online degree programs

Kamis, Agustus 27, 2009

Hukum Progresif Deliberatif


Sebuah judul yang sebenarnya menandakan tema besar untuk dikaji. Namun, di dalam tulisan ini hanya ingin membuka cerita tentang dua narasi, yakni: progresif dan deliberatif.

Saya harus jujur mengakui, tulisan ini banyak dipengaruhi oleh dua pemikir besar bangsa ini: Prof Satjipto Rahardjo dan pemikir generasi terakhir Mahzab Frankfut Jürgen Habermas. Dua pemikir besar ini memang tidak bisa dibandingkan, karena dua-duanya memiliki intensitas konsentrasi yang berbeda. Tetapi keduanya memiliki pertautan yang signifikan.

Satjipto memecah kebuntuan pemikiran hukum yang mekanistik dan metodis. Sehingga posisi modernitas hukum yang mapan ini menjadikan produksi mitos yang singular. Ia diterima apa adanya, tanpa dekonstruksionis atau semacam usaha kritis padanya. Modernitas hukum telah membangun sebuah narasi besar yang homogen. Fiksi-fiksi tradisionalis yang berbasis pada kearifan lokal, adat-istiadat, rasa keadilan parsial, dan phenomenon klasik ditinggalkan begitu sadis oleh masyarakat dengan hukum modern.

Meskipun Satjipto tidak banyak mengira, bahwa fiksi-fiksi tersebut sifatnya produktif. Memiliki kontingensi untuk menghegemoni praktek universalitas peradaban dan pengetahuan. Dan menenggelamkan narasi besar. Fiksi yang terlupakan, suatu saat menjadi simbol neokolonialisme yang memproduksi objektivikasi dan normalisasi baru.

Timbul-tenggelamnya peradaban dunia tak lepas dari pertarungan fiksi yang luput dari perhatian Satjipto. Para kreator di era modernitas ini justru melakukan produksi budaya massa dengan fiksinya yang lebih mistis dan irasioalis. Tetapi lebih merepresentasikan hasrat dan libidinal masyarakat. Lihat saja, Lara Croft, World Disney, McDonald, dst.

Kendatipun demikian, Satjipto merupakan seorang ilmuwan hukum yang jenius dan kritis. Hukum progresif, salah satu produk intelektualnya yang tak boleh dipandang remeh—meskipun hukum progresif memiliki kekosongan generasi atau lebih tepatnya jatuh pada tangan orang-orang yang salah—, merupakan dekonstruksionis atas metanarasi positivisme dunia hukum.

Sehingga proyek hukum progresif hendaknya terus didialektikakan oleh beragam konsepsi filosofis, sebagai narasi yang tak boleh berhenti, melainkan harus menjadi cerita yang terus bersambung, menuju kebenaran intertekstualitas. Berlari-lari dari satu teks ke teks yang lain tak berkesudahan. Dalam rangka pelarian inilah, diskursus tentang hukum progresif dipersambungkan dengan wacana deliberatif a la Habermas.

Sebagai pewaris teori kritis Habermas tak luput dari pergeseran pemikiran sekaligus penguatan konsistensi dalam pemikirannya. Filsafat kesadaran (Bewuβtseinphilophie) yang dikemukakan oleh Habermas, yang berbasis pada eksistensi subjek, sehingga pengetahuan pun mungkin (possible) menjadi ilmu pengetahuan, ke-tidakmungkin-nan dominasi ilmu pengetahuan semula hanya dimiliki oleh cara saintifik yang memiliki ukuran tertentu yang kaku.

Perlakuan subjek dan pengetahuannya di atas ini telah ditampik oleh Habermas sendiri, dengan rasio dan tindakan proseduralis. Rasio praktis yang direka-reka sebagai produk rasio akal budi murni manusia yang bersifat apriori tidak bisa lagi dipertahankan sampai di sana saja. Rasio itu harus diikuti dengan tindakan komunikatif, yang melampaui perilaku strategis pada ruang publik. Sehingga etika diskursus, pola komunikasi yang bertujuan untuk tranformasi gagasan secara emansipatoris menuju ke-saling pengertian intersubjektif harus dioperasikan pada masyarakat dewasa ini.

Dari sinilah nampak sebuah benang merah yang menarik dua pemikiran yang berkelindan. Satjipto yang mengkonstatasikan hukum tidak berhenti pada bentuk modernitas yang formalis. Dan Habermas yang tidak ingin berhenti pada pelandasan rasio praktis pada ilmu-ilmu alam yang patut diberikan sentuhan subjektivitas.

Satjipto menawarkan intervensi ketidak-mungkinan pada bidang ilmu hukum melalui konsep progresif-nya, sementara Habermas menawarkan demokrasi deliberatif yang berbasis pada komunikasi diskursif. Dua pemikir itupun sama-sama sensitif pada ekspansi kapitalis yang berusaha mengobjektivikasi pengetahuan dan sejarah manusia. Satjipto menyatakan watak individualis-liberalis pada konstruksi hukum modern, sementara Habermas sinis pada universalitas pengetahuan yang sebenarnya sarat kepentingan.

Habermas memang memecahkan dilema intelektualisme dunia hukum yang sebelumnya sepi yang hanya dihuni oleh dokrin, dogma, asas, dan mahzab aliran pemikiran hukum yang terkurikulum kaku. Perdebatan di dunia pemikiran hukum tidak banyak berkembang apalagi sampai sepanas di bidang politik, filsafat, dan budaya. Persinggahan Habermas di ranah hukum membuka banyak cerita-cerita yang potensial teraktivasi lagi.

Pembangkitan cerita kecil hasil kegelisahan intelektual para pemberontak pemikiran mapan di dunia hukum patut didorong dengan wacana-wacana sentral dalam ruang pulik ini. Memang bukan pekerjaan mudah, mengelaborasi dua pandangan progresif dan deliberatif ini. Namun sederhanya, hukum progresif deliberatif ini bertujuan untuk pemikiran hukum tidak berhenti pada titik formal dan legal, tetapi haruslah diikuti dengan formasi diskursif hingga membuka keran-keran diskusi selebar-lebarnya bagi berbagai kemungkinan dalam konstruksi dan operasionalisasi hukum itu sendiri.

Hukum progresif deliberatif adalah pemikiran hukum yang memecah kebuntuan sistemik dalam pemikiran hukum, berusaha membebaskan diri dari keterbelengguan teoritis yang telah bermetamorfosis menjadi mitologi-mitologi yang seharusnya dikritisi. Mengangkat tema-tema diskursif tanpa pretensi hegemoni yang hanya akan menciptakan keseragaman pemahaman sebagai bentuk imperialisme pengetahuan.

Hukum progresif deliberatif adalah gagasan di dunia hukum yang mencoba menarik diri dari dominasi kekuatan kapital yang berupa nilai-nilai universal yang harus dipatuhi tanpa upaya komunikatif. Mencoba mempertanyakan kekuatan-kekuatan dominan yang biasanya berbentuk individualis, liberalis, objektivis, dan formalis. Mengajak dialog dengan kekuatan-kekuatan minoritas, marjinal, kecil, dan yang tersisihkan.

Hukum progresif deliberatif adalah pola proseduralis yang memanusiakan manusia. Komunikasi emansipatoris yang mengandaikan ketiadaan ploretariat. Menuju sebuah kehidupan sosio-politik yang lebih baik tanpa intervensi, paksaan, dan tekanan dari pihak manapun.

Dengan demikian, berbagai tema sentral yang nampak secara metafisis dapat dimungkinkan dengan hukum progresif deliberatif. Sebab hukum yang pasang-surut di bawah bayang-bayang ”keadilan” itu terkadang sulit diselesaikan. Formasi diskursif tentang ”keadilan” akan mungkin, dengan paradigma hukum progresif deliberatif, hukum yang untuk manusia dan komunikatif sifatnya.

Tetaplah, hukum progresif delibearatif akan mengandung implikasi sebagai konsekuansi logis yang harus dijalankannya. Pertama, legitimitas hukum yang komunikatif. Persoalan hukum acapkali berkutat dalam soal legitimasi, keabsahan, kesahihan, fakta hukum, dst. Budihardiman (2009) menafsirkan pola dikursus di bidang institusionalisasi yang tidak hanya sebatas diskursus pendasaran. Tetapi juga disusul dengan diskursus pragmatis dan diskursus penerapan. Hukum dimengerti sebagai hasil deliberasi, argumantasi implementatif program kolektif, dan artikulasi konflik.

Hukum tidak berhenti hanya sebatas pelegalan akhir bentuk yuridisnya. Hukum sudah seharusnya terus-menerus dikomunikasikan, diperdebatkan, dan diperbincangkan. Obrolan tidak hanya dibuka saat hukum itu hendak dibuat. Sehingga program legislasi itu tidak sebatas mendengar opini publik, melainkan mengajak publik untuk berdiskusi menentukan bentuk dan formula hukum yang dipilihnya. Dan, memberikan masukan, kritik, saran pada institusi hukum yang sudah diundang-undangkan secara terbuka. Tidak ada pemaksaan, anarkisme, dan intervensi yang mempengaruhi pendapat dan pengkaburan pengetahuan khalayak di dalam ruang diskusi.

Memang, cukup ideal dan menjanjikan. Tetapi mungkin tidak cukup realistis, jika dibenturkan dengan konteks kondisi Indonesia saat ini. Benturan teknis yang berupa diferensiasi tingkat intelektualisme dan pendidikan yang antagonis sebagai problem akut di dalam palaksanaan gagasan ini. Jerman, sebagai negara yang melahirkan gagasan demokrasi deliberatif mengandaikan masyarakat yang sudah mapan, berpendidikan, memiliki intelektualisme yang mudah dikomunikasikan. Berbeda jauh dengan nusantara ini, yang musti membangun sumber daya dulu. Dan tahap-demi-setahap, saya yakin dapat dilalui. Bukannya kita dulu sudah melaksanakan demokrasi a la ”musyarawah” sebagai replikasi demokrasi deliberatif yang mungkin bisa ditingkatkan kualitasnya.

Kedua, hukum tanpa ruang. Pengandaian pola pembagian atau pemisahan kekuasaan administrasi banyak kita jumpai dalam teori politik atau teori negara modern. Meskipun Habermas dan Satjipto juga berpijak pada pola ini, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Gagasan yang ditengarai oleh John Locke atau Montisquieu ini tetap saja dibuat terbuka dengan berbagai ide alternatif. Habermas dan Satjipto tak ingin melepaskan ketiga imperium kekuasaan itu, tetapi juga tak ingin terjebak buta di dalamnya. Dengan usaha melampaui batas-batas institusional, dan menggelandang ke ruang publik yang lebih luas. Dimungkinkan kinerja kekuasaan institusional tersebut lebih demokratis dan posbirokratik yang berorientasi pada tujuan.

Pembukaan tirai-tirai besi kelembagaan kepada ruang publik yang lebih luas untuk formasi diskursif sangatlah dkehendaki dalam hal ini. Kontribusi teori sistem Nihklas Luhmann cukup menggambarkan bahwa publik sosial tidaklah terdiri dari metanarasi bak sistem organ vital mahluk hidup, melainkan organisme yang hidupnya merekonstruksi dirinya sendiri. Sistem autopoeisis inilah menandakan tipikal masyarakat dalam varian ruang publik yang tak terbatas dan tak terbilang. Ia luas, beragam, plural, heterogen, terkotak-kotak, hidup sendiri-sendiri, segmentatif, tetapi masih memiliki potensi diskursif praktis guna membangun kebersamaan.

Terakhir, ketiga, kekosongan subjek. Modern, sebuah proyek yang belum tuntas. Tapi penuntasannya tidak boleh dengan paksaan dan ekspasivitas yang buta. Berbekal filsafat politik Rousseaou dan filsafat pengetahuan Immanuel Kant, Habermas mengidentifikasi kehendak umum yang terejawantahkan menjadi tubuh politik dengan formasi diskursif praktis. Apapun bentuk tubuh politik itu, haruslah memiliki landasan kehendak umum. Jika tidak, maka totalitarianisme yang akan melanda sebuah negara. Tubuh politik inilah yang mengandaikan pengosongan subjek. Sehingga tidak ada relasi pemimpin dan yang dipimpinnya, sebab rakyatlah yang memimpin dirinya sendiri. Hal yang senada diambil oleh Satjipto Rahardjo, yakni dengan pernyataan permasalahan hukum bukanlah dalam aparat penegak hukum, melainkan perilaku manusianya. Nampak paradoks, satu sisi eksistensi kuasa subjek eksis dan sisi lain adalah subjek yang kehilangan. Tetapi, pengandaian perilaku manusia ini justru juga menegasikan subjek, bahwa kemudian Satjipto percaya bahwa perilaku baik mungkin bisa mengkonstruksikan hukum yang baik. Perilaku yang baik sebuah utopia dan potensi universalitas.



Awaludin Marwan, SH

Kaum Tjip-ian

Jumat, Agustus 07, 2009

aku rindu padamu

: mengenang mas Willy

duh kanjeng nabi,
bagaimana bisa kutatap cahaya wajahmu
jika menatap wajahnya hatiku sudah gentar, air mata meminta muncrat

duh kanjeng nabi,
demikianlah tiba-tiba aku teringat padamu
sore tadi saat kupanggul tubuhnya menuju cinta

duh kanjeng nabi,
rinduku padanya teramat panjang
rinduku padamu tak putus-putus

duh kanjeng nabi,
betapa cahayanya hanya seciprat cahayamu


depok, tujuh juli dua ribu sembilan

muhammad taufiqurrohman

Selasa, Agustus 04, 2009

Soft Power itu Berwujud Manga



Oleh Chabib Duta Hapsoro


Sejak tahun 1990-an komik Jepang atau yang biasa dikenal dengan sebutan manga masuk ke Indonesia. Judul-judul komik seperti Doraemon, Kungfu Boy, Akira mulai mendapat tempat. Serbuan manga juga dibarengi oleh penayangan film kartunnya di televisi swasta. Doraemon adalah film kartun Jepang pertama yang tayang di Indonesia. Doraemon pun mencatat prestasi yang mengagumkan. Waktu tayangnya pada hari Minggu jam 8 pagi tak pernah diusik-usik oleh stasiun penayangnya, RCTI sampai sekarang. Hal ini membuktikan bahwa Doraemon senantiasa disukai banyak orang bukan cuma anak-anak dan kontekstual dengan perkembangan zaman. Doraemon tercatat sebagai film kartun paling awet tayang di televisi yaitu lebih dari 18 tahun.

Sampai sekarang manga memang menyandu para pembaca komik Indonesia. Sebut saja judul-judul seperti One Piece, Naruto, Bleach dan Death Note menjadi best seller komik setiap bulannya saat ini. Tahun 2004 ada sekitar 70 judul komik dari Jepang diterjemahkan setiap bulan. Saat ini sekitar 90 persen komik terjemahan yang beredar di Indonesia berasal dari sana. Tema-tema cerita manga hampir tak terbatas mulai dari superhero, olahraga, cerita cinta remaja, hingga yang berbau pornografi. Dari popularitas manga itu muncul turunan-turunan produk budaya lain yang juga digemari anak-anak dan remaja. Seperti Doraemon, komik-komik Jepang yang sukses di Indonesia besar kemungkinan akan ditayangkan film kartunnya yang disebut anime.

Dari manga menurun juga ke Costume Player (Cosplay). Cosplay adalah sebutan untuk orang-orang yang gemar mengenakan kostum karakter manga. Komunitas cosplay tersebar di banyak tempat di Indonesia. Gaya pakaian ini merembes ke gaya pakaian sehari-hari. Biasa disebut Harajuku. Harajuku adalah sebuah kawasan di Tokyo di mana anak-anak mudanya gemar mengenakan pakaian-pakaian yang mirip dipakai oleh tokoh-tokoh manga. Lihat saja Maia Estiyanti, Mulan Jameela, Agnes Monica yang doyan mengaplikasi gaya ini sebagai ciri mereka.

Melalui anime anak-anak muda mulai mengenal musik Jepang yang menjadi soundtrack-nya. Musik-musik Jepang ini juga disukai anak-anak muda kendati masih terbatas pasarnya seperti musik dalam negeri dan barat. Dari anime kita mengenal biduan Jepang seperti Ayumi Hamasaki. Atau grup band macam L'Arc-en-Ciel dan Asian Kung-Fu Generation yang kerap mengisi soundtrack anime yang tayang di Indonesia.



Manga di Amerika

Tak cuma di Indonesia, manga juga menjadi perhatian di Amerika yang notabene memiliki tradisi komik yang kuat. Tokoh manga seperti Atom Boy, Pokemon dan Sailormoon mampu bersaing dengan Spiderman, Batman dan Superman. Publik Amerika telah lama mengenal produk budaya pop impor Jepang seperti film monster Godzilla di tahun 1950an, serial kartun TV Speed Racer di tahun 1960an, videogame seperti Pac-Man dan Space Invaders di tahun 1970an. Kemudian mainan Voltron dan Transformers di 1980an. Lalu, Super Sentai di tahun 90an. Dari beberapa produk tersebut bahkan ada yang “dibajak” menjadi produk budaya Amerika sendiri seperti Godzilla, Speed Racer, Transformers dan Mighty Morphin Power Rangers.

Menilik sejarahnya, manga mulai populer di Jepang di tahun 1940an. Kala itu setelah Perang Dunia II, perkembangan televisi sangat lambat di Jepang. Dan manga menjadi hiburan paling populer di sana. Osamu Tezuka, pencipta Tetsuwan Atom (Atom Boy) menjadi tokoh sentral dalam kepopuleran manga dengan memberikan cerita yang dinamis dan gaya gambar yang terpengaruh oleh tokoh-tokoh Walt Disney. Sejak saat itu, orang-orang asing yang tinggal di Jepang terkesima dengan kombinasi kultur antara kultur manga dan kultur baca di Jepang yang kuat. Jamak ditemukan orang-orang dewasa tenggelam membaca manga yang seharusnya menjadi konsumsi anak-anak di tempat-tempat umum seperti kereta api, trotoar dan taman kota.

Cerita manga biasanya ditampilkan berseri di dalam majalah yang biasanya dicetak hitam-putih untuk menghemat biaya. Setelah muncul di majalah, banyak judul-judul manga yang populer dicetak ulang di buku yang bersampul tipis yang disebut Tankobon.

Pada akhir tahun 1980an edisi cetak manga mulai muncul di Amerika tapi nyaris tak terlihat untuk kalangan umum dan hanya muncul di toko buku komik. Blockbuster manga yang pertama di Amerika adalah Lone Wolf and Cub pada tahun 1987 yang terjual 100.000 kopi per bulan. Dan itu bersamaan dengan keluarnya komik Amerika yang berjudul X-Men yang terjual 400.000 kopi per bulan. Mulai saat itu manga bisa bersaing dengan komik Amerika. Muncul berurutan kemudian adalah manga-manga populer seperti Sailormoon, Dragon Ball Z dan Pokemon. Mereka menjadi bagian dari perkembangan budaya pop Amerika seperti menjadi kostum helloween dan menjadi semacam jalan pembuka bagi invasi budaya Jepang lainnya seperti Nintendo, Sega dan Sony Playstation.

Pada awalnya manga dianggap terlalu eksklusif karena kultur Jepang yang sangat mewarnainya dan berciri khusus. Namun mungkin justru karena itu manga banyak disukai. Pertama manga harus dibaca dari kanan ke kiri. Kedua, manga juga memiliki sistem ikonisasi visual yang berbeda seperti mata yang besar, gelembung ingus, mimisan dan tetesan keringat yang besar. Kekhasan lain dari manga adalah adanya arsir garis untuk memberikan efek dramatis dalam menggambarkan perasaan tokoh. Belum lagi kedinamisan mimik muka tokoh-tokohnya. Seorang tokoh awalnya digambarkan gagah, tampan dan serius tapi tiba-tiba karena suatu hal ditampilkan dengan ekspresi yang konyol. Hingga tahun 2006 manga meraup hampir dua pertiga dari total penjualan novel grafis dan komik di Amerika yang mencapai angka 330 juta dollar. Itu juga termasuk manga yang dibuat oleh komikus Amerika, Eropa dan Korea Selatan.


Manga dan Komik Indonesia

Lalu bagaimana komik Indonesia menahan gempuran manga? Untuk diketahui komik Indonesia pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri setidaknya tahun pada tahun 1970an. Tokoh-tokoh seperti Gundala, Godam, Panji Tengkorak mampu bersaing dengan tokoh-tokoh Marvel. Hasmi, Wid NS, Hans Jaladara adalah beberapa komikus terkemuka saat itu. Belum lagi karya-karya seperti Mahabarata, Ramayana bikinan RA Kosasih. Awal tahun 1990an komik Indonesia tenggelam. Praktis nyaris tak ada judul komik dalam artian dalam format buku Indonesia yang muncul pada dekade ini. Paling banter hanya komik-komik strip yang ditampilkan di koran seperti Panji Koming ciptaan Dwi Koendoro BR yang dimuat di Harian Kompas.

Pertengahan 1990an diwarnai dengan munculnya komik indie. Komik indie eksis dengan sistem self create-produce-distribute-promote yang dilakukan sendiri. Beberapa judul seperti Fight Me bikinan Eko Nugroho dan Old Skull ciptaan Athonk. Kendati memperkaya khasanah perkomikan, komik-komik ini memiliki standar estetika yang berbeda. Komik jenis ini biasanya dibuat dengan idealisme tertentu sebagai karya seni bukan sebagai karya populer sehingga sulit dikonsumsi untuk segala umur.

Tahun 2000an ditandai dengan penerbitan kembali beberapa judul komik yang pernah terkenal seperti Si Buta dari Gua Hantu, Gundala Putera Petir dan Godam. Namun prestasi komik-komik ini tak sehebat dulu. Komik-komik ini hanya memiliki pasar terbatas dan besar kemungkinan adalah penggemar-penggemar lamanya yang berusia di atas 30. Wajar saja, generasi muda sekarang memiliki standar nilai yang berbeda. Konteks lokal komik Indonesia dianggap tak keren.

Sebenarnya komikus-komikus Indonesia sudah mulai produktif kembali. Banyak komik-komik Indonesia yang hingga kini sudah diterbitkan. Seperti Lagak Jakarta dan Benny & Mice ciptaan duet Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad. Serta novel grafis Selamat Pagi Urbaz karya Beng Rahadian, Tita’s Palyground karya Dwinita Larasati, Tekyan karya M. Arief Budiman dan Yudhi Sulistya.

Pada masa ini juga ditemukan komik-komik hasil kolaborasi antara cerpenis dan komikus. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan narasi yang lebih baik untuk komik. Antara lain, serial Mat Jagung di Koran Tempo hasil kolaborasi Radhar Panca Dahana sebagai penulis skenario dan Diyan Bijac sebagai ilustrator. Juga komik Sukab Intel Melayu hasil kolaborasi antara Seno Gumira Ajidarma dan Zacky.

Setidaknya ada beberapa sebab mengapa komik Indonesia sangat sulit untuk bangkit. Komik Indonesia kurang bisa berkembang karena kurangnya dukungan dari penerbit. Penerbit dan distributor komik sekarang lebih silau dengan menerbitkan manga atau komik Amerika ketimbang memberi kesempatan kepada komikus-komikus lokal untuk berkembang. Bila ada penerbit yang mau umumnya tidak bertahan lama. Bila tidak laku di pasaran serta merta penerbit langsung menyetop peredarannya.

Di sisi lain komikus-komikus kita memang aktif berkarya tapi dalam artian menjadi “tukang” komik. Mereka tidak memiliki ide cerita sendiri lantaran mendapat pesanan untuk menggambar komik yang sudah dilengkapi dengan ide cerita dan skenarionya. Menurut Donny Anggoro dalam artikelnya yang dipublikasikan di Koran Sinar Harapan, 18 November 2006 ramainya komikus Indonesia menjadi tukang komik dari penerbit luar negeri juga karena upah tenaga kerja yang murah di Indonesia. Namun juga tak bisa dipungkiri jika komik-komik Indonesia memang kurang bermutu dengan narasi dan karakter yang lemah sehingga belum berhasil merebut pasar pembaca lokal.

“Ini mungkin juga karena missing link, tahun 50an hingga 70an komik kita lagi jaya-jayanya tahun 1990an hampir tak ada komik lokal yang terbit. Kekosongan ini diisi manga. Jadi untuk mengembalikan tempat komik lokal susah banget karena yang di kepala anak-anak muda sekarang cuma manga,” Alfa Robbi pendiri Papillon Studio, sebuah komunitas komik di Semarang berpendapat saat diwawancari pada November 2008. Fajar Buana rekan Alfa di Papillon menanggapi fenomena ini dengan optimistis. “Kita jangan merasa terjajah, kita harusnya lebih melihat ini sebagai tantangan. Manga-manga itu kan bisa dijadikan referensi untuk komik kita juga,” tuturnya.

Komik Indonesia sendiri belum diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Di Indonesia komik masih sering dianggap sebagai hasil kebudayaan kelas dua yang kurang bernilai bagi para pembaca. Komik sering menjadi kambing hitam atas jebloknya nilai-nilai mata pelajaran anak-anak di sekolah. Padahal komik juga merupakan produk budaya yang serius. Komik yang bermutu adalah menggabungkan antara narasi yang kuat dan kualitas gambar yang mumpuni. Belum lagi riset untuk membentuk konteks situasi dalam komik. Sebagai contoh adalah komik Tintin karya Herge yang menggabungkan antara riset lintas ilmu sains dan budaya yang mendalam serta alur cerita yang sarat dengan konteks politik. Ini berarti komik juga memperkaya pengetahuan pembaca plus nilai moral yang dibawanya. Manga sendiri sudah dianggap sebagai identitas budaya Jepang. Bahkan perdana menteri Jepang Taro Aso mengaku bahwa ia adalah penggemar manga.

Manga adalah salah satu bukti bagaimana globalisasi selalu menyebabkan sebuah kebingungan. Apakah manga memperkaya khasanah budaya kita atau malah merusaknya?



Bahan Bacaan

1. “Doraemon di Sekitar Kita” Kompas Minggu 27 Juli 2007 hal.17
2. “Manga Conquers America” Wired Magazine edisi November 2007 hal.216
3. Situs www.komikindonesia.com


Tentang Penulis

Mahasiswa di Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang. Pernah mengelola Express dan Kompas Mahasiswa, dua pers mahasiswa di Universitas Negeri Semarang. Saat ini tergabung dalam Divisi Penelitian dan Pengembangan dalam pengkajian senirupa dan budaya massa di Byar Creative Industry.


Tentang Byar Creative Industry

Didirikan di Semarang pada 24 Desember 2006. Sebagai organisasi yang fokus dalam mengembangkan serta mengkaji ilmu seni melalui pendekatan terhadap anak muda. Faktor mendirikan BYAR Creative Industry adalah sebuah reaksi akan lemahnya infrastruktur/ sarana seni di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Dalam kegiatannya organisasi ini mencoba menciptakan fungsi infrastuktur/ sarana alternatif bagi seniman. Diantaranya ruang pamer, perpustakaan, media publikasi, manajemen seni, eksperimen karya, serta pendokumentasian dengan tujuan mampu meningkatkan kemampuan seniman untuk bertahan serta mencari peluang bagi dirinya.

Dengan visinya aktif dalam mengumpulkan data, mengadakan proyek seni, dan membangun jaringan kerja dengan organisasi sejenis guna perkembangan bidang seni. Sedangkan misinya adalah mengkaji ilmu seni untuk membuka lebar kesempatan/ peluang bagi seniman dalam lingkup nasional dan internasional.

Akhir 2006 hingga 2009 telah mengadakan dan mengikuti beberapa kegiatan pameran yang berskala lokal maupun nasional. Seperti KtoK Project, Festival Tanda Kota dan Biennale Jogja IX 2007 Neo-Nation, Hertz Subsonic Sonar.

Gambar: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/bc/Moe-Manga-eye-pic.GIF

Senin, Agustus 03, 2009

Perkembangan Hukum Progresif; Dari Ilmu Pengetahuan Leonardo Menurut Fritjof Capra


Perkembangan terakhir hukum progresif diarahkan oleh Prof Tjip hingga menembus studi biasa ilmu hukum. Ilmu hukum tidak hanya sekadar mempelajari norma-legisme (rule or regulation). Bukan juga hanya sampai pada pembahasan dikotomi hukum dan masyarakat (sosiology of law, sosiology jurisprudence, sosio-legal). Akan tetapi, hukum juga hendaknya sampai pada intervensi ketidak-mungkinan (intervention on the impossibility), hukum menyebar ke segala penjuru (spread to all corners of the discourse), yang terakhir ini disebut oleh Prof Tjip sebagai deep ecology.
Apa dan bagaimana deep ecology itu? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa tranformasi eksistensi manusia yang semula berada pada sentral pengetahuan menuju ke “yang holisme”. Manusia menjadi bagian dari alam, ekosistem, lingkungan yang tak dapat dipisahkan dalam memproduksi kekuatan pengetahuan manusia. Sehingga hukum pun tak sebatas pada ekistensi manusia, melainkan merambah keluar menuju eksistensi alam.
Barangkali, pergeseran pemikiran Prof Tjip ini (mungkin bisa diperdebatkan kata “pergeseran” ini) mempengaruhi diktum “hukum untuk manusia”. Hukum untuk manusia adalah filosofi tertinggi hukum progresif, sehingga ada kalanya refleksi hendaknya dilakukan secara intensif pada diktum tersebut. Ada beberapa kemungkinan tentang “perubahan” diktum. Misalnya kemungkinan yang logis adalah hukum untuk alam, hukum untuk manusia dan alam, hukum untuk keseimbangan manusia dan alam, hukum untuk manusia bagi keutuhan alam, dst.
Pandangan Prog Tjip tentang deep ecology ini bukanlah asumsi spekulatif tanpa dasar. Akan tetapi hasil gorengan beliau terhadap 4 (empat) buku fisikawan dan filsof termasyur Fritjof Capra. The tao of physics, the turning point, the web of life, the hidden connections dikombinasikan oleh Prof Tjip dengan cukup baik, hingga mendistribusikannya dalam terminologi ilmu hukum. Tetapi nampak terdapat kelemahan, jika hanya 4 (empat) karya tersebut yang dijadikan rujukan. Sebab, Capra seorang yang produktif menulis buku-bukunya.Uncommon Wisdom, Green Politics , Belonging to the Universe,EcoManagement, dan Steering Business Toward Sustainability. Dan yang paling terpenting dan terbaru pun ketinggalam, yakni: The Science of Leonardo.
Tulisan ini hendak memberi ulasan akan arti pentingnya buku The Science of Leonardo untuk penguatan teoritis deep ecology hukum progresif. Perlu beratus-ratus halaman untuk mengkombinasikan antara deep ecology dengan pemikiran Capra terbaru itu. Mahlum pemikiran Capra yang relatif masih segar keluar pada tahun 2007-an itu memilih menggunakan perspektif ilmuwan Renaissance, yakni: Leonardo da Vinci.
Berbeda dengan gagasan-gagasan Capra sebelumnya yang memandang sinis ilmuwan barat. Kali ini Capra tak hanya menyatukan antara gaya pemikiran Amerika yang empiris-prakmatis dengan metafisika mistikus timur, tetapi juga metode eksperimen yang juga melanda sebagian ilmuwan barat.
Leonardo merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam dunia sains. Tapi sinarnya tak seterang Newtonian-Cartesian. Yang terakhir ini merupakan raja-raja di dunia sains modern. Tapi Capra memilih Leonardo sebagai sebuah perspektif dan meramu ide besarnya untuk memecahkan problem sains kontemporer. Satu hal yang sebenarnya cukup mengherankan. Di tengah-tengah sinisnya Capra pada ilmuwan barat, ia menggunakan Leonardo sebagai paradigma. Ini menandakan (signified), bahwa Capra ingin “tak hanya memandang orangnya, tetapi apa yang dikatakannya”. Keterbukaan pada semua aliran pemikiran harus dilancarkan dalam rangka memperkokoh paradigma sains secara individual-pribadi seorang ilmuwan.
Sekurang-kurangnya dua hal yang bisa dibicarakan di sini, bagaimana Capra menilai Leonardo. Pertama, pandangan estetika Leonardo yang cukup mempengaruhi cara pandangnya terhadap objek. Pandangan akan arti pentingnya seni dalam kehidupan manunsia, menyadarkan kita bahwa intuisi ini sangatlah penting. Di kalangan seniman, Leonardo mempunyai pengaruh pada karakter kepribadian yang misterius memiliki rasa keindahan dalam lukisan. Sehingga, “rasa” merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan nalar atau rasio. Dalam menikmati lukisan indra manusia semua bekerja menemukan makna berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.
Kedua, Leonardo tak seperti newtonian-cartesian dalam memandang alam dan objeknya. Newtonian-cartesian cederung mekanistis, cogito haruslah di ikuti dengan keragu-raguan dan metode yang absah. Namun, Leonardo adalah seorang ilmuwan yang memandang secara sistemik, holisme dan kompleks. Bahwa pengetahuan didapat dengan penjelajahan pola yang terhubung satu sama lain di berbagai bidang (persistent exploration of patterns, interconnecting phenomena from a vast range of fields). Leonardo memang dikenal sebagai pemikir sistemtik (systemic thinker), pandangan ekologis (ecologist), dan teoritikus yang kompleks (complexity theorist).
Sederhananya, jika dua bacaan simpel atas perrpektif Leonardo a la Capra yang di kaitkan dengan konsep hukum progresif, maka hukum hendaknya menggunakan perangkat intuitif, meluangkan ruang bagi hal mistis, metafisis, estetis, bukan sekadar rasionalis. Hukum juga hendaknya memiliki metode multidisipliner yang berbasis pada holismisitas. Masalah kehidupan berupa problem yang tersambung dari satu dengan yang lain. Jadi perlu menyingkap pertautan problem tersebut untuk mendapatkan pemecahan masalah melalui hukum.





Awaludin Marwan (Luluk)

Perkembangan Hukum Progresif; Dari Ilmu Pengetahuan Leonardo Menurut Fritjof Capra

Perkembangan terakhir hukum progresif diarahkan oleh Prof Tjip hingga menembus studi biasa ilmu hukum. Ilmu hukum tidak hanya sekadar mempelajari norma-legisme (rule or regulation). Bukan juga hanya sampai pada pembahasan dikotomi hukum dan masyarakat (sosiology of law, sosiology jurisprudence, sosio-legal). Akan tetapi, hukum juga hendaknya sampai pada intervensi ketidak-mungkinan (intervention on the impossibility), hukum menyebar ke segala penjuru (spread to all corners of the discourse), yang terakhir ini disebut oleh Prof Tjip sebagai deep ecology.
Apa dan bagaimana deep ecology itu? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa tranformasi eksistensi manusia yang semula berada pada sentral pengetahuan menuju ke “yang holisme”. Manusia menjadi bagian dari alam, ekosistem, lingkungan yang tak dapat dipisahkan dalam memproduksi kekuatan pengetahuan manusia. Sehingga hukum pun tak sebatas pada ekistensi manusia, melainkan merambah keluar menuju eksistensi alam.
Barangkali, pergeseran pemikiran Prof Tjip ini (mungkin bisa diperdebatkan kata “pergeseran” ini) mempengaruhi diktum “hukum untuk manusia”. Hukum untuk manusia adalah filosofi tertinggi hukum progresif, sehingga ada kalanya refleksi hendaknya dilakukan secara intensif pada diktum tersebut. Ada beberapa kemungkinan tentang “perubahan” diktum. Misalnya kemungkinan yang logis adalah hukum untuk alam, hukum untuk manusia dan alam, hukum untuk keseimbangan manusia dan alam, hukum untuk manusia bagi keutuhan alam, dst.
Pandangan Prog Tjip tentang deep ecology ini bukanlah asumsi spekulatif tanpa dasar. Akan tetapi hasil gorengan beliau terhadap 4 (empat) buku fisikawan dan filsof termasyur Fritjof Capra. The tao of physics, the turning point, the web of life, the hidden connections dikombinasikan oleh Prof Tjip dengan cukup baik, hingga mendistribusikannya dalam terminologi ilmu hukum. Tetapi nampak terdapat kelemahan, jika hanya 4 (empat) karya tersebut yang dijadikan rujukan. Sebab, Capra seorang yang produktif menulis buku-bukunya.Uncommon Wisdom, Green Politics , Belonging to the Universe,EcoManagement, dan Steering Business Toward Sustainability. Dan yang paling terpenting dan terbaru pun ketinggalam, yakni: The Science of Leonardo.
Tulisan ini hendak memberi ulasan akan arti pentingnya buku The Science of Leonardo untuk penguatan teoritis deep ecology hukum progresif. Perlu beratus-ratus halaman untuk mengkombinasikan antara deep ecology dengan pemikiran Capra terbaru itu. Mahlum pemikiran Capra yang relatif masih segar keluar pada tahun 2007-an itu memilih menggunakan perspektif ilmuwan Renaissance, yakni: Leonardo da Vinci.
Berbeda dengan gagasan-gagasan Capra sebelumnya yang memandang sinis ilmuwan barat. Kali ini Capra tak hanya menyatukan antara gaya pemikiran Amerika yang empiris-prakmatis dengan metafisika mistikus timur, tetapi juga metode eksperimen yang juga melanda sebagian ilmuwan barat.
Leonardo merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam dunia sains. Tapi sinarnya tak seterang Newtonian-Cartesian. Yang terakhir ini merupakan raja-raja di dunia sains modern. Tapi Capra memilih Leonardo sebagai sebuah perspektif dan meramu ide besarnya untuk memecahkan problem sains kontemporer. Satu hal yang sebenarnya cukup mengherankan. Di tengah-tengah sinisnya Capra pada ilmuwan barat, ia menggunakan Leonardo sebagai paradigma. Ini menandakan (signified), bahwa Capra ingin “tak hanya memandang orangnya, tetapi apa yang dikatakannya”. Keterbukaan pada semua aliran pemikiran harus dilancarkan dalam rangka memperkokoh paradigma sains secara individual-pribadi seorang ilmuwan.
Sekurang-kurangnya dua hal yang bisa dibicarakan di sini, bagaimana Capra menilai Leonardo. Pertama, pandangan estetika Leonardo yang cukup mempengaruhi cara pandangnya terhadap objek. Pandangan akan arti pentingnya seni dalam kehidupan manunsia, menyadarkan kita bahwa intuisi ini sangatlah penting. Di kalangan seniman, Leonardo mempunyai pengaruh pada karakter kepribadian yang misterius memiliki rasa keindahan dalam lukisan. Sehingga, “rasa” merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan nalar atau rasio. Dalam menikmati lukisan indra manusia semua bekerja menemukan makna berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.
Kedua, Leonardo tak seperti newtonian-cartesian dalam memandang alam dan objeknya. Newtonian-cartesian cederung mekanistis, cogito haruslah di ikuti dengan keragu-raguan dan metode yang absah. Namun, Leonardo adalah seorang ilmuwan yang memandang secara sistemik, holisme dan kompleks. Bahwa pengetahuan didapat dengan penjelajahan pola yang terhubung satu sama lain di berbagai bidang (persistent exploration of patterns, interconnecting phenomena from a vast range of fields). Leonardo memang dikenal sebagai pemikir sistemtik (systemic thinker), pandangan ekologis (ecologist), dan teoritikus yang kompleks (complexity theorist).
Sederhananya, jika dua bacaan simpel atas perrpektif Leonardo a la Capra yang di kaitkan dengan konsep hukum progresif, maka hukum hendaknya menggunakan perangkat intuitif, meluangkan ruang bagi hal mistis, metafisis, estetis, bukan sekadar rasionalis. Hukum juga hendaknya memiliki metode multidisipliner yang berbasis pada holismisitas. Masalah kehidupan berupa problem yang tersambung dari satu dengan yang lain. Jadi perlu menyingkap pertautan problem tersebut untuk mendapatkan pemecahan masalah melalui hukum.