online degree programs

Senin, Juni 15, 2009

Hikayat Jalan Positivisme sebuah Timun


Di sebuah daerah berhawa panas di ujung timur propinsi Jawa Tengah, hiduplah seorang petani Timun (Ind : Buah Mentimun). Dengan rajin dan bangga, dia menjalani profesinya sebagai petani timun yang memang sudah dia jalani sejak puluhan tahun silam. Dia merawat ladang Timunnya dengan tulus dan ikhlas karena dia merasa timun adalah komoditi penting untuk daerahnya : konon dua puluh persen konsentrasi keuangan di daerahnya sekarang sudah disepakati untuk pertanian khusus pertimunan. Walaupun daerah itu panas dan kering, sesuai iklim geografisnya, tetapi dengan telaten sang petani merawat, menyiangi, memupuk dan memelihara timun-timunnya agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Dia jaga pula timun tersebut agar tidak mati muda di mulut kambing atau sapi ternak, atau dipanen muda karena diunduh paksa oleh penggembala yang kehausan di tengah ladang yang kering nian kerontang.


Sang petani juga terlihat bangga dengan timun hasil ladangnya. timun-timun itu, secara khusus akan didedikasikan untuk rujak uleg. Ya, rujak uleg saja, bukan Rujak Hukum, Rujak Teknik, ataupun Rujak Kedokteran apalagi Rujak Ekonomi. Timunnya adalah spesial timun rujag uleg : membutuhkan timun yang tidak besar juga tidak terlalu kecil, tidak kering tetapi juga tidak terlalu banyak air, tidak terlalu manis tapi juga tidak terlalu pahit, dan yang penting tidak berduri. Syarat terakhir itu mutlak wajib karena tidak bisa dibayangkan nasib bibir penikmat rujak jika pembuatannya memakai timun duri. Sebagai petani yang profesional dan berpengalaman, dia tahu bagaimana dan proses apasaja yang harus dia lakukan untuk mendapatkan timun spesialis rujak uleg kualitas prima, termasuk melakukan Praktek Pertimunan Lapangan pada timun-timun tersebut agar bisa bersikap professional jika kelak dia terjun di per-rujak ulegan, merekrut tenaga pengolah dan perawat yang mahir dan handal dari petani seberang yang dikenal lebih tinggi ilmu dan keahliannya. Singkatnya, semua cara demi menjadikan produknya sebagai Timun rujag uleg professional sudah dia penuhi.


Hingga suatu hari, acara yang ditunggu-tunggupun tiba. Panen raya setahun dua kali periode-nan sudah ada di depan mata. Dengan suka cita pula, sang petani dan para timunnya mengikuti acara panen itu dengan hikmad dan berwibawa, disisipi rasa haru karena akan berpisah dan diakhiri dengan semangat suka cita dan tawa ria karena berakhirlah masa penanaman. Kini saatnya para timun bergerak mencari bursa penawaran, bersama timun-timun jenis lainnya. Sang Timun rujag uleg, dengan bangga oleh pengetahuan dan keprofesionalan sebagai timun rujag uleg, menempuh jalan untuk menjadi seporsi rujag uleg yang sungguh menggoda selera.


Setibanya ditempat pengolahan, sang Timun agak kaget campur senang –sedikit. Dia melihat sang petani yang dulu menanam dan merawatnya, ternyata ada pula di sana. Ternyata sang Petani bertindak sebagai seorang quality controler, memimpin Lembaga Penjamin Mutu untuk memastikan hanya timun berkualitas saja yang akan diolah. Tiba giliran sang Timun diseleksi, gentarlah dia. Dia merasa ada hawa lain dari sang petani ini. Wajah yang dilihatnya kini bukanlah wajah petani ladang yang dulu merawatnya –dan mendidik- nya. Dia berubah menjadi kejam, bengis dan arogan. Petani ini menganggap seolah Timun yang kini ada dihadapannya bukanlah timun hasil didikannya. Dimintanya sang Timun menunjukkan bukti tumbuh di ladang timun khusus rujag uleg, disuruhnya dia mengikuti serangkaian tes ujian, seolah sang petani –dan didukung Dinas Pemilik Warung- tidak percaya bahwa timun ini adalah timun spesialis rujag uleg yang dulu ditanam diladangnya. Diharuskannya sang timun membuktikan diri bahwa dia adalah benar-benar timun baik bebas kriminal dan narkoba, seoalah memprasangkai sang timun bukan timun ‘baik-baik’. Diwajibkannya sang timun mengerjakan ujian per-rujak ulegan, seolah-olah lagi, selama diladang dulu sang timun tidak diajar dengan baik dan petaninya tidak kredibel dalam pertimunan. Ditambah, segepok arsip-arsip administrasi lain yang maha sulit untuk mengurusnya bagi hanya se”orang” timun belaka. Masih pula, jika kelak sang Timun memang diterima menjadi bahan rujak uleg, maka dia harus menjalani lagi serangkain tes dan pendidikan profesi, agar benar-benar professional menjadi timun rujag uleg bersertifikasi. Seakan, dulu semasa di ladang sang timun tidak pernah diajar dan belajar bagaimana menjadi timun rujak uleg sejati.


Sang timun sedih, lelah dan agak kecewa. Tetapi, apapun harus dilakukannya demi cita-cita menjadi timun rujag uleg profesional. Apapun dilakukan, walau dengan cucuran keringat dan air mata dan agak sedikit melupakan logika dan ah… harga diri. Apalah artinya.


Hari ini, di tengah kerumunan reuni para timun, saya mendengar cerita dan curhat diantara mereka. Mereka yang masih menanti diterima menjadi bahan rujak uleg berbanderol negeri, dan mereka yang sudah ada di warung rujak, tapi entah kapan akan diangkat betul-betul menjadi rujak uleg. Sambil bercengkerama kami melepas keluh dan tawa getir campur bahagia. Dan di sudut pojok ruangan sambil menghirup sebotol teh dingin yang disediakan, saya termenung tentang diri saya sendiri. Sebagai timun, akan bagaimanakah saya? Terngiang kata-kata seorang tenaga pertanian yang juga “seorang” timun ketika saya masih berupa kecambah : Timun wungkuk jogo imbuh, Le.


Yog, ....

Sabtu, Juni 06, 2009

Jiplak-Menjiplak Dalam Sepotong Kreativitas


Oleh: Chabib Duta Hapsoro

Tatkala penulis menonton Kidz Choice Award 2008 November lalu di sebuah stasiun televisi swasta, saat Nidji tampil, Giring sang vokalis mengenakan jas yang amat mirip jas yang dikenakan personil band Inggris, Coldplay. 

Jas itu juga ia pakai saat Nidji menjadi bintang iklan sebuah merk sepeda motor. Jas biru tua yang sedikit lusuh dengan tempelan kain-kain perca warna cerah itu dipakai Chris untuk konsep album Coldplay, Viva la Vida or Death and All His Friend. Ada kejadian unik saat perhelatan Grammy Award ke 51 lalu. Coldplay menyabet beberapa penghargaan di situ. Saat penyerahan piala Chris Martin sang vokalis, memimpin rekan-rekannya mengucapkan terima kasih kepada Paul McCartney yang duduk di depan mereka. Mereka berterimakasih karena konsep jas mereka terinspirasi oleh konsep album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, album mognum opus The Beatles yang bernuansa psikedelik. Jika kita menonton video klip lagu Wonder Woman milik Mulan Jameela kita pasti langsung teringat dengan video klip Kyle Minogue dalam lagu Can't Get Out Of My Head. 

Jiplak menjiplak banyak dijumpai di industri hiburan Indonesia baik dengan kadar sedikit; terinspirasi maupun yang parah alias murni menjiplak. Tak hanya di musik juga di sinetron. Untuk sinetron, nampaknya para produser menyadari kekuatan cerita melodrama-melodrama Asia. Pertengahan ’90-an, di masa awal mengudaranya, stasiun televisi Indosiar menayangkan melodrama Jepang seperti Tokyo Love Story, The Return of the Condor Heroes, dan Long Vacation. Lalu, muncullah Meteor Garden (MG). MG pernah menjadi sebuah fenomena budaya di Indonesia kala itu. Melodrama Taiwan ini tak hanya memiliki rating tinggi namun booming-nya juga sempat berimbas pada pergeseran kriteria nilai di kalangan anak muda. Kriteria ketampanan dan kecantikan bergeser dari “barat ke timur”. Wajah-wajah oriental mulai mendapat tempat.

Di saat euforia MG masih tinggi, stasiun televisi SCTV menayangkan Siapa Takut Jatuh Cinta. Sinetron ini dibintangi oleh artis Leony, Indra L Bruggman, dan Roger Danuarta. Dari sisi cerita dan penokohan sinetron ini sangat mirip dengan MG. Formula yang diambil produser adalah mengadaptasi melodrama yang sudah populer atau mencoba peruntungan dengan mencomot melodrama-melodrama Asia yang belum sempat ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia. Seperti Ichi Ritoru No Namida atau One Litre of Tears yang berasal dari Jepang. Melodrama ini menceritakan kehidupan seorang siswi SMU di Jepang yang mempunyai kelainan saraf otak yang menyebabkan kelumpuhan. Tak berapa lama ada satu stasiun televisi menyiarkan sebuah sinetron dengan judul Buku Harian Nayla dengan pemain Chelsea Olivia dan Glen Alinskie. Ternyata benar, sinetron ini menjiplak Bisa dilihat dari cerita dan karakter tiap tokohnya. Yang membedakan hanya bahasa dan kulturnya yang agak disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Tak hanya Buku Harian Nayla yang menjiplak, masih ada sederetan daftar judul-judul sinetron yang menjiplak melodrama Asia.

Untuk musik rata-rata para musisi penjiplak, mereka menjiplak dari karya-karya musisi luar negeri yang kurang bisa dijangkau masyarakat kebanyakan. Tentu saja para musisi penjiplak memiliki referensi musik yang lebih banyak dan beragam daripada audien. Mereka berpikir bahwa musik jiplakan mereka tidak banyak diketahui oleh audien. Untuk menikmati bahkan mengenal Led Zeppelin, Queen, The Beatles hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses informasi seperti internet dan televisi kabel. Padahal kebanyakan masyarakat Indonesia hanya mengandalkan televisi yang jarang menayangkan grup-grup band luar negeri tersebut. Sebenarnya radio lebih luas dan variatif dalam porsi pemutaran lagu luar negeri tapi tetap saja lebih berpatokan pada unsur tren dan kekinian dalam pemilihan lagu-lagu yang diputar.

Gejala Posmodern
Sebenarnya hal itu wajar dengan “menjiplak” istilah “tidak ada yang baru di dunia ini”. Ternyata hasil karya kreatif para seniman banyak dipengaruhi secara inspirational maupun total dari karya yang tercipta sebelumnya. Motifnya pun macam-macam. Dari penghormatan hingga hanya mengejar keuntungan semata. Grup band Zappa Plays Zappa dibentuk Dweezil Zappa untuk menghormati mendiang ayahnya, Frank Zappa. Tapi kapitalisme selalu menemukan jalannya. Segala niatan baik akhirnya sengaja atau tidak berujung pada kapitalisme juga. Terbukti Zappa Plays Zappa laris dengan melakoni tur di AS mulai Juni 2008. Di sisi mengejar keuntungan, seperti contoh di atas tadi. Sangat disayangkan jika para seniman atau produser itu dengan seenaknya menjiplak cerita sinetron asing tanpa memberi credit title ataupun mengaku bahwa karya mereka hasil saduran, inspirasi bahkan jiplakan. 

 “Sebenarnya sudah kuno kalau bicara mana asli mana yang tiruan, semua wacana yang kita diskusikan kan, pinjaman dari luar juga,” ujar budayawan Seno Gumira Ajidarma. Ia melanjutkan bahwa jangan bicara lagi “hak cipta” melainkan “hak kerja”. Hak kerja seseorang yang telah melahirkan karya harus tetap dihargai kendati menjiplak. Satu indikasi dari zaman posmodern adalah tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting. Kita semakin sering mengonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukan “manfaat”nya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Sebagai akibatnya, sifat-sifat seperti kelebihan artistik, integritas, keseriusan, autenstisitas, realisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat cenderung diabaikan.

Medio 90-an, anak-anak muda saat itu begitu antusias ketika untuk pertama kalinya MTV mengudara di Indonesia. Beragam acara musik seperti MTV Alternative Nation, MTV Asia Hitilist, MTV Triple Three dan MTV Most Wanted hadir tak hanya menghibur melainkan juga memberi tambahan referensi musik luar negeri bagi mereka. Ironisnya, sekarang MTV terlihat mengalami disorientasi dengan hanya sedikit memberi jam tayang pada penayangan artis-artis musik luar negeri dan justru memberi porsi yang lebih banyak untuk acara non-musik. Seharusnya para pemilik media tak hanya menuruti kemauan pasar melainkan memberikan referensi karya hiburan kepada audien. Jadi, apresiasi audien kepada karya hiburan dalam negeri menjadi lebih kritis bukan hanya melulu pada komentar “enak didengar” atau “artisnya enak dilihat”.

Tentang Penulis
Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang. Pernah mengelola Express dan Kompas Mahasiswa, dua pers mahasiswa di Universitas Negeri Semarang. Saat ini tergabung dalam Byar Creative Industry sebagai Koordinator Penelitian dan Pengembangan.

Tentang Byar Creative Industry
Didirikan di Semarang pada 24 Desember 2006. Sebagai organisasi yang fokus dalam mengembangkan serta mengkaji ilmu seni melalui pendekatan terhadap anak muda. Faktor mendirikan BYAR Creative Industry adalah sebuah reaksi akan lemahnya infrastruktur/ sarana seni di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Dalam kegiatannya organisasi ini mencoba menciptakan fungsi infrastuktur/ sarana alternatif bagi seniman. Diantaranya ruang pamer, perpustakaan, media publikasi, manajemen seni, eksperimen karya, serta pendokumentasian dan penelitian dengan tujuan mampu meningkatkan kemampuan seniman untuk bertahan serta mencari peluang bagi dirinya. 
Dengan visinya yang aktif dalam mengkaji ilmu seni untuk membuka lebar kesempatan dan peluang bagi seniman dalam lingkup nasional dan internasional. Sedangkan misinya adalah mengumpulkan data, mengadakan proyek seni, dan membangun jaringan kerja dengan organisasi sejenis guna perkembangan bidang seni. 

Akhir 2006 hingga 2007 telah mengadakan beberapa kegiatan pameran yang berskala lokal maupun nasional. Seperti KtoK Project, Festival Tanda Kota Biennale Jogja IX 2007 Neo-Nation dan Hertz Subsonic Sonar 2009.

gambar diungguh dari: http://cms.let.uu.nl/lws/images/stories/postmodernism1.jpg

Rabu, Juni 03, 2009

UPAYA PEMBODOHAN RAKYAT: SEBUAH CURHAT


oleh: Eko Setyo Atmodjo*

mungkin terbuai,tidak tahu atau memang dikondisikan agar tidak mau tahu sebetulnya kita sebagai rakyat bangsa indonesia yang merupakan bangsa besar memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah namun ironis di dalamnya ada upaya pembodohan yang celakanya itu dilakukan oleh pemimipin negeri kita, banyak hal yang dapat diangkat sebagai bukti dalam konteks ini namun hanya satu catatan saya yang mungkin saya mengajak teman-teman semua juga untuk mengkritisi hal ini adalah masalah perpajakn di negeri kita tercinta ini.

slogan-slogan perpajakan yang terpasang menjulang tinggi yang hampir memenuhi setiap sudut jalan yang banyak berisikan seruan rakyat untuk membayar pajak yang salah satunya yang saya ingat PAJAK LUNAS TIDUR PULAS seakan mengganggu pikiran saya, banyak ungkapan yang harus saya ungkapkan disini mulai dari sedih, kasian, jengkel dan bingung.

fakta ini menunjukan bahwa para pemimpin negeri ini tidak memahami rakyatnya ditengah himpitan kehidupan, bukan anti bayar pajak dan bukan menjadikan negara tanpa pajak namun sangat ironis ketika semua yang menjadi kebutuhan khususnya kebutuhan primer dibebani pajak yang dalam hal ini nominalnya juga tidak sedikit.

hal yang sangat aneh ketika rakyat rajin membayar pajak namun semuanya itu kembali lagi untuk kehidupan rakyat,anehnya disini seakan-akan negara hanya event organizer yang hanya memfasilitasi penyetoran uang rakyat saja, tanpa memikirkan bagaimana caranya negara ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa pajak yang membumbung tinggi. dan memang tidak ada di dunia ini negara tanpa pajak karena pajak memang salah satu faktor untuk mengukur sehat atau tidaknya sebuah negara.

contoh saja banyak kekayaan alam negeri kita ini yang tidak kita manfaatkan sendiri seakan negara ini merupakan penyuplai kekayaan kepada negara-negara lain tanpa dapat imbalan apapun atau imbalan pada kelompok tertentu saja tanpa melihat kepentingan rakyat, banyak hal yang dapat diangkat disini free port misalnya negeri kita tercinta ini hanya dapat menonton kekayaan alamnya dikuras habis oleh bangsa lain.

ironis memang ketika itu tidak dimanfaatkan kita sendiri dengan dampak nantinya adalah kemakmuran rakyat, dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam ini tidak mustahil kehidupan rakyat akan lebih sejahtera tanpa harus di pusingkan dengan membayar pajak yang cukup tinggi dan membebani.

moment pilpres ini harusnya menjadi tonggak untuk memasuki babak baru dalam upaya pembenahan negeri ini kita harus benar-benar tahu sosok seorang pemimpin yang memang mengerti kesulitan rakyat indonesia saat ini.


*alumni Fakultas Hukum Unnes
gambar dari:
http://2.bp.blogspot.com/__PJBf-hxiqI/SNueXrdKrWI/AAAAAAAAAEw/C-GLbtZ4XkY/s400/a.jpg

Selasa, Juni 02, 2009

FACEBOOK: MELAMPAUI PANOPTIKON (1)





oleh:
Muhammad Taufiqurrohman*



"…he (the prisoner) is the object of information, but never a subject in communication"

(Michel Foucault, Discipline and Punish)
"Ia sadar ada sebuah "kekuasaan tak terlihat" yang dapat "mencabut" dirinya dari dunia perFacebookan kapanpun kekuasaan itu mau. Seperti Alicia Istanbul, tanpa ampunan, pemberitahuan dan permohonan penundaan pencabutan."

Foucault menghubungkan konsep pengetahuan dan kekuasaan. Ia percaya bahwa segala pengetahuan (baik itu tentang kegilaan, seksualitas, hukuman, dsb) bersifat kontingen. Artinya, semua pengetahun tersebut ditentukan oleh konstruksi sosial masyarakat yang ada. Oleh karena itu, pengetahuan pada dirinya sendiri sebenarnya tidaklah pernah netral seperti yang selalu diumumkan oleh modernisme dengan paradigma positivismenya. Pengetahuan merupakan hasil konstruksi masyarakat yang tidak pernah terlepas dari kepentingan dan oleh karenanya tidak pernah bebas nilai.

Dari sinilah Foucault dalam Discipline and Punish mengemukakan tentang penjara Panoptikon yang berfungsi sebagai sistem pengawasan yang efektif. Foucault menganggap penjara Panoptikon merupakan sebuah konsep yang memadukan antara pengetahuan dan kekuasaan. Sederhananya, Panoptikon adalah mekanisme produksi kekuasaan melalui internalisasi pengawasan. Kita tahu bahwa pengawasan selalu mensyaratkan pengetahuan. Seorang bapak yang mengawasai anaknya pasti juga mengetahui dan menguasai anaknya. Soalnya adalah jika ternyata si bapak hanya sekali mengawasi dan memergoki anaknya pacaran tetapi ternyata si anak selalu merasa terus diawasi oleh bapaknya dimanapun dia berada saat pacaran. Inilah panoptikon. Lalu bagaimanakah sebenarnya Panoptikon tersebut? Ada baiknya kita menengok sejarah terbentuknya konsep penjara Panoptikon.

Sebenarnya, Foucault belajar dari proposal Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian Inggris yang juga seorang kriminologi klasik. Bentham lahir di Houndsditch, London pada tahun 1750 dan meninggal pada tahun 1832. Panoptikon sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti ”semua terlihat” (all-seing). Ide awal konsep Panoptikon ini bermula dari kunjungan Bentham kepada adiknya yang seorang insinyur, Samuel. Dalam mengerjakan reservasi kapal yang sangat besar, Samual membangun semacam tower yang tinggi di tengah-tengah kapal untuk mengawasi para pekerja. Dari tower ini, semua pekerja terlihat dengan jelas oleh para pengawas. Pada tahun 1785, Bentham kemudian memulai proyek proposal penjara Panoptikon ini.

Panoptikon, dalam proposal Bentham, merupakan penjara yang dibangun bertingkat dan melingkar. Ditengah-tengah penjara kamar-kamar sel yang mengeliling tersebut dibangunlah sebuah menara tower. Dari dalam menara tersebut penjaga dapat melihat seluruh gerak-gerik tawanan. Namun, tahanan yang berada di dalam sel tidak pernah bisa melihat penjaga dalam menara. Hal ini dikarenakan cahaya yang masuk dari atap penjara bisa masuk sampai ke seluruh sel tetapi tidak masuk dalam menara. Akibatnya tahanan selalu merasa diawasi oleh penjaga walaupun pengawasan sudah tidak berlangsung (Munday:1994). Inilah inti dari konsep penjara Panoptikon, yaitu mekanisme produksi kekuasaan melalui internalisasi pengawasan.

Kata kunci untuk memahami ungkapan Foucault di atas terletak pada kata subyek, obyek, informasi dan komunikasi. Dalam sistem Panoptikon tawanan hanya menjadi obyek informasi dan tidak pernah menjadi subyek dalam komunikasi. Subyek diandaikan hanya berupa penguasa sistem, dalam hal ini disimbolkan penjaga. Tawanan tidak bisa melakukan komunikasi yang memungkinkannya untuk berbicara dengan penjaga ataupun dengan sesama tawanan. Hal ini dikarenakan internalisasi pengawasan yang sudah melekat dalam kesadaran tawanan.

Dengan perumpamaan sistem Panoptikon yang demikian kita bisa mengganti kata ”tawanan” dengan berbagai macam istilah; siswa, pasien, tawanan, warga, mahasiswa, dosen, aktivis, buruh, dll dan dalam tingkat tertentu adalah instansi-instansi misalnya instansi Fakultas X di bawah pengawasan Universitas Y atau negara Indonesia dibawah imperialisme Amerika dan PBB, dan lain-lainl). Lalu kita bisa menggantikan kata ”Panoptikon” dengan berbagai macam sistem produk modernitas; sekolah, rumah sakit, penjara, negara, perusahaan, organisasi multinasioanal, dan lain-lain. Dalam beberapa hal, pembicaraan mengenai sistem tersebut dalam konteks masyarakat kita sekarang tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai sistem kapitalisme sebagai sebuah sistem Panoptikon.

Yang bisa kita lihat dari gambaran di atas adalah posisi subyek-obyek yang tidak seimbang. Foucault mensinyalir bahwa melalui internalisasi pengawasan semua sistem produk modernisme telah mencengkeramkan kekuasaannya kepada para manusia-manusia di bawah sistem tersebut dengan memperlakukannya hanya menjadi sekadar obyek informasi. Kekuasaan berdasarkan internalisasi pengawasan tersebut pasti menimbulkan efek negatif. Salah satunya berupa kekerasan atau semacam penindasan (meskipun dalam tataran simbolik). Visker (2008:13) mengutip Foucault yang menyatakan dengan teramat jelas potensi kekuasaan tersebut;
”We must cease once and for all to describe the effects of power in negative terms: it ‘excludes’, it ‘represses’, it ‘censors’, it ‘abstracts’, it ‘masks’, it ‘conceals’,. In fact, power produces; it produces reality; it produces domains of objects and rituals of truth. The individual and the knowledge that may be gained of him belong to this production”

Demikianlah sistem panoptikon yang menghasilkan kekuasaan dapat mengakibatkan represi, eksklusi, sensor dan lain sebagainya yang bernada penindasan simbolik kepada manusia-manusia yang dibawah sistem tersebut. Manusia-manusia dibawah semua sistem Panoptikon (sekolah, penjara, perusahaan, dll) direduksi menjadi hanya sekadar obyek dan bukan diberikan posisinya yang semula yakni obyek. Oleh karena itu, sebenarnya istilah yang tepat menurut penulis bagi mereka yang dibawah kendali sistem-sistem Panoptikon adalah “subyek yang diobyekkan”.

Dari sekilas gambaran mengenai teori panoptikon Foucault. Dengan kacamata teori itulah penulis akan membedah fenomena Facebook di Indonesia. Bagiamanakah internalisasi Panoptic facebook (pengawasan) berlangsung, sensor, keberpihakan, dan kekuasaan atas informasi dalam Facebook tersebut. Juga, bagaimanakah posisi Facebook dalam arena kontestasi ideologi yang berlangsung di dunia dan di Indonesia pada ksususnya. Terakhir, berkaitan dengan polemik Facebook terkait dengan “fatwa haram” Facebook oleh sekelompok Ulama (bagian 2).


FACEBOOK: SEJARAH KECIL
Facebook adalah situs web jejaring sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat surat-e suatu universitas (seperti: .edu, .ac, .uk, dll) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs jejaring sosial ini.

Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk sekolah-sekolah tingkat atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan alamat surat-e apa pun dapat mendaftar di Facebook. Pengguna dapat memilih untuk bergabung dengan satu atau lebih jaringan yang tersedia, seperti berdasarkan sekolah, tempat kerja, atau wilayah geografis.

Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling besar di antara situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta anggota aktif yang dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga September 2007, peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling banyak dikunjungi, dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika Serikat, mengungguli situs publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat setiap harinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Facebook)

FACEBOOK: MELAMPAUI PANOPTIKON
Tulisan sederhana ini hanya ingin menunjukkan beberapa hal yang menunjukkan Facebook dan sistem panoptikon yang dijalankannya. Sepeti yang sudah dijelaskan di bagian terdahulu, bahwa inti dari konsep Panoptikon adalah kuasa atas informasi oleh satu pihak. Di dalam penjara Panoptikon, penguasa seluruh informasi adalah sang penjaga sedangkan tawanan tidak pernah mengetahui informasi. Oleh karena itu, tawanan tidak pernah menjadi subyek komunikasi.

Perumpamaan penjaga dan tawanan dapat kita perlebar ke ranah sosial yang lebih luas, khususnya dalam fenomena Facebook. Dalam Facebook dapat kita bagi menjadi dua pihak, yaitu pihak pemilik Facebook sebagai penjaga dan pihak pengguna Facebook sebagai tawanan. Sebagai penjaga Pemilik facebook memiliki kekuasaan yang tak terkontrol untuk mengawasi para pengguna. Bagaimanakah semua sistem panoptikon itu dimungkinkan terjadi dalam Facebook?

Kuasa atas alamat E-mail dan Password User
Seperti kita ketahui bahwa syarat pertama untuk dapat mengakses Facebook adalah melakukan pendaftaran dengan menyertakan alamat E-mail sekaligus password calon pengguna. Dari proses awal ini saja kita dapat mengetahui bahwa Facebook sangat berpotensi menguasai pengawasan atas segala informasi para penggunanya. Dengan memegang semua alamat email dan password para penggunanya, Faecbook dapat mengontrol seluruh informasi yang berkaitan dengan penggunanya. Facebook tidak hanya dapat memblokir tapi juga dapat mengetahui pesan-pesan (yang bisa jadi rahasia) antar anggotanya.

Dalam perumpamaan panoptikon, Facebook sebagai penjaga mengendalikan seluruh informasi dengan menguasai email dan password. Sedangkan pengguna sebagai tawanan tidak mengetahui atau tidak dapat mengontrol apa yang dilakukan Facebook terhadap mereka. Kekuasaan dalam bentuk kontrol tersebut dipegang secara bulat oleh Facebook, sedangkan pengguna sama sekali tidak punya kekuasaan apapun untuk mengontrol gerak-geraik Facebook terhadap dirinya, misalnya jika ada pemblokiran. Beberapa contoh kasus di bawah ini adalah contoh tentang kekuasaan Panoptik Facebook atas penggunanya.

Kasus Sebuah Nama yang ”Aneh”: Blokir Facebook atas Alicia Istanbul
Facebook mempunyai peraturan yang mengatakan bahwa seseorang yang mendaftar Facebook harus mencantumkan nama asli dan lengkap. Nama yang terlihat tidak asli dan tidak lengkap tidak akan diterima sebagai anggota. Namun seiring berkembangnya Facebook hal tersebut menjadi saedikit problematik. Apalagi setelah sekarang Facebook telah menjangkau hampir ke seluruh wilayah dunia. Nama yang semakin beragam semakin sulit untuk ”didisiplinkan”. Definisi sebagai ”aneh” dan ”lengkap” semakin sulit untuk diputuskan. Salah satu kasus yang cukup heboh adalah kasus nama ”Alicia Istanbul” yangs empat dilansir oleh media massa Amerika.

Alicia Istanbul, begitulah nama yang diberikan oelh kedua orang tuanya. Pada sebuah Rabu pagi hari Alicia mendapati bahwa dia telah terputus dari jaringan Fcebook yang sudah dia gunakan sejak tahu 2007. Ibu rumah tangga ini tidak hanya kehilangan kotak ats 330 teman-temannya, tetapi juga kehilangan lembar-lembar halaman bisnis desain permata yang dia pasarkan diseitar daerahnya di Atlanta.

Meskipun dia sadar bahwa keputusan untuk mengahpus atau tidak dari keanggotaan Facebook berdasarkan nama adalah hak sepenuhnya Facebook tetapi dia menyayangkan mengapa tidak ada konfirmasi lebih dahulu sebelum pemblokiran tersebut.
"They should at least give you a warning, or at least give you the benefit of the doubt," begitulah pernyataan Barry Schnitt, juru bicara Facebook. "I was on it all day. I had built my entire social network around it. That's what Facebook wants you todo."(http://www.sfgate.com/cgibin/article.cgi?f=/c/a/2009/05/25/BUSQ17MUBG.DTL&feed=rss.business)

Penghapusan Alicia tersebut dikarenakan oleh nama “aneh” yang dimilikinya, yaitu Istanbul. Istanbul merupakan nama kota dan terdengar aneh jika digunakan sebagai nama orang. Namun, Alicia membantah bahwa memang nam tersebut adalah nama resminya dari kecil pemberian orang tuanya.

Kasus nama ”aneh” semakin lama semakin tidak dapat dikendalikan oleh Facebook. Di Indonesia misalnya banyak sekali pengguna Facebok yang mengganti nama mereka dengan berbagai macam nama. Namun, kasus ”Istanbul” ini setidaknya memberikan sebuah pelajaran tentang betapa kekuasaan berupa kontrol yang dimilki Facebook sangat besaar sekali, bahkan karena sebuah nama.

Blokir Akun Pengingkar Holocaust
Facebook diberitakan telah memblokir dua akun Pengingkar Holocaust. Sebelum mendapatkan kecaman dan permintaan dari berbagai pihak, Facebook mengijinkan dua akun tersebut untuk menggunakan Facebook. Namun, karena mendapatkan tekanan dari beberapa pihak akhirnya terjadilah pemblokiran tersebut.

Menanggapi berita tersebut pihak Facebook mengatkan bahwa Facebook sebagai situs jejaring sosial hanya akan melakukan intervensi yang berkaitan dengan kasus-kasus yang mengancam kekerasan, isu-isu sensitif rasial dan penyebaran kebencian di kalangan masyarakat.

Isu pemblokira tersebut dimulai ketika Brian Cuban, seoarang pengacara Dallas dan saudara pengusaha bisnis teknologi Mark Cuban, menulis sebuah tulisan diblog yang beriri tentang kritiknya terhadap Facebok yang telah mengijinkan dua akun Pengingkar Holocaust mwnggunakan Facebook.
"Facebook certainly has the right to allow diverse points of view on politically and historically sensitive issues, [but] Facebook also has Terms of Service (TOS) in place that dictates the limitations on such content," demikian tulis Cuban.( http://www.pcmag.com/article2/0,2817,2346610,00.asp)

Pihak Facebook sendiri jga mengtakan bahwa pihaknya kan menyeimbangkan antara tuntutan terhadap toleransi dan sensorship.
"We are sensitive to groups that threaten violence towards people and these groups are taken down," seperti yang diungkapkan oleh juru bicara Facebook. "We also remove groups that express hatred towards individuals and groups that are sponsored by recognized terrorist organizations. We do not, however, take down groups that speak out against countries, political entities, or ideas."

Di Amerika Serikat sendiri, PengingkaR Holocaust bukanlah organisasi illegal. Oleh karena diberi kebebasan oleh Negara untuk berpendapat, mengekpresikan pikirannya dan lain sebagainya. Namun, demikian Cuban berpendapat, di beberapa Negara, Pengingkar Holocaust adalah sebuah tindakan criminal. Cuban menyebutkan beberapa Negara yaitu Austria, Belgia, Czech Republic, Prancis, Jerman, Lithuania, Polandia, Rumania, Israel, Slovakia and Swiss. Karena di beberapa Negara tersebut Pengingkar Holocaust adalah kriminalitas maka Facebook yang juga sudah hadir di Negara-negaratersebut harus memblokir akun pengingkar Holocaust tersebut.
"We have recently begun to block content by IP in countries where that content is illegal, including Nazi-related and Holocaust denial content in certain European countries," juru bicara Facebook menyampaikan. "The groups in question have been blocked in the appropriate countries."
Isu mengenai penghapusan akun Pengingkar Holocaust dapat menjadi suatu p[intu masuk bagi melihat hubungan antara Facebook dan isu-isu sensitive di sebuah Negara atau masyarakat. Misalnya juga terkat semacam isu Homoseksualitas, isu Aborsi, isu nikah Beda Agama, isu Ahmadiyan dalam konteks Indonesia, dan beratus isu-isu sensitive yang dapat kita lokalisir di berbagai negara. Bagiamanakah Facebook menunjukkan keberpihakannya dengan kebijakan-kebijakan (policy) yang diambilnya?

Beberapa pengalaman di lapangan juga menunjukkan bahwa beberapa pengguna Facebook tanpa tahu sebabnya terblokir dari Facebook dengan sebuah peringatan berbunyi “Anda telah melakukan penyebaran kebencian dan isu-isu rasial” dan sebaigainya. Hal ini disinyalir karena pengaduan-pengaduan ke pihak Facebook oleh pihak-pihak tertentu. Motif dari pengaduan tersebut bisa bermacam-macam, bisa karena iseng, serius ingin melaporkan, atau karena ada motif politik dan sebagainya. Yang jelas dari kasus pemblokitan tersebut adalah bagaiaman verifikasi atas kebenaran p[engaduan oleh pengguna Facebook sehingga tidak merugikan pengguna Facebook. Dari titik inilah kita dapat melihat bahwa Facebook tidak hanya megandung harapan akan relasi sosial yang lebih baik, tetapi sekaligus juga mengandung ancaman terkait dengan keberpihakan atas isu-isu sensitif di sebuah neghara yang menggubakannya.

Oleh karena itu, kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan dari kasus tersebut tentang netralitas Facebook. Apakah Facebook merupakan sesuatu yang netral? Kalau kita mengikuti kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu yang netral, maka Facebook oleh karenanya juga bukanlah sesuatu yang netral atau dengan kata lain dia merupakan sesuatu yang mengandung ideologi di dalamya.

Melampaui Panoptikon

Dengan beberapa contoh di atas dan dengan kesadaran akan keterbatasan data, penulis sampai pada kesimpulan sementara bahwa Facebook tidak hanya mengandung unsur Panoptikon di dalam dirinya melainkan ia telah melampaui Panoptikon. Kenapa? Karena dua unsur utama dalam "penjara" Panoptikon Facebook, yaitu Facebook(owner) sebagai penajga dan pengguna (user) sebagai tawanan sama-sama tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri alias kehilangan kuasa untuk mengontrol kesadarannya sendiri meskipun tidak berarti pengawasan hialng sama sekali.

Di dalam penjara Panoptikon Foucault, penjaga benar-benar bisa mengontrol tawanan. Namun, yang terjadi di dalam Facebook adalah penjaga (staf Facebook) tidak benar-benar bisa menguasai tawanan, misalnya dalam kasus penggantian nama Asli yang semakin sulit dikontrol seiring berkembangnya Facebook ke seantero dunia. Di pihak tawanan juga begitu. Tawanan (pengguna Facebook) seperti kehilangan kesadaran sama sekali bahwa dirinya sedang diawasi. Kesadaran tentang adanya pengawasan (kontrol) Facebook hampir tidak ada. Berbeda dengan tawanan dalam penjara Panoptikon Foucault yang meskipun tidak dapat melihat siapa yang mengawasi tetapi ia sadar ada sesuatu (seseorang) yang mengawasi dirinya.

Ia sadar ada sebuah "kekuasaan tak terlihat" yang dapat "mencabut" dirinya dari dunia perFacebookan kapanpun kekuasaan itu mau. Seperti Alicia Istanbul, tanpa ampunan, pemberitahuan dan permohonan penundaan pencabutan. he he....


*Pegiat Komunitas Embun Pagi Semarang
Gambar diambil dari http://lonewolflibrarian.files.wordpress.com/2009/05/facebook.jpg

Senin, Juni 01, 2009


Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita

Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita

Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita

Oleh : Awaludin Marwan, SH


Judul ini di inspirasi dari satu kalimat yang cukup intuitif dalam buku Panca Sila yang di tulis oleh Prof Sudiman. Pokok-pokok pikiran yang di bahas dalam esai beliau cukup komprehensensif dan dialektis dalam membaca Pancasila secara tekstual maupun kontekstual. Maka dengan esai singkat ini, penulis hendak mengurai kembali sari-sari pemikiran Prof Sudiman dan mengkorelasikan dengan pemahaman penulis terhadap subtansi yang di diskursuskan oleh beliau.


Dari Keraguan ke Pendekatan Holistis

Banyak yang meragukan bangunan teoritis Pancasila. Bahkan kredo, bahwa pancasila semacam ideologi “gado-gado” yang tak jelas orientasi dan dasarnya, telah di jadikan opini kuat yang terseret arus reformasi. Uforia reformasi tak hanya berdampak positif pada perkembangan demokratisasi, hak asasi manusia, dan desentralisasi. Tetapi memiliki aspek negativa, di mana nilai-nilai globalisasi dan kosmopolitanisme terbawa tanpa saringan yang memadai untuk di konsumsi khalayak masyarakat Indonesia.

Pada persoalan, kegamangan Pancasila secara epistemologi, di ketahui bahwa berbagai macam ideologi bangsa-negara di ketengahkan pandangan yang memiliki naskah akademik. Naskah akademik yang di tulis secara serius oleh filsof-filsof yang berpengaruh. Umpamanya, paham sosialisme-komunis yang di konstruksikan secara ilmiah oleh Das Capital-nya si-Jenius Karl Marx. Kemudian kapitalis klasik yang disuarakan oleh filsof moral The Weath of Nation-nya Adam Smith. Terakhir, liberalisme dikemukakan melalui Essay Concerning Human Understansding. Sedangkan Pancasila, lahir dari rahim siapa? Soekarno-kah yang bersamaan dengan penerimaan doctor honoris causa dari UGM menolak disebut pembuat Pancasila. Lalu, bangunan teoritisnya, dari buku apa saja?

Inilah kenapa, Pancasila kemudian banyak kritik. Sila pertama ketuhanan di pandang menyerupai ideologi teokrasi, mirip dengan sistem abad pertengahan di dunia barat, saat raja-gereja menjadi satu, ataupun sistem khilafah di Timur Tengah, di mana para sahabat menjadi pemerintah sekaligus badan peradilan. Sila kemanusiaan Pancasilan mencerminkan bahasa dari paham liberalisme, yang mengagung-agungkan hak asasi manusia individual ketimbang hak kolektif. Terakhir, kritik pedas pada sila terahir, keadilan sosial yang mirip konsepsi Marxisme-Leninisme yang hendak menghancurkan antagonisme kelas. Melihat semuanya, ingin di sama-ratakan.

Kritik pedas ini, telah terjawab sudah oleh Prof Sudiman. Bahwa Pancasila bukanlah, sebuah paham asal-asalan, melainkan paham yang sudah lama terpendam dalam sanubari dan akar kultur masyarakat indonesia sejak 350 tahun lamanya. Pancasila adalah ”sistem filsafat”. Pancasila memiliki metode holistik, komprehensif, intregal, dan sistemik. Bukannya, filsafat berisikan nilai-nilai universal yang terdapat dari Sabang hingga Merouke saja, melainkan memiliki basis epistemik yang bisa di perdebatkan. Pancasila merupakan kristalisasi Indonesia. Pancasila memandang Indonesia secara luas, dalam, filosofis, dan menyeluruh. Singkat kata, Pancasila memandang Indonesia secara keseluruhan, bahkan memandang kepentingan dunia internasional sekaligus.

Metode holistis yang di gunakan Pancasilan ternyata sejalan dengan perkembangan sains modern. Di mana pendekatan keilmuan yang dipakai di dalam sains pascamodern telah mengalami banyak perubahan. Diferensiasi tekno-sains yang telah terfragmentasi begitu banyaknya luluh lantah dewasa ini. Pendekatan holistis, yang mengedepankan penyelidikan interdisipliner dalam menanggulangi permasalahan kehidupan manusia telah berlangsung lama. Persoalan kehidupan manusia tidak bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja, melainkan dari berbagai ilmu yang terpadu, eksakuantitaif-sosiologis, filosofis, dan teknologis. Sebagaimana yang dimaksud dengan kesatuan pengetahuan (the unity of knowledge) oleh Wilson.1 Ataupun pendekatan holistik dan sistemik yang diungkapkan oleh Fritjof Capra.2

Pancasila menyediakan pendekatan keilmuan melampui modern dan positivisme. Bahkan boleh di katakan, pendekatan holitis lebih dulu terkandung oleh Pancasila ketimbang di kampanyekan oleh ilmuwan sains terbaru saat ini. Kita patut bersyukur, bahwa kita sebenarnya memiliki paham kerangka epistemologi (pancasila) yang melampaui modern dan positivisme itu.

Kita tak perlu meragukan unsur holistisisme di dalam Pancasila. Meskipun demikian, dalam tulisan ini hal ini perlu dibuktikan melalui hasil penyelidikan nalar. Pertama, Pancasila di konstruksikan oleh Bung Karno, dimana ia merupakan menggagas keseluruhan sila yang di kontekstualisasikan dari keindonesiaan. Tidak berjuang secara parsial, misalnya Ki Hajar Dewantara yang mengkonsepsikan tipikal pendidikan nasional Indonesia saja, meskipun kita harus mengakui perjuangan Ki Hajar Dewantara begitu besar untuk Indonesia. Walaupun secara proporsional kita bisa mengatakan bahwa pergerakan beliau hanya sebatas di wilayah pendidikan.

Tetapi, Pancasila. Melepaskan sekat-sekat perjuangan, ras, agama, disiplin ilmu, hingga menuju Bhineka tunggal Ika-nya. Menuju ke kekesatuan yang utuh. Pancasila sebagai paham yang tak termakan oleh zaman, melainkan ia selalu hadir sebagai perspektif kontemporer yang cocok bagi bangsa Indonesia.

Pada akhirnya, semuanya itu dapat kita sadari bahwa, ketidak-sudian warga negara Indonesia menggunakan paham Pancasila di karenakan dua hal besar. Pertama, ketidak-pahaman konsepsi pancasila secara subtansional. Dan, kedua, stigmatisasi Pancasila yang dulu cenderung di gunakan oleh rejim Orde Baru untuk memberikan legitimasi politis pada pertahanan status quo-nya. Sehingga semenjak reformasi bergulir, P4 (pedoman, penghayatan, pengamalan pancasila) di duga produk orde baru di hapuskan. Bahkan sekarang mata pelajaran Pancasila pun di hapus dari dunia sains pendidikan nasional.

Selanjutnya, bagaimana dengan orang yang masih tetap bersikukuh pada padangan bahwa Pancasila merupakan ideologi ”gado-gado” itu?. Prof Sudiman, mengandaikan ini sebagai kesalahan ”cara melihat” saja. Beliau salut dengan Prof Mr Cornelis van Vollenhoven—lepas dari ketidak-senangan kita pada kolonialisme Belanda—, merupakan salah satu pemikir yang dapat membaca hukum Indonesia melalui perspektif Indonesia. Hukum adat yang di tulis van Vollenhoven cukup bercorak keindonesiaan. Beliau tidak memandang Hukum Indonesia dengan cara pandang barat.

Begitulah kira-kira yang terjadi dengan Pancasila. Jangan lagi melihat Pancasila dalam perspektif barat. Tentang relasi ideologis dengan metarialisme historis, imperialisme, antagonisme kelas Marx, atau laizzes faire, invisible hand, pasar bebas Smith. Tapi bagaimana memahami Pancasila dalam perpektif ke-Indonesiaan. Sehingga, yang satu ini penulis yakini, mampu melihat Pancasila dengan kacamata cukup jernih.


Kesadaran

Pemikiran Pancasila tak sebatas yang tertulis dalam teks tanpa makna. Tetapi Pancasila jelas lima pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pernah menjadi sebuah perdebatan yang menarik, khususnya yang di motori oleh Prof. Driyarkara yang memandang belum tepatnya jika Pancasila itu masuk ke ranah filsafat. Masih perlu falsifikasi, verifikasi, dan apalah namanya, yang intinya adalah skema pendukung Pancasila sebagai sebuah filsafat. Pancasila lebih tepatnya, sebagai jiwa bangsa.

Tetapi penulis di sini ingin menekankan sebuah hal, yakni: Pancasila melampaui filsafat yang selama ini di dominasi oleh pemikiran barat. Pemikiran barat yang terlalu mempercayai rasionalitas. Rasionalitas di anggap sebagai senjata ampuh untuk menyiram api mitos. Meskipun demikian, sebaliknya, keyakinan pada rasionalitas yang berlebih-lebihan merupakan justru menciptakan mitos baru. Seolah-olah semuanya dapat diselesaikan dengan akal budi manusia yang terbatas kapasitanya.

Pemikiran barat yang mengedepankan rasionalitas, melembagakan budaya berpikir logosentrisme. Paham yang mementingkan unsur logis saja. Tipikal pemikiran seperti ini pada umumnya identik dengan pola berpikir para filsof modern. Filsof modern yang di mulai semenjak renaissance, mengunggul-unggulkan rasionalitas di atas segala-galanya. Entah itu aliran pemikiran rasionalisme Prancis—Rene Descates, Spninoza, Pascal, dst,— maupun empirisme Inggris — Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Berkeley. Hingga pencerahan (aufklarung) di Jerman yang menciptakan aliran besar filsafat idealisme Immanuel Kant, Hegel, Ficthe, Scelling. Semuanya itu lebih mengedepankan rasionalitas.

Namun, pada akhirnya pemikiran modern pun banyak di gugat oleh rumpun pemikiran post-modern. Logosentrisme di nilai gagal menjalankan misinya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan manusia yang sesuai dengan kebutuhan manusia-nya. Tekno-sains berkembang berdasarkan disensus bukan konsensus yang menitik beratkan pada post-humanisme. Ilmu pengetahuan telah kehilangan kepercayaannya (delegitimasi).

Aliran pemikiran kontemporer, post-modern dan post-strukturalis menolak sebuah narasi besar. Menolak sebuah hal yang universal. Termasuk penggunaan rasionalitas yang berlebih-lebihan yang ditentang keras oleh tradisi pemikiran Post-modern. Banyak orang menilai, bahwa pemikiran post-modern bukanlah semacam kerangka epitemologi baru yang memiliki metodologi yang dapat digunakan secara praksis. Tujuan post-modern itu adalah membidik kesadaran manusia. Hingga rumpun pemikiran ini juga disebut, modern yang sadar diri, atau ultramodernisme, atau hipermodernisme.

Pemikiran barat telah banyak mengalami pergeseran. Orang yang semula belajar mengasah otaknya dengan filsafat dan tekno-sains, tidak hanya di tuntut untuk menguasai ilmunya, melainkan di pinta untuk memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan keilmuannya. Keilmuannya yang bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan.

Di era modern, orang belajar fisafat, tetapi tidak menjalankan atau mengamalkan apa yang dipelajarinya. Bahkan tidak memiliki kesadaran dalam mempelajarinya. Tetapi, kembali ke konsepsi pemikiran Pancasila, melampui tradisi pemikiran modern dan post-modern. Yakni menyakini bahwa Pancasila itu bukanlah otak-atik nalar semata, melainkan juga panduan hidup yang perlu di amalkan dan di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Singkat kata, Pancasila melampaui rasio yang diunggulkan oleh pemikiran modern, kesadaran oleh pemikiran post-modern, melainkan sampai pada tahap bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan nyata. Pancasila tidak hanya untuk dipikirkan, tidak pula di sadari, tetapi juga telah tercermin dalam perilaku dan interaksi sosial masyarakat Indonesia.

Sebagaimana tradisi pemikiran timur, yang tidak hanya mengedapankan rasio, tetapi juga menekankan rasio yang diskursif dan perasaan yang intuitif. Harus ada kesejajaran antara apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan dengan apa yang dikejarkan. Itulah timur!.

Peradaban timur telah menghasilkan kekayaan yang cukup bermakna bagi kehidupan manusia dunia. Peradaban yang sarat pemikiran filsafat timur memiliki gayanya sendiri. Beck menunjukan kebutuhan falsafati timur yang dapat diukur dengan : pengetahuan tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good) dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good). Ataupun Blanshard yang menilai bahwa filsafat timur sebagai kebijaksanaan yang di dasari oleh perasaan (feelings) dan keinginan/ nafsu/ birahi (desires) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu di dasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.3


Kolektivisme versus Individualisme

Pancasila sebagai bukti perlawanan kuatnya pengaruh pemikiran barat terhadap eksistensi paham-paham negara-bangsa di seantero jagad ini. Tetapi perlu di tekankan, bersamaan dengan optik Prof Sudiman, bahwa pemikiran barat bersifat individualisme. Seolah-olah, mengedepankan ”aku”, eksistensi manusia mendahului esensinya, orang lain neraka.

Sehingga prinsip-prinsip kesenangan dunia barat di motori oleh hakekat liberalisme, di mana campur tangan pemerintah sudah ditekan serendah mungkin, kepentingan pribadi di atas segala-galanya.

Tetapi Pancasila di gali dengan ”perbedaan dalam kesatuan”. Prinsip kekeluargaan menjadi prioritas. Keluarga, merupakan institusi yang di cari oleh sebagian besar manusia Indonesia, sebagai sebuah institusi yang membahagiakan, menenangkan batin, suka saat bersama-sama, meskipun dalam berbagai perbedaan yang ada.

Seperti halnya tradisi bangsa Jepang dalam berhukum dan berdemokrasi. Akar kultur kebudayaan memang tak bisa dipisahkan oleh hukum, jika hukum itu menginginkan keadilan bagi masyarakat lokalitas di mana hukum itu hidup, maka bermanfaat dan efektiflah hukum tersebut. Sebagaimana Jepang yang kita bisa melihatnya sebagai sebuah negara yang memiliki daya kekuatan sendiri atas landasan tradisi yang dipegang teguh. Jepang mengidentifikasi dirinya dan membangun kehidupan yang tak menyatu dengan tradisi, kebudayaan, dan peradabannya.

Jepang memegang teguh nilai kolektivisme, bukan individualisme yang berasal dari mulut liberalisme-kapitalisme. Tradisi Jepang tak mengenal ”aku”, yang ada bagi mereka adalah uchi (my house) orang-orang yang tinggal satu rumah, otaku (your house) rumah-rumah tetangga sekitar, dan kaisha (symbolizes the expression of group consciousness) simbol kesadaran kolektif komunitas.4 Sehingga urusan yang ada bukanlah kepetingan diri sendiri, melainkan kepentingan orang rumah, tetangga, dan kesadaran bersama komunitas.

Sehingga dengan kuatnya tradisi ini Jepang tumbuh menjadi negara yang memiliki indentitas. Ia memiliki intregasi sosial komunitas masyarakat, sehingga pembangunan pun di jalankan dengan modal sosial ini. Kepedulian masyarakat Jepang antara satu dengan yang lain, terutama orang rumah, tetangga, dan komunitasnya begitu besar, sehingga menciptakan emotional partisipation, partisipasi emosional yang mengikat antarindividu. Sehingga suasana kekeluargaan, gotong royong, toleransi, dst-nya menjadi karakteristik masyarakat Jepang. A group formed on basis of exclusiveness, based on this homogenety, even without recourse to any form of law.5 Nalar dan rasa komunitas menyatu dengan pribadi manusia Jepang. Inilah yang menarik dari Jepang yang mungkin sulit ditiru Indonesia, umpanya dengan Jepang yang memiliki masyarakat homogen dan ada institusi yang menjaga kultur dan tradisi mereka berupa kekaisaran-kerajaan yang masih eksis dan autoritatif.

Yang menarik berikutnya dari Jepang adalah tradisi yang eksis tak tergerus desakan kapitalisme-liberalisme-globalisasi. Di tengah masyarakat dunia yang diterpa sistem sekular, memisahkan urusan budaya dan agama, Jepang malah sebaliknya. Iklim religi dan kebudayaan Jepang tetap dilestarikan bahkan di jadikan dasar kemana arah Jepang berjalan.6 Amerika sebagai negara sekular yang menjadi cermin bagi wujud negara yang di inginkan kapitalisme-liberalisme telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang paling mampu menjawab tuntutan globalisasi. Namun Jepang juga mampu memenuhi tuntutan globalisasi tanpa harus menjadi negara kapitalistik-liberalistik. Jepang terseret arus globalisasi tanpa tenggelam di dalamnya. Sehingga dalam setiap aktivitas di berbagai bidang, khususnya politik dan demokrasi ia tetap mendahulukan tradisi dan akar kultur kebudayaannya.


1 Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.

2 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture. HaperCollins Publiser. London. Metode berpikir modern yang sebenarnya menghancurkan tradisi telah menjadi tradisi itu sendiri. Tradisi berpikir Newtonian dan Cartesian telah merambah hingga ke titik kecil denyut nadi perkmbangan sains modern dewasa ini. Hingga pada akhirnya Capra menemukan metode holistik dan sistemik, memandang semua yang ada sebagai sebuah jejaring yang tak terpisahkan satu sama lain.

3 Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra. Yogjakarta. Hal. 28

4 Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai. p. 173

5 Ibid., p. 177

6 Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage Publications. London. P. 85-87