati ada beberapa factor penyebab:
1. Pemerintah tidak punya modal untuk mengolah
2. Pemerintah takut membuat terobosan dalam pembukaan investasi besar-besaran yang terkontrol
3. Sikap aktivis/LSM yang mungkin masih kolot dan takut akan kesejahteraan rakyat bila di terobos melalui investasi sebagai solusi permodalan

Aktivis seharusnya sadar akan yang diperjuangkannya yaitu “kesejahteraan rakyat” tapi kadang saya pandang sekarang sering menjadi penghambat kesejahteraan rakyat dengan menghalangi investor masuk misalnya.

Ada beberapa aktivis yang sangat anti terhadap keprofesionalan diri, anti globalisasi dan telinganya panas apabila dibahas tentang investasi, pemanfaatan semak belukar, yang ada hanya apabila hutan gundul di reboisasi dan reboisasi dengan alasan penyelamatan bumi.

Padahal masyarakat pedalaman yang terisolir butuh akses jalan menuju ke kota, butuh pendidikan yang layak, membutuhkan kesehatan daan lain-lain. Pemerintah kita tak bisa diharapkan untuk melakukan hal itu karena APBN nya habis di korupsi dan menggaji PNS yang padahal kinerjanyapun masih dipertanyakann kontribusinya bagi Negara.

Mengatasnamakan gerakan social menghadang investasi karena di cap kapitalisme dan isu-isu lain yang bertujuan memprovokasi warga untuk menolak masuknya investasi seperti investasi Blok cepu, investasi nuklir jepara, investasi perkebunan tebu, kelapa sawit, karet dll. Hal tersebut secara tidak sadar akan membuat masyarakat miskin tetap miskin sedangkan yang kaya tetap kaya, uang hanya beredar di Jakarta sedangkan daerah tetap hidup miskin merana, terisolir dll.

Sebenarnya, gerakan social sangat perlu untuk mengimbangi kekuatan perusahaan dalam mencari keuntungan dan sebagai pembela masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Akan tetapi apabila gerakan tersebut kebablasan maka kepedihan masyarakat yang akan dihasilkan. Apalagi apabila gerakan social sudah di tunggangi kepentingan kelompok tertentu.

Aktivis bukan anti investasi, aktivis bukan anti ekonomi, aktivis bukan anti individu, aktivis bukan anti globalisasi, aktivis bukan yang telat lulus, aktivis bukan tunggangan kepentingan jahat tapi aktivis adalah seseorang yang aktif melibatkan diri dan mendorong masyarakat untuk lebih sejahtera, tidak tabu berbicara pengembangan ekonomi dan profesionalitas diri. Sehingga aktivis harus professional, ideal-realistis, cerdas dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakat.


Salam,

Azil

Rabu, Mei 13, 2009

aku anakmu

















Aku anak yang tidak dikehendaki untuk lahir
Aku dilahirkan karena paksaan... perkosaan...

Aku anak yang dilahirkan karena dunia, bukan cinta
Aku dilahirkan diluar kampus dan berakhir di perpus
Kampus...

Aku hanyalah anak yang lahir prematur
Ditinggal dan lupa... setelah bertoga


T_T



hariez_zona@yahoo.com

Jumat, Mei 08, 2009

Rindu

aku rindu

sungguh rindu sebagai mahasiswa

yang tampak tenang melihat perekonomian yang sedang goyang dan kemiskinan tak kunjung berkurang

kelihatan tetap ceria walau elite politik berebut kuasa dan tak kepikiran rakyatnya

masih bisa ber-gembira ria walau negara dalam keadaan siaga

habiskan malam di warung kopi, nge-game sampai pagi, gebet sana-sini
memang sayang hidup ini yang cuma sekali jika tak benar-benar dinikmati

oh mahasiswa....
betapa bangga dulu aku menyandangnya

begitu santer namamu di berbagai media

mahasiswa, dimanakah dirimu sekarang berada?

sungguh aku merindukannya


Donie

Minggu, Mei 03, 2009

SEANDAINYA KARTINI TAK MATI MUDA*

Walaupun hari Kartini telah lewat, rasanya masih ada sisa-sisa gaung semangat perjuangan Kartini untuk menghapuskan diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan. Karena memang tak akan pernah habis perjuangan-perjuangan yang telah dipelopori oleh Kartini. Dan walaupun begitu, semoga secuil tulisan ini masih dapat menggugah semangat para perempuan (khususnya) dan semua orang yang masih membutuhkan semangat untuk menjalani hidupnya.

Perempuan…adalah sebuah tema yang tak akan pernah habis di perbincangkan. Banyak aspek yang dapat disoroti dari mahluk yang sering disebut sebagai kaum hawa ini. Dari mulai kesetaraan, pengarus utamaan, peran ganda, hingga diskriminasi dan marginalisasi yang banyak dialami oleh kaum hawa ini. Akan tetapi permasalahan-permasalahan tersebut terhenti sampai pada tataran pemikiran dan isu. Belum banyak yang mau take action menanggapi isu-isu perempuan ini, kecuali beberapa gelintir orang (pun orang kota) yang aktif dalam berbagai lembaga yang khusus mengusung isu-isu perempuan. Seperti halnya saya sendiri. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya belum bertindak banyak terkait isu-isu pengarusutamaan gender, dan hanya dalam tataran pemikiran dan sedikit tulisan.

Berbicara perjuangan perempuan, tak lepas dari perbincangan mengenai perjuangan-perjuangan dari salah satu tokoh pahlawan nasional, Kartini, yang dianggap sebagai pahlawan pembela nasib kaumnya. Yah, Kartini adalah seorang yang peka dan prihatin atas kondisi ketertekanannya di dalam tembok-tembok pingitan dalam penjara kabupaten yang menyekapnya selama bertahun-tahun. Dari pengalamannya itu dia tulislah segala perasaan-perasaan ketertekanannya itu. Ternyata tulisan-tulisannya bukan hanya berlaku pada zamannya saja, akan tetapi hingga kini, dan masa yang akan datang, tulisan-tulisan Kartini masihlah sangat relevan. Selain itu sosok Kartini banyak mendapat sorotan, bukan hanya dari dalam negeri saja, bahkan dari luar negeri, khususnya Belanda. Mereka memberikan apresiasi atas apa yang ditulis Kartini dalam surat-suratnya. Bahkan di Belanda, di sebuah museum yang bernama Tropen Museum, terdapat satu ruang khusus yang berisi segala sesuatu tentang Kartini. Disana terdapat miniatur-miniatur dan patung-patung saat Kartini melakukan aktivitasnya seperti menjahit, manulis, dan sebagainya. Terdapat pula miniatur tempat saat Kartini mengajar di sekolah yang didirikannya bersama adiknya. Selain itu masih banyak lagi yang berhubungan dengan Kartini. Pokoknya dalam ruangan itu : all about Kartini.

Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Kabupaten Jepara, kemudian sekolah Belanda di Jepara. Saat bersekolah itulah Kartini merasakan kebebasan, hingga pada usia duabelas tahun tiba-tiba dipaksa dipingit. Walaupun sahabat-sahabat Kartini yang orang Belanda berusaha agar Kartini jangan sampai dipingit, tetapi sia-sia sajalah. Karena orang tua Kartini sangat erat memegang adat memingit, meskipun dalam hal lain sudah maju, bahkan sebenarnya keluarga termaju di pulau Jawa saat itu.¹ selama empat tahun Kartini tidak boleh keluar sama sekali. Setelah itu barulah Kartini dibebaskan, bahkan diizinkan untuk pergi keluar tempat tinggalnya. Dan banyak orang yang mencelanya, karena dianggap bahwa anak gadis Jawa ialah menurut saja, Cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang yang tidak dikenalnya. ². Betapa saat itu perempuan hanyalah dianggap sebagai mahluk yang tak berkehendak saja. Kondisi itulah yang kemudian mendorong pemberontakan-pemberontakan Kartini yang dituangkan dalam bentuk surat-surat yang dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya, yang orang Belanda. Sebenarnya ada beberapa kawan Kartini dari Belanda. Pada awalnya Kartini berkenalan dengan nyonya Ovink-Soer, dan menjadi tempat berlindungnya, sehingga disebutnya sebagai Ibu. Hingga akhirnya sebelum akhir tahun 1899 nyonya Ovink-Soer pindah ke Jombang ikut suaminya. Selain itu, Kartini juga rajin berkirim surat kepada nona estele Zeehandelaar, yang tinggal di Belanda. Hingga pada tanggal 8 agustus 1900 kartini berkenalan dengan Mr. Abendanon dan istrinya, yang lambat laun menjadi pengganti dari nyonya Ovink-Soer. Seadangkan pada tahun 1902 Kartini berkenalan dengan Tuan Van Kol dan istrinya (Neile). Mereka setuju atas cita-cita Kartini yang sangat ingin melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda. Akan tetapi atas nasehat dari Mr. Abendanon, yaitu Kartini tidak usah pergi ke Belanda karena akan merugikan cita-citanya saja, dan Kartini menyetujui nasehat dari Mr. abendanon itu, maka urunglah niat Kartini belajar ke negeri Belanda. Akan tetapi semangat Kartini memperjuangkan hak-hak kaumnya tidaklah surut. Kemudian Mr. Abendanon mengusulkan kepada pemerintah agar Kartini dikirim ke Betawi untuk belajar menjadi guru. Dan sejak saat itu Kartini yang bekerjasama dengan adiknya mulai mendirikan sekolah, pun atas nasihat dari Mr. Abendanon. Akan tetapi usulan Mr. Abendanon tersebut ditolak oleh pemerintah, dikarenakan Kartini akan menikah. Dan pada tanggal 8 November 1903 Kartinipun Dinikahkan. Pada tanggal 13 September 1904 anaknya lahir laki-laki, empat hari kemudian pada tanggal 17 September 1904 Kartini pun meninggal.³

Satu hal yang sampai sekarang saya sesalkan adalah mengapa kartini mati dalam usia yang sangat muda? Dalam usia yang pada kurva normal perkembangan produktivitas manusia berada dalam posisi puncak? Ah, seandainya Kartini dapat hidup lebih lama lagi, tentu akan lebih banyak lagi hal-hal yang dapat dikreasikan oleh anak dari seorang (laki-laki) bupati yang berpoligami. Yah, ayah Kartini adalah Bupati Jepara, keturunan bangsawan, priyayi. Sedangkan ibu Kartini adalah seorang biasa, orang-orang kebanyakan, yang menjadi selir dari bupati Jepara saat itu. Akan tetapi Kartini sungguh sangat menentang kondisi budaya yang semacam itu, dan dalam salah satu kutipan suratnya kepada Stella, Kartini menggambarkan dengan getir betapa dia memilih kata-kata yang keras untuk melukiskan sikapnya terhadap perkawinan yang semacam itu : “aku sendiri membenci, menganggap rendah”, dan ia ingin “mengubah keadaan yang tak tertahankan ini”4. Akan tetapi kondisi budaya pada saat itu sangatlah kental, bahkan dianggap tabu, tidak sopan, dan pendeskriditan lainnya terhadap seseorang (khususnya) perempuan yang melawan tradisi, bahkan hanya dalam pemikirannya saja.

Keteguhan jiwa Kartini sungguh kuat. Belum ada seorang wanita pada zamannya yang berani menuangkan pemikiran-pemikirannya akan pertentangan dengan kultur Jawa, apalagi anak dari seorang bupati, kecuali Kartini. Dengan jaringan yang dia miliki, yaitu dia dapat berkirim surat kepada sahabat penanya di Belanda, Stella Zehandeelaar, Kartini memilih untuk melawan arus, tidak pasrah begitu saja pada nasibnya yang buta. Sungguh besar tekad dan semangat perjuangan Kartini, pantang menyerah dan memberikan inspirasi bagi yang membacanya. Seperti yang diungkapkannya dalam suratnya kepada Stella : “…..aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat; stella, jagailah selalu api itu! Jangan biarkan ia padam. Buatlah aku selalu bergelora, biarkan aku bersinar, kumohon. Jangan biarkan aku terlepas. Terima kasih Stella atas dukunganmu. Kuharap apa yang kau iyakan itu bisa menjadi kenyataan. Kamu tahu apa moto hidupku? ‘aku mau’. Dan kedua kata sederhan ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. ‘aku tidak mampu’ berarti menyerah. ‘aku mau!’ mendaki gunung itu. (pada dirinya sendiri dia berkata) Kartini, janganlah berkata aku tidak bisa, katakan aku mau!” pada kesempatan lain kepada Stella dia juga berkata : “aku mau, aku akan mencobanya…. Aku melakukan yang terbaik yang aku bisa.”5 Semangat perjuangannya serta keberanian dari Kartini juga tercermin dalam kutipan dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu : “Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” (Kartini via Pramoedya Ananta Toer).6. Keberaniannya itulah yang menjadi modal dasar Kartini dalam perjuangannya. Tanpa keberanian, Kartini tak akan mapu untuk melakukan perjuangan-perjuangannya melalui tulisan-tulisannya dan berbagai usahanya meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan.

Ah, Kartini, mungkin Tuhan sayang kepada engkau, sehingga Dia cepat memanggilmu. Tapi tahukah engkau Kartini? Betapa kami semua masih sangat membutuhkanmu, membutuhkan semangat-semangat perjuanganmu, membutuhkan pemikiran-pemikiran cemerlangmu. Rasanya, ingin kuulang waktu, ingin aku hidup pada zamanmu, agar aku dapat bertemu dengan engkau. Tapi kamu anak seorang bupati, berdarah biru, sedangkan aku ini hanya seorang rakyat biasa. Heh, bangkali juga kalau aku hidup pada zamanmu aku tak bisa bertemu denganmu, karena kita beda. Budaya kitalah yang membuat perbedaan-perbedaan semacam itu. Dan tahukah engkau Kartini? Walaupun sudah seabad lebih kau tinggalkan dunia ini, rasanya masih saja banyak diskriminasi terhadap kaum kita ini, dan anehnya lagi, mereka (perempuan) mau saja diperlakukan (dan memperlakukan diri) seperti itu. Masih banyak penindasan-penindasan pada perempuan ini. Tolong, walau hanya dalam mimpi, bisikkan kata-kata darimu untuk membimbingku, dan menghembuskan ruh-ruh perjuanganmu kepadaku, agar aku dapat melanjutkan apa yang telah kau korbankan selama ini. Walaupun selama ini aku hanya mengenalmu lewat tulisan-tulisan orang tentangmu, lewat lagu yang diciptakan khusus untukmu, lewat doktrinasi dari guru-guru kami saat kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tapi rasa-rasanya aku sungguh mengenalmu. Sorot matamu dalam foto-fotomu, yang sudah agak buram karena sudah dicetak beberapa kali, dan termakan oleh zaman, menyiratkan kelembutan dan keteduhan, tapi juga terpancar kekuatan dan keteguhan hatimu disana. Seandainya engkau diberi kesempatan lebih lama lagi menjadi ibu, pastilah anakmu itu sangat bahagia dalam buaian kasih sayangmu. Tapi sayang sekali hanya empat hari engkau menjadi seorang ibu. Walau begitu, engkaulah tetap menjadi ibu dari kami semua, dari kami yang sekarang menikmati perjuanganmu dulu… Oh, Kartini betapa engkau perempuan pemberani, betapa engkau rela berkorban untuk kami, betapa harum namamu…..

Foot note:

  1. Habis Gelap Terbitlah Terang (Armijn Pane)
  2. Ibid
  3. Ibid
  4. Aku mau : Feminisme dan Nasionalisme (surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar)
  5. Ibid
  6. Panggil Aku Kartini Saja (Pramoedya ananta Toer)


Daftar Pustaka

    Pane, Armijn. 2000. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta : Balai Pustaka.

    Yulianto, Vissia Ita (alih bahasa) & Mohamad, Goenawan (Kata Prngantar). 2004. Aku Mau…Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. Jakarta : irb press.

    Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lenter Dipantara.

    Keesing, Elisabeth. 1999. Betapa besar Pun sebuah Sangkar. Hidup, Suratan dan Karya Kartini. Jakarta : Djamban dan KITLV.

Jakarta, 03 Mei 2009

*N. A. El Insiyati , seorang perempuan biasa

Sabtu, Mei 02, 2009

Musim “Kawin Kontrak” Para Elite Politik


Sebenarnya sebelum menulis ini, saya meresa ragu-ragu dan malu untuk mencoba merangkai kata demi kata dan menyajikan kedalam sebuah tulisan, karena ujung-ujungya hanya menulis tentang politik dan mengumbar tentang kebobrokan para elite politik, kayaknya bosen yah baca tulisan yang model ginian. Ketika hendak memposting tilisan ini pun ternyata di media dan surat kabar diberitakan adanya penandatanganan kesepakatan beberapa partai politik untuk membentuk sebuah kolaisi Besar yang mereka namakan “Koalisi Parlemen”, yah..terpaksa ada sebagian tulisan yang harus saya revisi, lho kok kayak Skripsi ya? memang dalam politik semuanya bisa berubah dalam hitungan detik, saya maklumi hal itu.
Ketakutan dan kegelisahan ini justru muncul setelah pemilu legislatif selesai, dan al-hasil sudah tampak jelas bahwa muncul para elite politik yang mempunyai ambisi untuk memperebutkan kunci pintu istana Kepresidenan. Hampir diberbagai media masa dapat kita lihat para elite politik melakukan serangkaian aktifitas yang mereka klaim adalah suatu bentuk kegiatan silaturohmi saja. Kayaknya serangkaian aktifitas yang mereka lakukan bukan semata-mata murni untuk melakukan silaturohmi, serangkaian kegiatan yang dilakukan juga dibumbui dengan nuansa politik, mungkinkah para elite politik sedang melakukan maneuver politik? Yah….bisa jadi ada sebuah rencana besar yang akan mereka lakukan, tentunya adalah adanya sebuah koalisi antar Partai Politik, akan tetapi tidak pantas kita mendeskripsikan bahwa koalisi yang akan dilakukan murni karena ruh dan ideology parpol, rasa-rasanya ini merupakan keinginan para elite saja.
Ada berbagai kubu yang memperebutkan singgahsana kepresidenan, sebut saja kubu “S”, kubu sedangkan “M” dan “JK” beserta 2 mantan Jendral semasa Orde baru juga telah bergabung membentuk sebuah koalisi Kolaisi Besar yang mereka namakan “Koalisi Parlemen” juga sudah nampak mulai ngeluarkan taringnya untuk menandingi kekuatan Kubu “S”, setidaknya kubu “S” harus benar-benar memutar otak dan menyiapakan kuda-kuda untuk menadingi kekuatan koalisi parlemen, karena apabila digabungkan perolehan suara pada pemilu legislatif lalu, partai-partai yang tergabung dalam koalisi tersebuat lebih dari 50%, mungkin ini tantangan bagi kubu “S”. Dan semuanya memiliki sebuah ambisi dan optimisme yang besar, ya…mungkin tidak dipungkiri lagi kendaraan politik yang mereka tunggangi juga memungkinkan untuk berkompetesi diputaran pemilu berikutnya.
Koalisi merupakan sebuah option
Untuk memuluskan langkah-langkah dalam proses perebutan kekuasaan para elite politik, tak ayal langkah koalisi pun menjadi suatu option yang sangat menjanjikan, dari ke tiga kubu tersebut. Kelihatannya masih memerlukan dukungan dari partai politik lain yang diharapkan mampu memback-up penggalangan suara berikutnya, meskipun pada pemilu putaran pertama dalam perhitungan sementara dari kubu “S” dengan partai Demokrat yang menjadi motor politiknya mampu memperoleh suara sebesar 20, 582%, kubu “M” dengan perolehan suara dari PDI sebesar 14, 026%, dan kubu “JK” dengan Golkarnya yang berhasil menghimpun suara sebesar 14, 621%, nampaknya masing-masing kubu belum memiliki kepercayaan diri untuk bertarung singgle fighter diputaran pilpres, maka dengan koalisi mungkin dapat menjadi sebuah stimulan untuk membangkitkan rasa percaya diri dari elite-elite politik tersebut.
Kawin Kontrak, apa Koalisi???
Dalam sub title diatas saya sengaja memberikan hadiah tiga buah “tanda Tanya” kepada tiga kubu yang sedang membentuk peta koalisi. Dewasa ini koalisi yang mampu kita terjemahkan adalah koalisi yang hanya bersifat pseudo koalisi atau hanya koalisi semu saja. Entah keniatan koalisi mereka kabenar-benar keniatan untuk berkoalisi karena kesamaan ideology, platform politik atau hanya kolisi yang didasari karena sahwat untuk berkuasa. Karena sudah nampak jelas bahwa koalisi yang telah mereka galang layaknya sebuah kawin kontrak yang tidak didasari oleh rasa sayang dan rasa cinta tentunya, tapi karena ingin tersalurkannya libido untuk berkuasa.
Dari segi ideology juga partai-partai yang akan berkoalisi sudah jelas perbedaannya, para elite politik sangat piyawai dalam mengemas praktek kontrak koalisi yang mengatasnamakan demi kepentingan Bangsa dan Masyarakat. Akan tetapi yang menjadi ketakutan manakala janji untuk Bangsa dan Masyarakat terabaikan. Bukan hanya itu saja yang benar-benar menjadi momok paling menakutkan adalah manakala terjadi praktek “prostitusi politik” yang dapat dideskripsikan dengan suatu koalisi yang dilakukan karena sama-sama ingin mencapai puncak kenikmatan dan kehendak untuk tarnsaksi kekuasaan ketimbang mementingkan program dan rencana politik yang mereka gembar-gemborkan.
Yah…, mudah-mudahan saja kawin kontrak koalisi para elite politik tersebut benar-benar didasari oleh kesamaan ideology, kesamaan platform politik juga yang sangat penting adalah apa bila kawin kaolisi tersebut benar-benar didasari oleh rasa cinta. Duhh…alangkah indahnya manakala para elite politik benar-benar menyadari makna koalisi yang sebenarnya, kita setidaknya menjadi saksi dari perkawinan koalisi yang banyak di ekspose di berbagai media dan ruang public akhir-akhir ini. Mudah-mudahan janji perkawinan politik mereka dapat memberi angin segar bagi perubahan bangsa. Mudah-mudahan juga di musim kawin koalosi ini para politisi benar-benar sadar akan nasib dan harapan masyarakat.


Oleh : Andi Tri Haryono

Jumat, Mei 01, 2009

Coblos -> Contreng

Saya membayangkan mengikuti sebuah rapat. Rapat penyusunan Undang-undang sebuah pemilihan Umum di Indonesia. Memang saya kurang benar tahu, rapat itu diadakan di gedung jamur payung beratap hijau itu, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ataupun oleh Komisi Pemilihan Umum KPU), di suatu Hotel yang tentu bukan sekelas hotel-hotel Bandungan yang konon ramai disambangi mahasiswa Unnes di malam Minggu. Atau bisa juga rapat itu dilaksanakan oleh KPU, dan kemudian disahkan oleh DPR. Maka, dengan demikian, baik penyewaan hotel maupun gedung jamur itu tidaklah mubazir.

Jika memang benar demikian, maka saya pun menjadi senang, karena membayangkan sesuatu yang nyaman. Tidak ada udara panas berhawa pengap. Tidak ada makanan tak bergizi apalagi yang basi. Ada kopi, ada teh wangi dan hangat, ada banyak hal lain. Ada juga remote segala urusan. Bentuknya seperti handphone, mempunyai chip kecil di dalamnya, yang kadang perlu di top up isinya. Sepertinya remote segala urusan sama dengan handphone (rumus menggunakan fungsi matematis assosiatif: remote segala urusan = handphone, handphone + remote segala urusan.).

Rapat itu direncanakan khusus untuk menyambut Pemilu, meliputi pemilihan anggota dewan dan presiden.

Saya, yang baru dua kali mengikuti pemilu (pemilu kemarin dan pemilu kabupaten), baru bias melihat beberapa kali pemilu sebelum 2009 ini, properti yang selalu tersedia adalah sebuah bilik seperti kakus umum, di dalamnya terdapat semacam meja, dan sebuah paku besar yang terlilit oleh tali jahit kasur. Barangkali agar paku itu tidak hilang ; agar tidak terjadi sabotase.

Pemilu kali kemarin, saya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap. Saya berangkat ke TPS, dan mengikuti kontes origami massal itu. Saya menyesal, karena tidak membawa secangkir kopi dan beberapa sigaret untuk menemani selama membolak-balik lembaran kertas mirip koran itu.

Saya bayangkan dalam rapat pembahasan konversi coblos ke contreng itu, terlepas dari kelucuan-kelucuan yang saya dapati--karena lebih karena saya yang gagap atas sesuatu yang baru. Suatu ketika, dalam suatu rapat di dalam gedung ber-AC, dengan mikrofon di depan mulut masing-masing (riuh kecil akan menjadi gaduh berlipat kali), seseorang mengusulkan--sebenarnya dengan iseng--untuk mengubah coblos menjad contreng. Dia mengungkapkan argumen bahwa "coblos" sangat memberikan kesan bias gender, primitif, terkesan sadis, dan membahayakan bagi pemilih. Selesai berbicara ia menyeruput salah satu dari tiga gelas yang tersaji di depannya, kemudian mencomot lemper isi sirip hiu presto.

Beberapa kontestan rapat bertepuk tangan.

Satu orang di seberang terlihat gerah. Paras mukanya seperti masih berusia 30-an tahun. Namun ketika KTPnya terjatuh beberapa hari lalu, tertulis Ibu ini lahir pada tahun 1950. Konon lima orang dokter berkolaborasi, featuring seorang ahli kosmetik, untuk berkarya di atas kanvas "pasuryan" Ibu itu.

Dengan sedikit berurat leher, dia mangatakan bahwa coblos memang bisa dimaknai demikian--seperti yang dikatakan salah seorang di atas--namun hanya dengan coblos lah, potensi pertikaian, perselisihan dan keributan akibat kurang jelasnya penandaan bisa ditekan. Bayangkan, katanya, jika seseorang iseng membuat sebuah tanda contreng yang berukuran jumbo, memenuhi kertas suara? Atau bayangkan jika ada orang makar yang menggambar palu-arit di kertas suara?

Beberapa orang lain kembali bertepuk tangan. Sedikit lebih riuh.

Memang demikian suasananya. Dalam banyak rapat, kebanyakan hanya ada dua kutub yang sangat bertolak belakang. masing-masing kutub dihuni oleh satu orang. Selain yang tidak di dalam kutub, terlihat bermain ular-ularan dalam handphone (atau remote segala urusan), sembari sesekali bertepuk tangan jika yang lain bertepuk tangan.

Kemudian kita tahu, coblos telah ter-konversi menjadi contreng. Artinya, si orang pertama menang dalam perdebatan melawan Ibu-ibu yang terllihat muda. Entah di hari berikutnya ada bingkisan di dalam kotak pos Si Ibu terlihat muda, entah tidak.